-- Asep Salahudin
SETIAP tahun, menjelang dan selepas Idulfitri, kita dihadapkan pada pemandangan mengagumkan dan nyaris tidak rasional, yaitu arus mudik dan balik Lebaran. Hampir dipastikan jalanan macet, terminal berjubel, serta stasiun dan pangkalan kapal berdesakan. Angka kecelakaan selalu menampakkan grafik menaik. Nyawa dipertaruhkan. Bagaimana tidak, motor berboncengan sampai empat orang, kereta berjejal sampai napas tersengal, penumpang bus ditumpuk tak ubahnya pindang.
Mudik bukan hanya membuat orang sibuk, melainkan juga negara ikut turun tangan dengan mengerahkan aparat kepolisian secara nasional dengan sandi Operasi Ketupat. Pemerintah menambah armada angkutan dan memperbaiki jalur transportasi. Mudik betul-betul menjadi panggung dramaturgi kolosal sebagai ritus yang menautkan unsur budaya, sosial, bahkan juga ekonomi. Membaca fenomena mudik adalah membaca tentang hasrat manusia, terutama khas manusia Indonesia yang berada di kota untuk pulang ke kampung halaman, merajut kembali akar tradisi yang boleh jadi terputus.
Dengan mudik, kenangan masa silam dihadirkan. Mudik menjadi sebentuk "jembatan nostalgia" yang memperantarai masa depan dan waktu silam. Menghadirkan kenangan romantis desa yang penuh kekerabatan, damai, dan akrab ketika fakta keseharian di kota dijebak nafsu modernisme yang serbasoliter, tidak kenal sesama, diburu waktu tak ubahnya mesin.
Dalam kenyataannya, tidak ada orang yang bisa berkelit dari kenangan sejarah masa silam, manusia yang lebih senang menyimak dan larut dalam "kenangan sejarah" (Durkheim). Bahkan, sebagaimana dikatakan Harold R. Isaacs (1993), lubang-lubang kecil, sel-sel dari tubuh kecil yang baru lahir, termasuk juga sel-sel yang membentuk jaringan otak baru yang halus itu, disusun dari bahan-bahan yang tidak diketahui oleh siapa pun. Berapa banyak kenangan biologis dari masa lalu yang terkait di dalamnya. Mudik digerakkan oleh hasrat menjadi "bayi" setelah selesai puasa dalam keadaan suci terbersihkan sekaligus mengingat kenangan masa silam. Mulangkeun panineungan dari langkah-langkah yang telah kita goreskan.
Sejarah mudik
Mudik sebenarnya memiliki akar sejarah dalam tradisi bangsa Indonesia yang sangat panjang, berabad-abad bahkan jauh sebelum berdiri Kerajaan Majapahit dan Mataram. Mudik dahulu dilakukan setahun sekali dalam bentuk ziarah ke pekuburan, meminta berkah kepada para dewa yang terkenal dengan tradisi nyadran, kemudian kepada yang masih hidup dilakukan sungkeman. Proses nyadran dan sungkeman ini bukan hanya dilakukan masyarakat huma, tetapi juga oleh masyarakat agraris yang kemudian ketika Islam datang, tradisi mudik ini terus dipertahankan dengan muatan makna baru.
Akulturasi Islam dengan budaya lokal ahirnya menghadirkan mudik sebagai prosesi silaturahmi yang dilakukan menjelang Lebaran. Silaturahmi, baik kepada mereka yang sudah meninggal maupun kepada yang masih hidup yang biasanya pada Syawal diformulasikan dalam bentuk ritus halalbihalal.
Dalam tafsir Umar Kayam ditegaskan, tradisi mudik Lebaran ternyata berkaitan dengan "tradisi-tradisi" lain di negeri kita. Tradisi yang berkaitan dengan mudik Lebaran adalah tradisi dari garis keturunan keluarga jaringan dan tradisi budaya Islam, tradisi minalaidin walfaizin. Kedua tradisi ini, ungkap Kayam, menyatu dengan keunikan dalam masyarakat kita serta telah menjadi akar sintesis-budaya yang kukuh dan memberinya satu potret-budaya yang, agaknya, khas Indonesia.
Mudik Lebaran adalah satu gerak eksodus yang spontan dan imperatif dari warga keluarga jaringan yang tercerai oleh gerak pencarian nafkah, diilhami oleh bulan Ramadan, menjalani ibadah puasa yang ditutup dengan Idulfitri. Warga garis keturunan yang tercerai oleh gerak perantauan mencari nafkah, yang beragama Islam, yang selalu memendam rasa romantika rindu kepada "markas asal" keluarga jaringan, pada hari-hari Lebaran menyisihkan rutinitas kerja keras mereka, lari kembali ke "markas asal" keluarga jaringan untuk sekali lagi menyatakan kesetiaan dan solidaritas kepada "mereka di sana".
Dalam mudik, kehangatan kekeluargaan itu terbangun kembali. Dalam konteks nasional, kekeluargaan ini menjadi penting justru di tengah situasi politik perkauman yang menjurus pada hasrat mau menang sendiri, keinginan merasa benar sendiri. Kekeluargaan yang dijangkarkan pada semangat sabilulungan seperti ini dengan bagus ditulis oleh mujtahid karawitan Mang Koko: Sabilulungan dasar gotong royong/Sabilulungan sipat silih rojong/Sabilulungan genteng ulah potong/Sabilulungan ‘persatuan’ tembong (katembong).
Akhirnya, selamat mudik dan kembali dalam arus balik dengan fajar pencerahan baru.***
Asep Salahudin, pengamat kebudayaan Sunda.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 5 September 2010
No comments:
Post a Comment