RUANG kontrakan itu berukuran 2 meter x 3 meter, berdinding bata, bercat putih kusam, berlantai semen yang terkelupas di beberapa bagian. Setengah lantai tertutup tikar pandan lusuh. Baju bercampur bau keringat bergantungan di dinding kosong dan lembab.
Amad dan Kliwon, dua buruh gali asal Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, ngobrol di tepi Jalan Adiyaksa, Jakarta, sambil menunggu panggilan, Senin (20/9). Meluasnya kemiskinan menyebabkan jumlah buruh gali terus bertambah. Persaingan antarsesama mereka untuk mendapatkan pekerjaan pun semakin ketat. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)
Rumah sewaan di bilangan Pondok Aren, Tangerang, Banten, itu dijejali delapan sampai 10 tukang gali. ”Saya membayar sewa Rp 1.500 semalam,” ujar Solikin (43), asal Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Kelompok buruh sektor informal itu berdatangan dari berbagai daerah. Upah mereka antara Rp 40.000 dan Rp 50.000 per hari, sesuai kesepakatan dengan mandor. ”Tidak setiap hari bekerja,” ungkap Darma (43). ”Kadang seminggu kami menganggur, tidak dapat pekerjaan.”
Kalau sudah begitu, pengeluaran harus diperketat. Makan cukup sekali sehari. Menunya nasi disiram kuah sayur dan sepotong kerupuk, Rp 3.500. Ditambah rokok, pengeluaran bisa ditekan di bawah Rp 9.000 per hari. Sisanya ditabung untuk keluarga di kampung yang dikunjungi sebulan sekali.
Uang yang diserahkan untuk biaya hidup satu keluarga dengan empat sampai lima anak kadang mencapai Rp 1 juta per bulan. Ini masih lebih baik dibandingkan upah di kampung yang jauh lebih rendah, itu pun kalau ada pekerjaan. ”Sekarang cari kerja di kampung susah sekali,” ucap Darma.
Sulitnya pekerjaan di kampung juga dirasakan Kaswari (39), buruh gali yang mangkal di perempatan Jalan Pemuda-Jalan Wahidin, Kota Cirebon. Namun, pekerjaan di kota juga tak mudah. Sering sampai lebih dari dua hari tak ada order kerja.
Berjubelnya buruh tanpa keterampilan dan sangat terbatasnya lapangan kerja di kota membuat persaingan upah tak terelakkan. Upah Rp 15.000-Rp 20.000 sudah sangat disyukuri. ”Kalau pasang harga, anak istri di rumah tidak bisa makan,” ujar Kaswari yang bersama keluarganya tinggal di daerah Ciledug, Kabupaten Cirebon.
Tak tersentuh
Wajah kemiskinan di kota dan kota besar adalah muara yang persoalan hulunya hampir tak pernah disentuh. Kampung dan dusun ibarat wilayah antah berantah yang sumber dayanya terus dikeruk dan wilayahnya dikuasai atas nama devisa negara. Mereka yang masih punya daya berduyun-duyun mengungsi ke kota, tanpa keterampilan, tanpa modal, mengaisi remah-remah rezeki untuk bertahan hidup.
Urbanisasi tak terbendung ketika disparitas pembangunan desa-kota semakin tak terjembatani. Kalau pada tahun 2009 sekitar 53 persen penduduk Indonesia menumpuk di perkotaan, menurut perkiraan Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Sonny Harry B Harmadi, jumlahnya menjadi 68,3 persen pada 2025.
Artinya, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di kota. Kemiskinan di perkotaan meningkat akibat daya dukung lingkungan dan daya serap ekonomi terbatas. Kebutuhan kota akan tenaga kerja terampil tak terpenuhi sehingga angka pengangguran perkotaan meningkat drastis. Kemiskinan antargenerasi dengan mudah terbangun karena orang yang menganggur cenderung lebih mudah menjadi miskin.
Seperti dialami Ny Bona (57). Ibu 11 anak itu memulung sampah plastik di kali bersama suaminya, buruh cuci motor, dan tinggal di kolong jembatan Karet Tengsin, Jakarta Pusat. Ia terdampar di Jakarta ketika tanah warisan di kampungnya, Cikarang, Bekasi, habis dibagi-bagi dan dijual. Sembilan anaknya tak menyelesaikan sekolah dasar. Dua bungsunya masih duduk di bangku SMP dan SD, tetapi terancam putus sekolah karena menunggak iuran bulanan.
Spiral kemiskinan
Kondisi keluarga Ny Bona adalah gambaran sulitnya memutus spiral kemiskinan di Indonesia. Hilangnya tanah petani, seperti dikemukakan Don Marut dari Forum NGO Internasional mengenai Pembangunan Indonesia (Infid), selalu bergerak paralel dengan pertumbuhan kemiskinan di Indonesia.
Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan cenderung tidak berubah selama hampir 20 tahun. Lembaga Demografi FE UI mencatat, pada 1990, persentase penduduk miskin sekitar 15,1 persen dan tahun 2008 sekitar 15,4 persen.
”Itu kalau standarnya satu dollar per hari. Kalau 1,5 dollar per hari, jumlahnya menjadi 57 persen atau 66 persen atau lebih dari 100 juta jiwa kalau ukurannya dua dollar sehari,” ujar Don.
Kemiskinan multidimensi menjadi sangat serius karena lebih dari 50 persen tenaga kerja di Indonesia hanya berpendidikan SD ke bawah. Mereka akan berjubel di pasar kerja selama usia produktif meski terus digilas oleh roda mekanisme pasar.
Jadi, jangan harap program-program penghapusan kemiskinan yang parsial dan bias kota seperti selama ini akan menghapus mimpi kemiskinan pada tahun 2015! (THY/INE/MH)
Sumber: Kompas, Selasa, 21 September 2010
No comments:
Post a Comment