Sunday, September 05, 2010

[Buku] Gus Dur dan Bangkitnya Anak Muda NU

Judul Buku: Pembaruan tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur

Penulis : Djohan Effendi

Kata Pengantar : Prof. Dr. Olaf Schumann

Penerbit : Buku Kompas, Jakarta

Cetakan : I, Maret 2010

Tebal : xxvi + 330 halaman

NAHDLATUL Ulama (NU) merupakan salah satu ormas keagamaan terbesar dan tertua di negeri ini. Dalam usianya yang cukup renta untuk ukuran manusia tersebut, NU memiliki beragam kekayaan tradisi yang menempatkannya menjadi komunitas yang tak pernah kering untuk ditulis dan dikaji. Warna-warni pemikiran dan langkah gerakan yang ia usung tidak saja menarik untuk ditonton, tapi juga layak dianalisis sebagai bagian dari peradaban bangsa.

Keasyikan dalam menelisik NU, setidaknya disebabkan performance-nya yang mampu berfungsi sebagai titik temu (common platform) beragam latar belakang dan obsesi umat Islam. Sehingga, Islam�Ahlusunnah wal Jamaah�NU bisa kita rujuk sebagai tiga mata rantai yang mampu menyembulkan komposisi peradaban Islam di Indonesia. Sebab itu, mempelajari dan memahami corak keberagamaan Tanah Air, akan terasa kering dan tidak utuh tanpa mengikutsertakan NU di dalamnya.

Dalam konteks itulah buku ini lahir. Di sini, Djohan Effendi menyatakan dengan gamblang bahwa NU tidak hanya sebatas sebagai organisasi (jamiah) yang acap bergelut pada wilayah politis-pragmatis. Akan tetapi, lebih dari itu, ia merupakan sebuah komunitas (jemaah) yang mengakar kuat pada masyarakat kelas menengah ke bawah, yang terlembagakan dalam pesantren.

Pada perkembangannya, pesantren pun memiliki peran yang sangat besar terhadap pertumbuhan pemikiran keagamaan masyarakat NU, terutama generasi mudanya. Apalagi, di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), anak muda NU terlihat memiliki energi yang kuat untuk menjunjung tinggi slogan yang kerap dikumandangkan di komunitas besutan K.H. Hasyim Asy�ari ini: Merawat tradisi yang masih baik, sembari mencari khazanah baru yang lebih baik (al-muhaafazhotu �ala qodiimi as-sholih wa al-akhzu bi al-jadiidi al-ashlah).

Tak hanya itu, mampunya anak muda NU menggabungkan ilmu keagamaan klasik dengan pendidikan modern, telah menjadikan mereka memiliki pemikiran yang jauh lebih responsif terhadap modernitas dan beragam patologi sosial yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat, serta lebih terbuka terhadap ide-ide baru ketimbang para seniornya.

Menurut Syafiq Hasyim dan Robin Bush (1998), seperti yang disitir Djohan, ini tak lain karena Gus Dur kerap melontarkan pertanyaan dan kritik tajam atas doktrin keagamaan NU, serta mendorong intelektual mudanya untuk lebih intens mewujudkan kritik-kritik tersebut. Sehingga, NU pun mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Tidak heran jika sebagian besar kalangan menganggap NU lebih dinamis dan maju dalam bidang pemikiran keagamaan dibandingkan dengan organisasi Islam lainnya (hlm. 10).

Selain pesantren, merebaknya berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang secara (tak) langsung memiliki afiliasi keagamaan, juga menjadi sesuatu yang cukup berpengaruh pada perkembangan pemikiran generasi muda NU. Sebab, keikutsertaan mereka di berbagai LSM ini telah memberikan kesempatan yang luas untuk turut dalam berbagai wacana intelektual dalam iklim yang lebih terbuka bagi perubahan dan penyegaran doktrin keagamaan, yang sangat sulit terjadi di lingkungan pesantren.

Gus Dur memang memiliki kharisma dan daya tarik tersendiri ketika memimpin NU. Ia mampu �menghipnosis� generasi muda untuk ikut mengampanyekan proyek kebebasan dan keterbukaan dalam pemikiran dan kehidupan beragama. Buktinya, sampai saat ini, tak terhitung jumlah intelektual muda NU yang membentuk komunitas-komunitas baru sebagai wadah dalam melanjutkan estafet pemikiran yang dulu diteriakkannya.

Alhasil, dengan membaca buku ini, kita pun akan bisa menangkap sebuah pesan bahwa wacana keagamaan di kalangan anak muda NU di bawah kepemimpinan Gus Dur merupakan sisi lain dari kebangkitan umat Islam Indonesia. Suatu sisi yang juga sangat berbeda dengan gerakan modernis yang kerap menjadi fokus kebanyakan studi Islam saat ini.

Seperti yang dikemukakan Olaf Schumann dalam kata pengantarnya, hal paling penting yang layak diapresiasi dari buku ini adalah perihal bagaimana Djohan Effendi memperkarakan kembali kategorisasi lama tentang �modernis�, �reformis�, atau �tradisionalis�, yang kerap menimbulkan salah paham dan ketegangan antarumat Islam di Indonesia.

Muslim
, penikmat buku, alumnus IAIN Raden Intan Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 September 2010

No comments: