-- Mohammad Sobary
AGAMA, maksudnya ekspresi keagamaan dalam hidup—yang menjadi kajian antropologi agama—selalu berubah. Wajah kebudayaan agama kita itu responsif terhadap tuntutan zaman. Kita tahu perubahan itu bisa terjadi karena renungan atau ijtihat seorang pembaru yang otoritatif dalam bidangnya, bisa juga karena hasil keputusan kolektif suatu muktamar, atau suatu tim kecil mengenai permasalahan agama tertentu.
Mungkin patut dicatat pula, perubahan itu tak menimbulkan guncangan menakutkan. Dan sebaiknya begitu agar kaum beriman bisa menampilkan makna iman-fenomena jiwa yang berhubungan dengan langit dan keabadian-ke bumi, yang penuh kotoran dan fana, agar bumi menjadi lebih bersih, lebih feminin.
Teknologi informasi bisa menyumbangkan jasa mendasar. Perubahan baru dalam kebudayaan agama dalam beberapa tahun terakhir ini tampak menggejala secara nasional. Tahu-tahu, di layar telepon seluler kita sudah bermunculan permintaan maaf, juga minta doa restu, untuk memasuki ”medan tempur” terberat dalam sejarah perang Islam: perang melawan nafsu sendiri.
Jadi, di awal ”perang” kita minta maaf dan memberi maaf. Di akhir ”perang” pun kemuliaan itu kita ulangi. Dunia terasa damai. Hidup lalu penuh persahabatan. Dan, setidaknya selama seminggu sesudah Lebaran, kita saling menyampaikan salam dan menyambut kemenangan dalam ’perang’ besar tadi tanpa ngasorake siapa pun.
Proyek dunia
Kita mampu menciptakan tradisi luar biasa ini pada skala nasional, tanpa dana tanpa subsidi pemerintah. Bangsa kita itu hebat. Hal-hal besar dan spektakuler macam ini bisa dilakukan, bisa dicipta, dan terus-menerus dicipta kembali, hingga menjadi tradisi mapan. Dari segini ini agama menyirami bumi ini menjadi adem, tenang, aman, tanpa tetesan darah, tanpa kekerasan.
Maka, selamat saudara-saudaraku para pejuang yang baru saja memenangi ”perang besar”, dan kembali ke kancah perang yang lain, di partai politik, di dunia bisnis, di lembaga pendidikan, di Muhammadiyah, di NU, di NGO, di pemerintahan, di parlemen, di mana saja—juga di FPI—yang merasa di garis paling depan menegakkan agama. Agama harus ditegakkan dengan semangat damai seperti itu.
Kita gandeng semua tangan yang ingin bikin bumi ini tempat berteduh semua manusia. Di tingkat dunia, tahun ini Dewan Kepausan untuk dialog antarumat beragama menyampaikan pesan akhir bulan puasa, dari kota suci Vatikan, ditandatangani presidennya, Jean-Louis Kardinal Tauran, dan Uskup Agung Pier Luigi Celata, sebagai sekretaris.
”Dari lubuk hati kami yang terdalam, kami ucapkan semoga Anda semua dianugerahi rasa damai dan sukacita. Pesan ini merupakan sumbangsih kami, umat Kristiani, yang merasa dekat dengan Anda semua”.
Perlu dicatat bahwa Dewan Kepausan dan Komisi Tetap Al-Azhar untuk Dialog Antara Agama-agama Monotheistik bertekad ”Mengatasi Bersama Kekerasan Antar-Para Pemeluk Aneka Macam Agama”. Ini sebuah proyek tingkat dunia, dan riil, hasil suatu ijtihad dua kekuatan itu di Kairo. Pesan itu disampaikan dalam multibahasa. Untuk kita, terutama bahasa Indonesia dan Arab, serta bahasa Inggris. Untuk negara-negara lain dalam bahasa yang akrab dengan mereka.
Media apa yang mengabadikan ’pertunjukan’ rohani, untuk membangun budaya damai, tingkat dunia, dengan tulang punggung Kristen dan Islam macam ini? Media, yang selama ini mengecam agama tak membawa rasa damai, tapi malah sebaliknya, seharusnya menyambut gembira peristiwa ini dan merayakannya secara gegap gempita melebihi semua acara politik yang hanya omong kosong.
Agama yang lembut
Jika di hari Natal, dan hari-hari besar agama lain, ada ucapan dan doa yang sama dari organisasi-organisasi Islam, surat yang simbolik itu bisa berubah menjadi tradisi kental mengabadikan kedamaian.
Dalam pertemuan di Wahid Institute, yang rileks, beberapa bulan sebelum wafatnya, Gus Dur sudah menyampaikan pesan damai itu kepada Jean-Louis Kardinal Tauran untuk bersama-sama, Kristen dan Islam, memberi perlakuan lembut, tanpa kekerasan, kepada kelompok-kelompok fundamentalis dalam agama apa pun.
Kita percaya, kekerasan, teror, dan segenap ancaman kedamaian tak bisa dibasmi hanya dengan senjata sebab mereka pun bersenjata. Manusia yang galak lebih dari macan pun hakikatnya tetap manusia. Kebekuan hatinya bisa luluh oleh sentuhan lembut.
Jangan lupa, orang keras sering datang dari ’ketandusan’ hidup masa lalunya, yang tak pernah menerima cinta. Apa tak mustahil mereka diharapkan memberikan cinta kepada kita?
Puasa dan Idul Fitri menawarkan segenap kelembutan itu. Kita minta maaf dan memberikan maaf kepada sesama. Dan kita terima salam dari agama-agama lain, yang akan memperkukuh iman kita.
Lalu, di malam kelam, yang hening, kita sujud, menyerahkan hasil kerja kita untuk mohon diberkahi ”langit” agar kerja kita bermakna di bumi. Jika kurang sempurna, kita tak perlu risau. Urusan dengan Tuhan lebih mudah daripada dengan birokrasi pemerintah yang berbelit-belit dan selalu haus duit.
Sejak dulu, urusan dengan Tuhan lebih sederhana. Cukup dengan sikap tulus, ”Duh Gusti, hamba mohon ampun”. Dan ampunan pun turun, tanpa melalui Presiden.
Mohammad Sobary, Budayawan
Sumber: Kompas, Sabtu, 18 September 2010
No comments:
Post a Comment