-- Salomo Simanungkalit
SATU per satu anggota menaiki panggung. Tak seperti paduan suara yang kaprah menata letak anggota per kelompok menurut jenis suara, ke-32 konstituen BMS ini berdiri selang-seling pria-wanita-pria-wanita dalam tiga baris. Terkesan pesan implisit: kami otoritas dalam paduan suara, tiap anggota sanggup bernyanyi otonom, dan bertanggung jawab melebur suara dalam sebuah kawanan meski terpisah jarak.
Namun, sambutan pembuka yang meriah dari penonton yang memenuhi Sala Sant’Ignazio di kota penemu sistem solmisasi ut-re-mi-fa-sol-la itu, Guido d’Arezzo, terutama disebabkan beragam pakaian daerah yang mereka kenakan. Panggung menjadi terang menyala berwarna-warni sebagaimana kor ini berhasil memantulkan tiap warna zaman—Renaisans, Romantik, dan Modern—dari tiga lagu yang mereka bawakan.
Di malam final itu BMS bersaing dengan tiga kor yang masuk empat besar: PS Anak Filharmoni Praha, New Dublin Voices, dan Kammarkören Swedia. Mereka telah lolos babak penyisihan yang diikuti 15 kor dari 13 negara: Austria, Brasil, Ceko, Finlandia, Indonesia, Inggris, Irlandia, Italia, Norwegia, Rusia, Singapura, Spanyol, dan Swedia.
”Dum aurora finem daret” (Giovanni Pierluigi da Palestrina) sebagai lagu wajib mereka nyanyikan a capella. Avip di nomor ini selain mengaktualkan sopran-alto-tenor-bas masing-masing berperan sebagai melodi independen, tuntutan yang mesti dari masa Renaisans, juga berhasil memunculkan timbre yang khas dari tiap suara. Sebaliknya pada ”Les djinns” (Gabriel Faure) yang dibawakan di urutan kedua dengan iringan piano, BMS banting setir menyeragamkan warna suara mereka ke arah gelap tapi dengan intonasi tajam. Konsonan Perancis pada komposisi era Romantik itu sungguh musikal dari tenggorok Melayu. BMS menggarap dinamika dengan rentang lebar hingga pianisimo dan fortisimo menjadi amat kontras dan ini bikin ”Les djinns” terdengar mencekam.
Namun, rupanya selera tujuh juri yang berasal dari Belanda, Inggris, Italia, Norwegia, Swiss, dan Slovenia itu cenderung mengeropa hingga yang keluar sebagai pemenang adalah Kammarkören Swedia. Paduan suara yang bermarkas di Göteborg ini sungguh teliti melebur suara dan cermat menakar dinamika sebagaimana umumnya paduan suara berbasis di Eropa. Rentang dinamikanya relatif sempit, gradiennya tak tajam, sehingga terkesan intelijen ketimbang emosional.
Concorso Polifonico Internazionale tak mengenal juara dua. BMS dapat kusala (penghargaan) khusus sebagai penafsir terbaik untuk lagu wajib. ”Ini hadiah Ramadan buat saya,” kata Avip Priatna kepada Kompas begitu turun panggung menerima piagam.
Concorso Polifonico Internazionale di Arezzo, Italia, merupakan satu dari enam lomba paduan suara amatir prestisius di Eropa yang terintegrasi memperebutkan Grand Prix Eropa (GPE) untuk Paduan Suara. Inilah peristiwa tahunan sejak 1989 yang mempersatukan paduan suara amatir di Eropa, tetapi terbuka bagi paduan suara di belahan bumi mana pun. Cukup dengan mengirim contoh suara mereka dalam rekaman sebagai bagian dari seleksi awal.
Kelima lomba lain itu adalah International May Choir Competition di Varna, Bulgaria; Bela Bartok International Choir Competition di Debrecen, Hongaria; Florilege Vocal de Tours, Perancis; International Choral Competition di Maribor, Slovenia; dan International Tolosa Choral Contest di Tolosa, Spanyol. Kammarkören Swedia akan bertanding tahun 2011 menghadapi lima paduan suara yang masing-masing pemenang tahun ini dari kelima lomba tersebut.
Mengincar GPE
Mengikuti lomba paduan suara tingkat internasional tampaknya merupakan tren bagi paduan suara mahasiswa maupun gerejani di Indonesia dalam lima tahun terakhir. Selain menimba pengalaman antarbangsa, anggota kor akan bersemangat mengikuti latihan dan persiapan lainnya—bisa berupa konser domestik—sebab ada sasaran. Sekaligus boleh dibilang, mengikuti lomba internasional adalah bagian dari raison d'être bagi paduan suara domestik kita yang saat ini tumbuh subur.
Posisi BMS agak khusus. Avip Priatna yang sebelumnya memimpin PSM Unpar merupakan sang pemula dalam urusan lomba tingkat internasional: sudah sejak 15 tahun lalu. Yang ia ikuti umumnya lomba dengan persyaratan tinggi, seperti lomba di Eropa yang termasuk dalam jaringan GPE. Tahun 2009, misalnya, BMS ikut International Choral Competition di Maribor, Slovenia dan meraih urutan kedua. Kini dapat kusala khusus sebagai penafsir terbaik lagu wajib dalam lomba di Arezzo.
”Tahun depan kami akan coba mengincar GPE melalui lomba yang di Bulgaria,” kata Avip. ”Kami akan berusaha, toh Philippine Madrigal Singers yang dua kali dapat GPE baru pada usia ke-34 dapat GPE yang pertamanya.”
Berbeda dengan partisipasi mereka di Maribor tahun lalu yang tak dapat perhatian langsung pemerintah, keikutsertaan mereka kali ini didukung Dirjen Pemasaran Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Sapta Nirwandar. Kedubes Indonesia untuk Italia juga menyambut BMS sebagai kontingen Indonesia sejak tiba di Bandara Leonardo da Vinci, Roma dan mengutus Sekretaris Ketiga Kedubes, Sandy Darmosumarto, menyaksikan lomba langsung di Arezzo, tiga jam perjalanan darat dari Roma ke arah utara. Dengan dukungan ini, cukup bermaknalah pakaian daerah yang mereka kenakan dalam malam final sebagai duta Indonesia.
Sumber: Kompas, Minggu, 26 September 2010
No comments:
Post a Comment