-- Abdul Munir Mulkhan
PUASA yang diakhiri dengan membayar fitrah dilanjutkan Lebaran bagai jalan tapa Bima memenuhi perintah Durno, gurunya, mencari air suci ya Dewa Ruci. Idul Fitri berarti kembali ke fitrah diri setelah sebulan mengarungi lautan batin menahan nafsu (makan-minum) dan berahi dalam puasa.
Perjalanan batin Bima seperti tradisi mudik Lebaran, bisa menjadi akar kebangsaan di tengah jeratan nafsu kuasa dan berahi material (harta milik) sebagai ekses demokrasi dalam dinamika dunia global.
Secara batin, mudik Lebaran berarti penemuan kembali jati diri membentuk sikap rela memberi sebagian harta milik kepada orang yang lebih membutuhkan, yaitu kaum fakir miskin. Secara lahir, air suci Bima dan fitrah adalah ruh kehidupan bersama dalam sebuah tata masyarakat bangsa ketika ekonomi diatur sehingga mekanisme pasar tidak liar memangsa siapa saja yang ditakdirkan menjadi lemah.
Fitrah seperti Dewa Ruci adalah energi baru bangsa ini dan bagi Bima untuk aksi kemanusiaan dalam dinamika kebangsaan yang belakangan ini seperti mandul.
Pencerahan kemanusiaan
Tapa Bima dan ritual puasa itu penting bagi pencerahan kemanusiaan kebangsaan di tengah belitan problem moralitas kebangsaan, korupsi, dan kemiskinan. Pemenuhan fitrah memberikan sebagian harta dan kausa (melepas hak) bagi sesama yang pinggiran akibat struktur sosial- ekonomi yang tidak adil adalah produk ideal ibadah puasa sebulan penuh.
Mudik terasa lebih berat di tengah maraknya perampokan berhipnotis dan bersenjata berat, ditimpa isu penculikan anak, gagal panen akibat cuaca yang makin tak terduga, dan ledakan kompor gas yang silih berganti. Pemudik migran Malaysia lebih waswas saat elite negeri ini gagal membaca gejolak rakyat yang merasa dilecehkan negeri jiran itu. Ironis, makin berat jalan mudik terasa lebih bermakna sebagai media peneguhan diri setelah sekian lama seolah hilang di perantauan.
Negara seolah gagal menangkap denyut nadi kehidupan warganya dalam impitan kesulitan ekonomi dan krisis sosial-budaya ketika negeri jiran memandang enteng. Elite dan pemimpin negeri ini enggan hadir di tengah dinamika kehidupan warga yang memecahkan sendiri kemiskinan dan ”keterancaman” kedaulatan akibat bangsa jiran.
Mudik fitrah
Makna esensial mudik fitrah ialah etika publik tentang kepedulian sesama dalam kerangka bangsa. Bima segera tampil sebagai ksatria memecahkan problem warganya bersama Pandawa sesaat setelah bertemu Dewa Ruci, simbol jati dirinya. Sentuhan jiwa ksatria itu membuat hidup wong cilik menjadi berarti karena masih ada yang peduli. Fitrah bukan asal bagi yang sering membuat banyak warga pingsan akibat berdesakan, berpanas-panas, mengantre, menunggu bagian hanya untuk hidup sehari.
Tapa Bima mencari Dewa Ruci, mesu raga jiwa meraungi luas samudra, menyelam dalamnya laut tanpa dasar, sejatinya ialah jalan ke dalam diri menerobos penjara nafsu dan syahwat serakah. Air suci kehidupan yang dicari Bima seperti fitrah di akhir puasa sejatinya ialah kebebasan dari penjara harta dan kuasa duniawi.
Air suci Bima atau fitrah penting bagi pemecahan problem bangsa yang akhir-akhir ini seolah gagal mengenal dirinya. Elite negeri dari lurah hingga jabatan puncak, dari dewan desa hingga dewan Senayan mabuk jabatan, lupa tanggung jawab, lupa rakyat. Pemimpin keagamaan, kiai kampung, kiai kota sibuk surganya sendiri, politisi asyik berebut kuasa dalam setiap kali pilkada, bahkan ketika pemilu presiden baru usai.
Bersediakah elite bangsa mesu raga-mesu jiwa membongkar topeng menjenguk jati diri tampil sebagai ksatria, keluar dari jebakan ritual rivalitas kuasa saat nasib rakyat jadi taruhan? Mereka melempar nasib rakyat pada ”takdir” hak prerogatif Tuhan karena tanpa kehendak-Nya kaum elite itu tidak tergerak memperjuangkan nasib rakyat yang memberi mandat. Dewa Ruci Bima (baca: bangsa) seolah terperangkap selimut (baca: telenging/Jawa; dasar) samudra nafsu syahwat kuasa dan harta milik.
”Manunggaling kawulo Gusti”
Proklamasi 65 tahun lalu yang berlangsung pada bulan Ramadhan perlu dijadikan momen romantis mencari makna kebangsaan yang kadang mengabur. Mudik tahun ini penting dipahami sebagai kelahiran kembali kebangsaan seperti penemuan air suci (Jawa; mlungsungi) sang Bima di dalam diri Dewa Ruci. Masuknya Bima yang gagah perkasa ke dalam diri Dewa Ruci yang mungil adalah pelajaran bagaimana pembesar negeri ini menyelami hidup wong cilik agar bisa menangkap denyut nadi kehidupan warga bangsanya.
Seperti Idul Fitri, di pusat dirilah energi dahsyat tersimpan yang terperangkap dalam penjara nafsu dan syahwat kuasa yang egois dan hedonis. Pesan esensial puasa, fitrah, mudik, dan tapa Bima ialah bagaimana membuat tersenyum orang yang berharap tertawa saja ketakutan. Hanya kehampaan jika berpuasa sebulan penuh, berjejal mudik di kereta, jalan, terminal bus, dan pesawat jika gagal memenuhi harapan kaum duafa dan pinggiran.
Ketika pemimpin hadir menyatu dengan kaum proletar (baca: manunggaling kawula Gusti) itulah saat kemenangan (fitrah) kebangkitan umat dan bangsa ini bisa menjadi kenyataan. Setelah mudik tahun ini, akankah ritual yang sama terulang kembali dalam situasi yang lebih mengenaskan tahun depan?
Abdul Munir Mulkhan, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Anggota Komnas HAM
Sumber: Kompas, Senin, 13 September 2010
No comments:
Post a Comment