-- Asep Salahudin
TENTU ada banyak makna yang dapat kita petik di hari kemenangan Idul Fitri. Salah satu dari sekian makna itu adalah desakan akan keinsafan membangun kohesivitas dan solidaritas sosial.
Di momen yang penuh kegembiraan itu, hasrat bersatu dipancangkan. Masyarakat yang lama tinggal di kota-kota secara bersamaan bergerak ke tempat kelahirannya, berbaur bukan hanya dengan memori silam yang mengendap dalam layar bawah sadarnya, melainkan juga dengan handai tolan dan sanak saudara. Mereka melakukan arus balik untuk segera melaksanakan ritus silaturahim di tempatnya masing-masing. Ucapan selamat terucap. Permohonan permaafan yang datang dari lubuk nurani tersampaikan. Munajat agar segenap kebaktian di bulan suci diterima diujarkan.
Dalam suasana seperti itu, umat benar-benar terasa menjadi sebuah keluarga besar. Berbinar merasakan kebahagiaan yang sama. Diikat dengan ingatan dan penghayatan keberagamaan yang tidak jauh berbeda: keinginan untuk kembali suci. Idul Fitri. Kembali bening dan berada dalam kafilah para pemenang sebagaimana tampak dalam jargon yang nyaris menjadi klasik: minal aidin wal faizin.
Melampaui eksklusivisme
Tentu saja kekerabatan yang terbangun yang dijangkarkan pada spirit permaafan pada gilirannya harus dijadikan tonggak persaudaraan yang lebih luas lagi. Persaudaraan yang tidak hanya disekat persamaan pilihan keagamaan, tetapi juga melintasi batas persaudaraan kemanusiaan yang berlainan opsi keyakinan, berlainan haluan imannya.
Keragaman, apalagi dalam konteks negara kebangsaan kita, sudah semestinya disikapi sebagai fakta sosial yang tidak mungkin kita hindari. Keragaman justru menjadi pintu masuk membangun kebersamaan. Hidup sedunia, perbedaan adalah suatu keniscayaan. Kebersamaan ini hanya mungkin terwujud manakala kita menjadi sebuah ”keluarga besar” yang selalu mengembangkan sikap toleran, terbuka, dialog, dan tidak terlintas sedikit pun untuk mengembangkan sikap-sikap eksklusif yang selalu memonopoli kebenaran seraya menganggap orang lain keliru.
Persaudaraan yang melampaui batas-batas formalisme agama sebagai substansi Idul Fitri mengingatkan kita akan keteladanan profetis yang diperagakan Muhammad SAW di Madinah. Keragaman Madinah di tangan Nabi justru menjadi jembatan untuk membangun masyarakat berkeadaban. Piagam Madinah menjadi dokumen penting yang merekam jejak-jejak sikap inklusif Sang Nabi. Dalam piagam yang disebut Haikal sebagai ’watsiqah siyasiyyah’ atau dokumen politik itu diteguhkan, di antaranya (1) menjamin kebebasan beragama, (2) larangan saling mengganggu satu sama lain, (3) harus membantu satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari, 4) larangan orang melakukan kejahatan. Sebuah piagam yang hakikatnya, sebagaimana dikatakan A Syafii Maarif (1986), merupakan cermin utuh upaya penerjemahan secara fungsional nilai-nilai universal dengan tujuan utama membangun bumi ideal yang berkeadilan di atas jangkar nilai moral dan multikulturalisme.
Robert N Bellah menyebutkan bahwa contoh pertama nasionalisme modern ialah sistem masyarakat Madinah masa Nabi. Komunitas itu disebut ”modern” karena adanya keterbukaan bagi partisipasi seluruh anggota masyarakat dan karena adanya kesediaan para pemimpin menerima penilaian berdasarkan kemampuan dan menanggalkan eksklusivisme.
Lebih jauh Bellah, seperti dikutip Yudi Latif, juga menyebut sistem Madinah sebagai bentuk sikap egaliter partisipatif.
Haluan persaudaraan
Persaudaraan bukan sekadar basa-basi dan atau hanya sekadar rekayasa kekuasaan, melainkan juga benar-benar menjadi modus cara kita ”berada”. Orang lain relasinya dengan kita bukan sebagai pelengkap, melainkan yang menyebabkan eksistensi kita wujud di dunia. Tanpa mengakui positif kehadiran ”orang lain”, eksistensi kita dipertaruhkan.
Inilah yang disebut Gabriel Marcel persekutuan tuntas dan sempurna yang dibangun di atas landasan ”Aku bertemu engkau secara pribadi sehingga aku-engkau menjadi kita. Pertemuan dengan orang lain adalah keniscayaan untuk menunjukkan eksistensi kita. Bukan persoalan ada dan tidak ada, tapi satu kemestian yang tidak dapat ditawar lagi”.
Orang lain yang berbeda dengan kita bukanlah neraka seperti dituduhkan filsuf ateis-eksistensialis murni Jean Paul Sartre (L’enfer c’est les autres: neraka adalah orang lain), melainkan merupakan bagian tak terpisahkan dari diri kita yang mempunyai tanggung jawab sama dalam ikhtiar membentuk bumi manusia yang santun.
Bahkan, lebih dari itu, Idul Fitri juga mengingatkan bahwa persaudaraan itu harus dibangun di atas panggilan suci ketuhanan, menjangkarkan setiap hubungan antarmanusia kepada akar yang bersifat ilahiah yang diistilahkan Marcel sebagai Engkau Absolut. Toi Absolu: Allah menjadi dasar metafisis terdalam bagi setiap relasi antarmanusia sebagaimana kondisi kesucian kita adalah fitrah yang kita bawa jauh sebelum kita lahir, seperti ikrar yang kita ucapkan di hadapan Tuhan dalam sebuah perjanjian ajali. Persekutuan berada dalam tatapan terang Ilahi.
Jika persaudaraan itu tidak menjadi persekutuan kemanusiaan yang utuh (ummah wahidah), yang dipertaruhkan tidak hanya masa depan kemanusiaan, tetapi juga kehadiran kita. Seandainya satu makna ini absen dari momen Idul Fitri, Lebaran itu hanya menyisakan hal yang artifisial: kenduri ketupat. Selamat berlebaran 1431 H.
Asep Salahudin, Wakil Rektor IAILM Suryalaya, Tasikmalaya
Sumber: Kompas, Kamis, 9 September 2010
No comments:
Post a Comment