Thursday, September 09, 2010

Idul Fitri sebagai Elan Toleransi

-- Zuhairi Misrawi

Min al-’Aidin wa al-Faizin. Ungkapan ini menggema di setiap momen Idul Fitri sebagai doa dan harapan untuk kembali pada kesucian serta dalam rangka meraih kemenangan, setelah sebulan penuh menunaikan ibadah puasa. Sebab itu, momen tersebut senantiasa dirayakan dengan sukacita, gembira, dan penuh kebahagiaan.

Kebahagiaan yang tersimpan di dalam perayaan hari besar tersebut sejatinya dapat menjadi modal sosial sekaligus modal spiritual untuk mewujudkan kehidupan yang lebih toleran, damai, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Hal tersebut mutlak dilakukan agar setiap momentum keagamaan tidak hanya menjadi sekadar perayaan belaka, tetapi juga mempunyai makna transformatif dalam kehidupan sehari-hari.

Setiap perhelatan Idul Fitri pasti mempunyai keistimewaan. Apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang mayoritas penduduknya Muslim, Idul Fitri di Tanah Air mempunyai nilai plus karena dijadikan sebagai momentum untuk mempertemukan keluarga yang lama tidak bersua akibat kesibukan mereka.

Idul Fitri telah menjadi medium untuk membangun solidaritas dan persaudaraan yang dilaksanakan secara rutin setiap tahunnya. Istimewanya, masyarakat melakukan mudik ke kampung halaman mereka secara sukarela. Meskipun tidak jarang dari mereka yang harus mengeluarkan biaya cukup besar dalam rangka mempererat tali silaturahmi di antara mereka.

Dalam hal ini, persaudaraan yang terdapat di dalam Idul Fitri telah menjadi modal penting dalam membangun persaudaraan dalam konteks kebangsaan dan kemanusiaan. Kehendak untuk membangun harmoni bagi masyarakat sebenarnya tidak pernah surut karena faktanya selalu ada momen yang dapat membangkitkan kesadaran akan pentingnya membangun tali persaudaraan.

Thahir bin Asyur dalam Maqashid al-Syariah (2005) menyatakan, momen kembali ke fitrah amatlah penting karena hal itu dapat menjadi fondasi yang kuat bagi pemahaman yang lebih tinggi lagi, utamanya terhadap nilai-nilai universal yang terdapat di dalam agama, seperti toleransi, kemaslahatan, dan keadilan. Fitrah merupakan tuntunan yang diciptakan Tuhan kepada setiap manusia, yang mana mereka sebisa mungkin dapat menggunakan akal budinya untuk mencapai kemuliaan dalam hidup. Sebab itu, beruntunglah mereka yang betul-betul memahami dan memaknai fitrah karena fitrah akan menjadi starting point untuk menyemai kebajikan sembari menjauhi kemungkaran.

Tantangan

Dalam konteks kekinian, kembali ke fitrah mutlak diperlukan karena ruang publik masih dihantui oleh kekerasan dan intoleransi. Pelaku terorisme ditangkap, ditembak, bahkan dihukum mati. Namun, ideologi terorisme masih terus berkeliaran. Kekerasan yang dilakukan oleh ormas keagamaan cenderung meningkat jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri membenarkan bahwa kekerasan yang dilakukan beberapa ormas cenderung meningkat. Jika pada tahun 2007 terjadi sekitar 10 kasus, tahun 2008 sekitar 8 kasus. Pada tahun 2009, aksi kekerasan melonjak menjadi 40 kasus. Bahkan hingga pertengahan tahun 2010 sudah terdapat 49 kasus (Kompas, 6/9).

Data-data tersebut telah menciptakan keresahan dan kegelisahan di mata publik, bahkan mengganggu ketertiban umum. Jajak pendapat yang dilakukan harian Kompas membuktikan, rata-rata di atas 80 persen responden menyatakan keresahan mereka terhadap eskalasi kekerasan yang makin telanjang. Semua itu terjadi karena muncul pemahaman di sebagian kelompok bahwa perbedaan agama dan keyakinan merupakan sebuah ancaman, bukan kekuatan untuk membangun harmoni. Dalam hal ini, kebhinekaan yang merupakan pilar penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara lambat laun diabaikan, bahkan dicederai.

Tantangan tersebut harus menjadi agenda bersama yang mesti dipecahkan sehingga tidak menjadi energi negatif yang dapat mengganggu integrasi sosial yang sudah mendarah daging di republik ini. Tujuannya agar kebencian sebuah kelompok terhadap kelompok lain tidak semakin meluas, dan kehendak untuk membangun harmoni selalu menyala, sebagaimana tercermin dalam momentum Idul Fitri.

Toleransi

Idul Fitri dapat dijadikan sebagai jalan untuk mengatasi problem intoleransi di atas. Ketika setiap umat mampu kembali ke fitrah, yang mana akal budi mereka siap untuk melakukan kebajikan, maka kehendak untuk membangun toleransi akan senantiasa bergelora. Yaitu sebuah sikap saling menghormati, saling menerima, dan saling menghargai di tengah keragaman budaya dan karakter manusia.

Salah satu tradisi yang biasa dilakukan dalam Idul Fitri adalah bermaaf-maafan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan, tradisi bermaaf-maafan itu tidak hanya terjadi di antara umat Islam, tetapi juga melibatkan umat non-Muslim lainnya. Hal ini semakin membentangkan jalan bagi toleransi karena setiap orang mempunyai keterbukaan dan kelapangdadaan terhadap orang lain, bahkan komitmen untuk memaafkan kesalahan di masa lalu serta membuka lembaran hidup masa kini dan masa mendatang untuk kehidupan yang lebih baik.

Sementara perbedaan harus dipahami sebagai sunatullah yang harus disyukuri. Sebab, perbedaan merupakan titah Tuhan yang harus dijadikan sebagai keniscayaan hidup di dunia sehingga setiap kelompok dapat membangun dialog dan pengertian di antara mereka. Tindakan kekerasan atas nama agama sama sekali tidak dibenarkan.

Dalam hal ini, ada baiknya bila meneladani para ulama fikih, seperti Imam Syafii, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Di tengah perbedaan pandangan di antara mereka tidak menjadikan mereka bertentangan satu dengan yang lain. Imam Syafii mengeluarkan sebuah pandangan yang penting sekali dalam rangka memaklumi perbedaan dan membangun toleransi, ”Pendapat saya benar, tapi mungkin saja salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi mungkin saja benar.”

Toleransi merupakan laku para ulama terdahulu. Sebab itu, dalam suasana Idul Fitri ada baiknya toleransi dijadikan sebagai pesan utama yang dapat memperkokoh tali kebangsaan dan tali kemanusiaan. Harapannya, toleransi akan menjadikan bangsa ini bangkit dari keterpurukan karena tidak ada lagi kebencian dan kekerasan yang dilakukan oleh warganya.

Zuhairi Misrawi, Ketua Baitul Muslimin Indonesia Bidang Hubungan Antar-agama dan Penulis buku ”Al-Quran Kitab Toleransi”

Sumber: Kompas, Kamis, 9 September 2010

No comments: