-- Budi Suwarna dan Frans Sartono
RHOMA Irama mengumumkan ”revolusi” kedua musik dangdut lewat single ”Azza” dan film ”Dawai 2 Asmara”. Pada revolusi pertama ala Rhoma era awal 1970-an, ia mengubah arah musik dangdut dengan memberinya nuansa rock.
Ridho Rhoma dan Rhoma Irama (KOMPAS/ARBAIN RAMBEY)
Jika Anda mendengar lagu dangdut dengan sentuhan gitar rock yang keras-kasar distortif, maka itu adalah gagasan Raden Haji Oma Irama atau Rhoma Irama. Sekitar pertengahan era 1970-an, ia meletakkan suatu gaya musik dengan sentuhan rock yang di kemudian hari menjadi semacam ”genre” tersendiri dari apa yang dulu disebut sebagai musik melayu. Musik melayu yang kemudian disebut dangdut di tangan Rhoma bersama Soneta Grup-nya terdengar dinamis, agresif dan progresif.
Itu peran sejarah dan kontribusi Rhoma untuk musik dangdut yang bisa dikatakan telah menjadi musik rakyat. Rhoma menyebut terobosannya itu sebagai ”revolusi” pertama.
Revolusi kedua versi Rhoma belum selesai saat ini.
Setidaknya, Rhoma baru merilis single ”Azza” dan akan segera menyusul album penuh. Satu paket dengan revolusi itu, muncullah Ridho Rhoma, putra Rhoma yang kini tengah populer.
Anda seperti bangkit lagi, di tengah pentas musik yang berbeda dengan masa ketika anda menampilkan ”Begadang” pada era 1970-an?
Ya, saya pernah mengumumkan adanya revolusi dangdut kedua. Itu setelah revolusi musik pertama yang saya buat tahun 1970-an dari musik melayu ke dangdut. Revolusi pertama itu untuk mengimbangi derasnya musik rock. Orkes melayu seperti Soneta itu pun musiknya berwarna rock,” kata pria kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 11 Desember 1946, itu.
”Itu sebetulnya strategi untuk mengimbangi musik rock, supaya (dangdut) equal dengan rock. Setelah itu dangdut eksis dan bahkan menjadi musik primadona di Tanah Air. Indikator yang paling kuat adalah tidak ada televisi yang tidak punya program dangdut.”
Rhoma lalu bicara soal terpuruknya dangdut sekitar tiga tahun terakhir. Rhoma menuding salah satu penyebab menyurutnya dangdut dari belantika musik Tanah Air adalah maraknya erotisisme yang menyertai penampilan artis dangdut.
Apa yang disebut Rhoma sebagai erotisisme itu mungkin saja bukan penyebab menyurutnya dangdut. Namun, faktanya musik pop saat ini sangat dominan di pentas musik, termasuk di televisi. ”Saya terpikir untuk membuat revolusi seperti tahun 1970. Revolusi kedua ini ada satu format dangdut yang baru, style yang baru, bahkan ikon yang baru.”
Siapa itu?
Ikon itu, kan, Ridho. Kemudian Sonet2 Band itu (dibaca Sonet two). Dari nama saja sudah revolusioner. Dulu, kan, namanya Orkes Melayu Soneta, Orkes Melayu Purnama. Dengan revolusi saya, Soneta menjadi Soneta Grup. Enggak ada lagi orkes melayu Soneta, bahkan sekarang Sonet2 itu band. Itu juga revolusioner.
Nama dan konsep itu dari Anda?
Iya. Karena Sonet2 ini, kan, proyek saya. Kalau dulu untuk mengimbangi rock, sekarang untuk mengimbangi musik pop. Karena musik dewasa ini didominasi oleh pop. Style, performance, harus seperti pop sebagaimana dulu Soneta harus seperti rock.
Alhamdulillah revolusi kedua ini juga berhasil. Sonet2 Band ternyata bisa sejajar dengan grup-grup pop papan atas. Jadi, alhamdulillah revolusi pertama berhasil sehingga dangdut bisa menjadi musik primadona di Indonesia. Alhamdulillah revolusi kedua juga berhasil. Ridho bersama Sonet2 Band berhasil, katakanlah kalau ukurannya RBT, Ridho yang tertinggi peringkatnya.
(Menurut Ridho, pengguna nada sambung pribadi atau ring back tone lagu Sonet2, antara lain ”Menunggumu”, sekitar lima juta.)
Film Dawai 2 Cinta itu satu paket dengan revolusi kedua?
Ya. Ini ada benang merahnya, antara lahirnya Sonet2 Band dan revolusi kedua. Ini (film) memang bercerita soal itu. Kalau Anda lihat filmnya, itu memang kisah tentang revolusi kedua.
Dalam film-film Anda, seorang Rhoma Irama tampil sebagai Rhoma yang heroik.
Prinsip saya di film memang menjadi diri sendiri. Itu prinsip. Saya tidak mau main film menjadi aktor. Makanya, 25 kali main film, saya tidak merasa menjadi aktor karena saya memerankan diri saya sendiri supaya saya bisa mempertanggungjawabkan itu kepada masyarakat. Supaya masyarakat tidak merasa itu sesuatu yang fiksi. Biasanya, kan, bintang-bintang film yang digandrungi penggemar karakternya tidak seperti itu di luar (film). Saya tidak ingin mengelabui masyarakat. Saya ingin masyarakat melihat Rhoma di film, itulah Rhoma di luar.
Namun, romantika zaman Anda berbeda dengan eranya Ridho?
Saya juga ingin Ridho seperti itu. Jangan dia menjadi sesuatu yang fiksi di masyarakat. Jadi, konsepnya masih sama dan masih drama musikal karena kalau dulu saya start-nya sebagai penyanyi yang main film, bukan sebaliknya. Saya kira Ridho juga sama, dia penyanyi yang main film. Jadi, dia dikenal lebih dulu sebagai penyanyi, baru dia main film. Jadi, kalau filmnya tidak menyanyi, masyarakat akan kecewa. Orang datang melihat Rhoma, pasti dia ingin melihat Rhoma menyanyi karena saya dikenal terlebih dahulu sebagai penyanyi. Begitu juga Ridho. Pasti yang mereka mau lihat Ridho menyanyi. Makanya, filmnya musikal. Konsepnya sama.
Raja dan pangeran
Tahun lalu, Rhoma melempar wacana seputar Ridho yang ia sebut sebagai ”Pangeran Dangdut”. Julukan itu mengacu pada sebutan ”Raja Dangdut” yang dilekatkan kepada sosok Rhoma Irama. Sonet2 Band dan film Dawai 2 Asmara menjadi penanda hadirnya sang ”Pangeran”.
Ridho sudah siap?
Timing-nya, pertama keterpurukan dangdut. Kedua, Ridho punya potensi dari sisi vokal. Katakanlah dia good looking. Itu Allah punya anugerah.
Namun, perjalanan karier Ridho, kan, berbeda dengan Bang Rhoma?
Ya, kalau dulu saya lewat jalan berdebu, berkeringat, dan berdarah-darah. Makanya, filmnya juga berbeda. Filmnya tidak berdarah-darah.
Rhoma memang yang membabat hutan. Saya katakan bahwa saya memperjuangkan dangdut dengan air mata karena dihina; dengan keringat karena berjuang, dengan darah karena memang kita fight secara fisik. Kami tampil dilempari batu. Itu tahun 1970-an ketika kita fight dengan rock. Kalau dangdut main, rocker, kan, melempari batu ke kita (Rhoma).
Sampai ada istilah ”dangdut tai anjing”, ”rock terompet setan”. Itu, kan, perang. Bahkan, saya sampai (berjuang) dengan jiwa. Saya pertaruhkan jiwa itu untuk dangdut. Ini sangat jauh berbeda dengan Ridho. Ridho ini ibaratnya sudah disediakan karpet merahlah. Jadi, romantika Ridho dan Rhoma itu sangat-sangat berbeda.
Anda sebut Ridho sebagai ”Pangeran Dangdut” karena Anda berjuluk ”Raja Dangdut”?
”Predikat raja, superstar itu, kan, bukan berasal dari pemerintah, tetapi dari rakyat, dari fans. Ini, kan, bentuk apresiasi atas prestasi seseorang. Maka, diberikan julukan raja, superstar, apalah. Saya memberanikan diri me-launching Ridho sebagai Pangeran Dangdut, tetapi itu bukan dalam konteks dia anak ”Raja”, tetapi potensi yang ada pada Ridho itu berani saya pertaruhkan bahwa he is the best sebagai generasi muda penerus dangdut”.
Deep Purple - Begadang
Kita tengok era 1970-an. Band rock Inggris, seperti Deep Purple, Led Zeppelin, dan Black Sabbath digemari kaum muda di negeri ini. Grup rock pun bermunculan di Tanah Air, seperti God Bless, Giant Step, AKA, serta Super Kid dan mendapat tempat di hati anak muda.
Rhoma Irama—saat itu masih dikenal sebagai Oma Irama—tengah populer lewat lagu ”Begadang”, ”Rupiah”, sampai ”Penasaran”, yang belum terasa bau rocknya. Ia mengatur strategi untuk mengakomodasikan dangdut dengan realitas musik pada zamannya. Lahirlah seperti ”Begadang 2”, ”Takwa”, ”Judi”, dan ”Kiamat”, yang kental rasa rock lewat cita suara gitar yang keras-keras distortif khas rock.
Tarikan gitar Rhoma pada lagu-lagu tersebut mengingatkan orang pada Ritchie Blackmore, gitaris Deep Purple. Sound gitar rock ala Rhoma sejak itu menjadi unsur ”wajib” dalam dangdut sampai hari ini.
Pengaruh musik apa yang membentuk dangdut versi Rhoma Irama?
Memang sejak kecil, saya menyukai dua kutub musik: India dan Barat. Kalau India, misalnya, Lata Mangeskhar, Mohammed Rafi. Itu bintang-bintang penyanyi India tahun 1960-an. Yang Barat saya suka Everly Brothers, Tom Jones, Elvis Presley. Jadi, sejak kecil saya sudah menyanyikan lagu Barat dan lagu India. Itu terus tumbuh. Ketika saya remaja, saya punya band dan
grup orkes melayu. Jadi, pada suatu malam Minggu, kita bisa main di Menteng, lagu-lagu Barat. Di malam minggu yang lain, kita main di kampung-kampung yang becek, kami mainkan lagu-lagu India. Dua kutub ini terus berkembang sampai suatu saat saya putuskan untuk membela orkes melayu, membela dangdut.
Pengaruh rock rasa Deep Purple sangat kuat pada gitar Anda.
Ya, itulah revolusi musik itu. Saya declare revolusi musik tahun 1970-an ketika rock melanda dunia, ada rock fever (demam rock). Kalau Orkes Melayu tidak melakukan revolusi ketika itu, ya, orkes melayu akan hilang. Ada pengaruh Deep Purple dan Led Zeppelin. Lagu-lagu Deep Purple itu yang saya suka. Dia itu hard rock, tetapi melodius. Dahsyat itu... untuk ukuran dangdut ketika itu....
Makanya, Soneta itu ada unsur rock. Sound rock itu strategi yang saya katakan tadi. Makanya, saya kan rock juga, pop juga. Penyanyi rock gondrong, kami juga gondrong. Rock bisa jungkir balik, kami juga jungkir balik. Kemudian rock dengan kapasitas sound system ratusan ribu watt, kita juga pakai gitu. Jadi, dalam konteks persaingan sehat, kita eksis.
Lagu ”Orang Buta” itu apa inspirasinya ”When A Blind Man Cries”-nya Deep Purple.
Kurang lebih begitu ha-ha-ha! Pasti ada influence dari Deep Purple. Ya, itulah dangdut, musik yang revolusioner waktu itu. Revolusi musik itu saya declare tahun 70. Ada yang bertanya-tanya, Rhoma Irama mau ke mana ini, kok, dangdut jadi begitu. Ada riff gitar, ada drum segala.
Dakwah
Pada tahun 1980-an Anda memasukkan unsur tiup logam (brass) dalam dangdut. Apa alasannya waktu itu?
Ada brass section, lalu ada Soneta Femina sebagai koor itu dalam rangka kita bisa bersaing dengan jenis-jenis musik lain. Karena musik dangdut itu, kan, melodius dan indah. Nah, untuk mencapai keindahan-keindahan itu kita gunakan backing vocal, Soneta Femina. Kemudian ada brass section untuk lagu-lagu yang katakanlah dinamis. Kadang-kadang ada lagu-lagu yang dari sisi aransemen memang membutuhkan stressing. Konsep saya pertama, easy listening, kedua harmoni, ketiga touching (menyentuh). Sebuah musik dakwah itu harus enak didengar. Kalau lagu tersebut tidak sampai, atau tidak digemari masyarakat, dakwah itu akan gagal. Jangankan dia (pendengar) mau melaksanakan seruan kita, dengarnya saja ogah he-he-he. Seperti misalnya lagu ”Keramat”, ”Takwa”, ”Judi”, semua easy listening.
Mengapa sound gitar ala Rhoma itu tidak muncul dalam lagu ”Azza”, dan orkestrasi kental nuansa Arabia.
Kami memang harus selalu tidak statis. Harus ada sesuatu yang yang kami buat berbeda, yang baru. Dalam konteks harmoni juga. Nuansa Arabia kuat karena lokasi (syuting klip ”Azza”) di Mesir, jadi harus disesuaikan. Selanjutnya kita rencana di Tajmahal, India. Konsepnya pasti berbeda.
Revolusi kedua ini mau dibawa ke mana?
Kira-kira begini konsepnya bahwa Rhoma harus selalu mengacu pada nilai-nilai religius, sosial. Soneta lebih membangun masyarakat dalam konteks dakwah. Namun, Ridho, dia harus membangun musiknya dalam konteks remaja. Percintaan yang positiflah karena itu memang dunia dia, segmentasinya, ya, memang itu. Namun, kalau Rhoma sudah tidak berada di situ lagi. Dia (Rhoma) sudah ada di posisi pertanggungjawaban bagaimana memberikan kontribusi kepada bangsa ini tentang moralitas, misalnya.
***
RHOMA IRAMA
• Nama: Raden Haji Oma Irama (Rhoma Irama)
• Lahir: Tasikmalaya, Jawa Barat, 11 Desember 1946
• Diskografi:
- Begadang, 1973
- Ke Bina Ria, 1974
- Joget, 1975
- Penasaran, 1976
- Hak Asasi, 1977
- Gitar Tua Oma Irama, 1977
- Berkelana, 1978
- Rupiah, 1978
- Begadang II, 1978
• Sejumlah album yang memuat lagu kondang:
- 135 Juta
- Santai
- Hak Asazi
- Sahabat
- Setetes Air Hina
• Filmografi
- Oma Irama Penasaran, 1976
- Gitar Tua Oma Irama, 1977
- Darah Muda, 1977
- Rhoma Irama Berkelana I, 1978
- Rhoma Irama Berkelana II, 1978
- Begadang, 1978
- Raja Dangdut, 1978
- Cinta Segitiga, 1979
- Camelia, 1979
- Perjuangan dan Doa, 1980
- Melody Cinta Rhoma Irama, 1980
- Badai Diawal Bahagia, 1981
- Satria Bergitar, 1984
- Cinta Kembar, 1984
- Pengabdian, 1985
- Kemilau Cinta di Langit Jingga, 1985
- Menggapai Matahari I, 1986
- Menggapai Matahari II, 1986
- Nada-Nada Rindu, 1987
- Bunga Desa, 1988
- Jaka Swara, 1990
- Nada dan Dakwah, 1991
- Tabir Biru, 1994
- Dawai Dua Asmara, 2010
Sumber: Kompas, Minggu, 19 September 2010
No comments:
Post a Comment