Sunday, September 05, 2010

Sentuhan Lebaran

-- Hawe Setiawan

UNTUK bersalaman, apalagi berpelukan, kita harus berdekatan. Selama ada jarak fisik di antara kita, interaksi seperti itu mustahil terlaksana. Pasalnya, jarak meniadakan satu hal yang rasanya tidak tergantikan, yakni sentuhan.

Betapa pun efektifnya kartu Lebaran, SMS, Facebook, dan Twitter, semua itu tidak bisa menggantikan sentuhan. Tangan-tangan yang mau bersalaman, tubuh-tubuh yang mau berpelukan, niscaya harus bersentuhan.

Itu sebabnya, ungkapan klise "peluk cium dari jauh" terdengar absurd. Tidak mungkin kita berpelukan kalau kita berjauhan. Kehendak untuk berpelukan justru mengharuskan adanya kesanggupan untuk memupus jarak. "Jauh" itu tak tersentuh.

Baiklah, teknologi komunikasi kiwari memang menisbikan tapal batas antara "jauh" dan "dekat". Media komunikasi mutakhir, terutama yang mengandalkan layar (screen), mulai dari telefon seluler hingga komputer yang tersambung dengan internet mampu memupus jarak hingga pengalaman maya menimbulkan efek nyata. Penglihatan, pendengaran, dan mungkin penciuman, bisa digantikan melalui layar dan perlengkapannya.

Akan tetapi, teknologi seperti itu kiranya belum mampu menggantikan sensasi pada kulit ari-ari. Wajah dan suara saudara kita di Madinah, misalnya, memang bisa dihadirkan melalui telefon seluler di Malangbong, tetapi kita tidak bisa menyentuh waruga-nya. Dengan kata lain, mencari alternatif dari persinggungan antarkulit kiranya masih sulit.

Barangkali, tanpa maksud mencari-cari, kita dapat melihat kembali fenomena Lebaran, terutama mudik, dari segi ini. Perjalanan massal dari satu tempat ke tempat lain di ujung Ramadan seakan menunjukkan tetap pentingnya sentuhan ragawi di antara orang-orang yang merasa bersaudara. Dengan motivasi menyelenggarakan reuni dan rekonsiliasi, orang banyak mengadakan perjalanan, saling mendekati, saling memupus jarak. Mereka ingin bersentuhan satu sama lain.

Peluang untuk mengadakan reuni dan rekonsiliasi yang mudah dan murah memang ditawarkan oleh jejaring sosial seperti Facebook atau Twitter. Namun, alih-alih menggantikan modus komunikasi lama, layanan jejaring sosial justru memperkuat kembali minat untuk menyelenggarakan pertemuan konvensional. Sering kali para facebooker pada gilirannya bersepakat untuk mengadakan "jumpa darat". Seakan-akan tidaklah afdal jika kita hanya bertemu di jagat maya.

Sinisme kolektif terhadap produksi kartu Lebaran Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang dikabarkan berbiaya miliaran rupiah kiranya terpaut juga pada soal "maya" dan "nyata" itu. Memang, ada yang terasa lebay dalam perkara cetak-mencetak kartu ucapan itu, tetapi barangkali soal terpenting tidak terletak di situ. Kartu Lebaran seakan hanya menyampaikan "salam maya". Tangan gubernurlah yang efek silaturahminya akan terasa lebih nyata.

Oleh karena itu, ketimbang berlebihan dalam produksi kartu, kiranya lebih baik jika Gedung Pakuan dibuka untuk umum selama seminggu, dan perincian protokol dikurangi bila perlu. Akan lebih baik lagi jika gubernur dan wakilnya mendatangi tempat-tempat yang dekat dengan rakyat. Jabatlah tangan orang banyak dan mintalah maaf setulus-tulusnya.

Jika Anda masih kurang yakin akan pentingnya sentuhan tangan, lihatlah para bintang panggung setiap kali mereka mengadakan pertunjukan. Kelimun yang mengelu-elukan mereka tidak pernah merasa puas bila hanya memotret sang bintang dengan kamera telefon. Sedapat mungkin mereka berupaya menyentuh tangan sang bintang.

Konon, pernah ada seorang pemuda yang bergegas mendekati sastrawan kahot James Joyce. Kata si pemuda, "Bolehkah kucium tangan yang telah menuliskan Ulyses?" Sayang sekali, si sastrawan malah berkilah, "Jangan! Sebab tanganku ini sering digunakan pula untuk melakukan hal-hal lain."

Boleh jadi, bahkan pada Idulfitri, tangan kita pun tidak betul-betul bersih. Namun, rasanya, selalu ada harapan bahwa nila dan cela mungkin akan hilang sendiri manakala kita masih memelihara kesanggupan untuk saling berjabatan tangan, berpeluk-pelukan.

Hilang jarak, tangan disentuh, dan orang banyak berupaya memulihkan persaudaraan yang sering terasa rapuh.

* Hawe Setiawan, dosen Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Unpas

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 5 September 2010

No comments: