-- Arbain Rambey dan Frans Sartono
Wajah-wajah diam itu seperti bicara tentang derita. Itulah wajah-wajah ”jugun ianfu”, wajah ibu-ibu kita yang direkam fotografer Jan Banning dan dipamerkan di Erasmus Huis, Jakarta, 12-23 September 2010.
Pameran foto Jugun Ianfu. (KOMPAS/ARBAIN RAMBEY)
Potret adalah gambar seseorang yang tahu bahwa dirinya sedang dipotret. Itu definisi potret atau photographic portrait dari Richard Avedon, seorang fotografer Amerika Serikat yang pernah membuat potret untuk tokoh dunia mulai dari Marilyn Monroe sampai Beatles.
Jan Banning, fotografer asal Belanda ini, juga sadar benar bahwa ia tengah memotret perempuan-perempuan yang juga sadar benar bahwa mereka sedang dipotret. Perempuan-perempuan usia 80-an tahun itu juga tahu bahwa mereka diambil gambarnya terkait dengan sejarah masa lalu sebagai jugun ianfu, sebuah kekejaman sejarah yang memperlakukan perempuan sebagai wanita penghibur anggota militer pada masa pendudukan Jepang di Indonesia.
Kalau dilihat dari kacamata seni fotografi saja, foto-foto karya Jan Banning itu tidaklah istimewa. Secara teknik dan secara tata atur fotografi manusia, ia hanya memakai pencahayaan sederhana dan pose sangat seadanya.
Akan tetapi, fotografi memang sangatlah luas. Ia tidak sekadar keunggulan teknik dan kreativitas pose, seperti yang selalu diburu para pemula. Banning sesungguhnya telah memakai medium fotografi dengan tingkat tertinggi. Ia tidak sekadar memotret wajah, tetapi juga telah merekam sejarah. Bahkan, tidak hanya merekam sejarah, tetapi juga memaknai sosok-sosok dalam konteks peradaban manusia hari ini. Wajah-wajah itu berbicara dalam kediaman.
Lorong sejarah
Wajah ibu-ibu kita itu seperti lorong panjang sejarah kelam yang terlupakan (atau dilupakan?). Kita tatap wajah Ronasih, perempuan kelahiran tahun 1931 asal Serang, Jawa Barat. Dan, kita dengar tragedi hidupnya yang dituturkan kepada wartawan Belanda, Hilde Janssen, yang bersama Banning menggarap proyek jugun ianfu.
Ronasih yang saat itu berusia 13 tahun diculik seorang serdadu dan dikurung di barak lalu secara sistematis diperkosa selama tiga bulan. Ia baru dibebaskan setelah perang berakhir. ”Saya tidak mampu berjalan lagi, saya harus merangkak pulang. Seluruh badan saya sakit....” tutur Ronasih, seperti ditulis Janssen.
Ronasih tidak sendirian. Ia merupakan bagian dari sekitar 20.000 perempuan yang dipaksa menjadi jugun ianfu. Banning dan Janssen melakukan perjalanan keliling ke sejumlah kota di Indonesia untuk menemui, mewawancarai, dan memotret 50 perempuan dalam periode Mei 2008-Juli 2009. Hasil perjalanan itu ditulis dalam dua buku.
Sebagian dari foto mereka ditampilkan dalam pameran di Erasmus.
Proyek tersebut, seperti ditulis Janssen dalam katalog pameran, merupakan upaya membangkitkan kenangan masa perang yang selama puluhan tahun telah mereka coba lupakan. Harapannya, kebisuan sejarah akan terungkap.
Pengalaman mereka menjadi beban sepanjang hidup dan, sepertinya, amat sangat sedikit ”anak-anak” negeri ini yang mencoba menyapa ibu-ibu mereka yang menderita. Dan, mungkin juga telah dilupakan oleh bangsanya yang seharusnya tidak boleh melupakan penderitaan rakyatnya.
”Kami belum pernah menceritakan sesuatu pun kepada anak-anak kami, terlalu memalukan bagi saya,” tutur Rosa, Oma kelahiran Tanimbar, Maluku Selatan, tahun 1929, yang dipaksa bekerja di rumah bordil militer Jepang di kotanya.
Sejarah hidup
Wajah-wajah ibu dalam foto Banning itu bagai otobiografi yang terbuka. Bukan sekadar otobiografi personal, melainkan juga buku sejarah. Wajah-wajah itu merupakan sejarah yang hidup dan berbicara.
Kita seperti membaca sejarah lewat keriput kulit wajah yang menua; guratan atau lipatan kulit di pipi, bibir; serta pelupuk mata yang menggelambir lemas. Dan, sorot mata bagai lorong panjang yang menyimpan ”file” kebiadaban zaman.
Mungkin benar apa yang dikatakan pujangga Amerika, Ralph Waldo Emerson: ”One of the most wonderful things in nature is a glance of the eye; it transcends speech.”
Dan, cobalah tatap mata Ibu Icih, perempuan kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, 1926. Mata perempuan yang saat difoto berusia 83 tahun itu tampak berkaca-kaca. ”Rasanya seperti langit jatuhin bumi, sakit sekali. Badanku tidak bisa lupa....” Itu kalimat dari Icih yang dituturkan kepada Janssen.
Tatap juga sorot mata Mastia, wanita kelahiran Sumedang, 1927, yang seumur hidup tak hanya menanggung beban psikologis, melainkan juga beban sosial. ”Orang tetap memanggil saya ’bekas Jepang’ dan menghina saya. Sampai sekarang saya masih sering ingat,” kata Mastia.
Foto-foto itu mengajak kita mengingat... dan semoga kita tidak lupa akan luka sejarah para perempuan kita....ibu-ibu kita...
Sumber: Kompas, Minggu, 19 September 2010
No comments:
Post a Comment