-- Tjahjono Widarmanto
Kebudayaan adalah warisan kita yang diturunkan
tanpa surat wasiat
(Rene Char, Penyair Perancis)
Kebudayaan merupakan sebuah konsep yang paling rumit. Pada mulanya, kebudayaan adalah nasib dan baru kemudian manusia menganggapnya sebagai sebuah tugas. Saat dianggap sebagai tugas itulah kebudayaan mengalami pembaruan yang terus-menerus.
PADA awalnya manusia dianggap sebagai pewaris belaka, yang menanggung beban kebudayaan dan akhirnya muncul kesadaran untuk membentuk dan mengubahnya. Pewaris yang semula pasien dan kemudian menjadi agennya. Pewarisan kebudayaan itulah yang disebut Clifford Geertz sebagai pola dari pengertian dan makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol (dalam artian luas) dan ditransmisikan secara historis. Pola pewarisan ini kemudian berubah menjadi pendefinisian yang berulang-ulang yang secara kritis mengukuhkan, mempertanyakan, bahkan membongkar ulang simbol-simbol tersebut.
Di awal perkembangannya, kebudayaan rekat dengan kultivasi yaitu pemeliharaan ternak, hasil bumi, dan ritual-ritual religius. Setelah era revolusi industri, kebudayaan memiliki ranah yang terbentang luas, nyaris tak terbatasi. Bersentuhan dengan kerohanian (religiositas) namun juga berkelindan dengan aspek material (ekonomi dan kapitalistik) sekaligus berselingkuh dengan berbagai ideologi. Konsep nasionalisme pada akhir abad ke-19 menandai perjumpaan kebudayaan dan ideologi yang secara serta merta mengubah anggapan bahwa kebudayaan adalah warisan. Jauh sebelum itu, kebudayaan belum mewarisi sebuah konsep ideologi. Oleh sebab itu, kemunculan nasionalisme sangat menentukan dinamika pemaknaan budaya.
Ideologi merupakan sistem pemikiran yang abstrak yang ditawarkan pada publik. Merupakan sebuah visi yang komprehensif dalam memandang segala sesuatu. Ideologi tidak mencerminkan dunia yang riil melainkan mempresentasikan �hubungan-hubungan imajiner� individu pada dunia riil. Kemunculan ideologi dalam ranah kebudayaan sejalur dengan kemunculan konsep negara dan kekuasaan. Ideologi ternyata dapat menjadi sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki penguasa. Merupakan alat yang ampuh untuk melestarikan sebuah kekuasaan.
Saat ideologi yang anak kandung kebudayaan tersebut menjadi salah satu sistem kekuasaan, saat itu pulalah kebudayaan dianggap sebagai sebuah salah satu peran penting dalam legitimasi kekuasaan. Kebudayaan tidak lagi bersifat netral namun bisa menjadi salah satu gurita kekuasaan.
Melihat kebudayaan yang pada perkembangan berikutnya tidak lagi merupakan �wilayah suci� yang netral, muncullah paradigma baru yang menolak kebudayaan sebagai sebuah alat. Paradigma itu beranggapan bahwa kebudayaan sudah mengalami pendangkalan karena dikuasai dan hanya sebagai alat kekuatan tertentu. Sebagai contohnya Karl Marx dan Tarcott Parsons yang melahirkan pandangan budaya yang antikebudayaan.
Di sisi yang lain, masyarakat yang menjadi pewaris sekaligus pembaru kebudayaan yang majemuk menghadapi tantangan sebuah proses yang menjadikannya global. Ada ketegangan antara �menjadi dan ada� dalam sebuah lokalitas yang majemuk dengan kekhasannya dengan �menjadi dan ada� dalam sebuah ruang global. Ini berarti terjadi kegelisahan identitas masyarakat majemuk yang dipaksa menjadi identitas global. Matinya kemajemukan akan membuka peluang matinya kebebasan dan toleransi.
Gerakan kebudayaan tidak boleh berhenti pada pusaran membebaskan diri dari pendangkalan. Tidak boleh hanya berpusar pada pembebasan diri sebagai sebuah alat kekuasaan, namun gerakan kebudayaan juga harus mengembalikan kemajemukan sebagai jati diri manusia. Kesadaran akan kemajemukan akan melepaskan diri dari sikap absolut, akan melepaskan diri dari cara berpikir dan sikap "paling benar". Persoalannya sekarang sudahkah kita mempunyai desain kebudayaan yang memuat strategi yang jelas dalam membangun kemajemukan? n
Tjahjono Widarmanto, penyair
Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 September 2010
No comments:
Post a Comment