-- Gregorius Magnus Finesso, Hendriyp Widi, dan Samuel Oktora
CERICIT burung gereja masih ramai di Polder Tawang, Semarang, saat Achmad Romli (22) turun dari mobil Colt kuning kusam, Rabu (8/9). Digenggamnya tiket sambil bergegas masuk Stasiun Tawang. Koper dan tas jinjing tak menghalangi langkahnya.
Ribuan penumpang turun dari Kereta Api Kutojaya jurusan Kutoarjo-Jakarta di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Selasa (14/9). Stasiun Pasar Senen mulai dipadati para pemudik yang baru kembali dari berlebaran di kampung halaman. (KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)
Bersama dua rekannya, Romli bergegas menuju loket. Jam masih menunjuk pukul 07.30 sebelum Kereta Api Fajar Semarang berangkat ke kota harapan, Jakarta.
”Ke Jakarta juga, Mas? Cari kerja juga?” sapa Romli asal Jatirejo, Gunungpati, Semarang, Jawa Tengah. Pemuda lulusan SMKN 7 (STM Pembangunan) Semarang itu mengaku pergi ke Jakarta untuk bekerja.
Romli ditawari kerja oleh teman sedesanya, Mubarok, seorang mandor bengkel mesin di Teluk Gong, Jakarta Utara. Karena order perbaikan mesin bubut dan bangunan biasanya ramai saat libur seperti ketika libur Lebaran, Romli diminta datang sebelum Lebaran.
Mubarok juga menasihati, datang lebih awal akan meloloskan dirinya dari operasi yustisi Pemerintah Provinsi Jakarta.
Di mata Romli, Mubarok adalah sosok sukses. Pergi merantau ke Jakarta sejak lima tahun silam, Mubarok telah membangun rumah lengkap dengan perabot plus lemari es.
”Tiap pulang kampung, Mas Mubarok selalu cerita Jakarta. Awalnya, banyak yang membuat saya takut. Tapi, enggak ada pilihan lain. Di desa, harapan menipis,” kata Romli yang sudah dua tahun menganggur.
Romli bercerita, tak mudah mendapat pekerjaan di kampung. Andai diterima di salah satu bengkel di Ungaran, upahnya Rp 450.000 per bulan. Sementara Mubarok mengiming-iminginya upah hingga Rp 1,2 juta per bulan.
Dari Kampung Amarasi Selatan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Elis Runesi (26) juga merantau ke Jakarta karena banyak impian menjanjikan. Anak ke-10 dari 11 bersaudara itu bahkan berani memutuskan ke Ibu Kota meski dia tidak mempunyai kerabat di Jakarta.
Sulistyono (28), warga Kecamatan Tegowanu, Grobogan, Jawa Tengah, juga tak kapok meski dua kali gagal di perantauan. Saat pertama kali ke Jakarta tiga tahun silam, dia dirampok menjelang Lebaran. Uang tabungannya sebesar Rp 1,5 juta ludes.
Kedua kalinya, anak Sulistyono yang dibawa ke Jakarta sakit parah dan terpaksa dipulangkan. Untuk ketiga kali, tahun 2010, dia akan merantau ke Ibu Kota lagi. Dia ditawari pekerjaan di pengolahan sampah Bantar Gebang, Bekasi.
Romli, Elis, dan Sulistyono hanya segelintir dari puluhan ribu orang yang menyerbu Jakarta. Mereka berdatangan setiap tahun, terutama berbarengan dengan arus balik Lebaran. Tujuannya lebih kurang sama: mencari kerja demi memperbaiki nasib.
Citra buruk
Pemprov DKI Jakarta pun kewalahan menangani arus urbanisasi. Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengakui, meski menurun, jumlah pendatang masih terbilang tinggi. Jika pada 2008 ada 80.000 pendatang, pada 2009 berkisar 68.000 orang. ”Tahun-tahun sebelumnya bahkan 100.000 orang,” katanya.
Untuk mencegah urbanisasi kian tinggi, sampai-sampai pemerintah menyebarkan ”citra buruk” Jakarta di sejumlah stasiun dan terminal. Selebaran berisi foto dan informasi dampak kepadatan penduduk, kehidupan tanpa keahlian, dan tanpa kartu tanda penduduk (KTP). Ditampilkan juga potret kemacetan, polusi, permukiman kumuh, gelandangan, pengemis, dan kriminalitas.
Apa mau dikata, ketimpangan pembangunan pusat-daerah telah memicu urbanisasi selama puluhan tahun. Namun, andai ada niat kuat, pemda sebenarnya dapat menahan tenaga-tenaga produktif untuk berkarya di kampung halaman.
Desa ”produktif” Padurenan, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, contohnya. Pemda setempat menjadikan desa itu sebagai kluster usaha bordir dan konfeksi. Setidaknya kini ada 100 perajin dan 30 persennya berskala besar.
Di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, Pemerintah Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, bersama komunitas Jatiwangi Art Factory secara mandiri berupaya menekan urbanisasi sekaligus mempromosikan kembali genteng Jatiwangi. Sejak 2005, mereka menggalakkan program desa kesenian.
Genteng dan tembikar dijadikan alat musik, seperti seruling, ketipung, perkusi, kulintang, dan gitar genteng. Sejumlah pemuda, yang putus sekolah atau yang masih sekolah, belajar seni tata panggung atau artistik.
”Tiap kali pentas, para pemuda dapat uang. Penghasilan mereka Rp 300.000-Rp 500.000 per orang,” kata Kepala Desa Jatisura Ginggi Syarif Hasyim.
Bagi pengamat ekonomi sosial Universitas Pasundan Bandung, Acuviarta, urbanisasi bagai pedang bermata dua bagi kota besar. ”Dulu, urbanisasi dianggap memacu perekonomian kota. Namun, jika berlebihan, risiko sosial ekonominya mengkhawatirkan,” jelasnya.
Badan Pusat Statistik memprediksi, urbanisasi terjadi pada 68 persen dari seluruh penduduk Indonesia pada 2025.
Untuk itu, kata Acuviarta, pemerintah harus memberdayakan rakyat desa dan membangun infrastruktur daerah. Kesenjangan hanya bakal menambah silau Jakarta, seperti lirik lagu ”Lenggang Jakarta” yang dipopulerkan Andi Meriem Mattalatta akhir 1980-an: Lenggang lenggok Jakarta/Jadi simbol maju usaha/Tak kurang banyak juga yang kecewa/Akhirnya cuma buang waktu saja....
Sumber: Kompas, Rabu, 15 September 2010
No comments:
Post a Comment