Judul buku : Dari Kiai Kampung ke NU Miring
Penulis: Acep Zamzam Noor dkk
Penerbit: Ar-ruzz Media, Jogjakarta
Cetakan: I, 2010
Tebal: 248 halaman
SELAMA pesantren-pesantren kecil di kampung dengan kiai-kiainya yang bersahaja itu masih ada dan terus berkiprah di tengah masyarakat, rasanya NU akan baik-baik saja. Rasanya tak akan terjadi apa-apa dengan NU. Menurut saya, merekalah yang selama ini mempertahankan dan menjaga kehormatan NU. Merekalah yang selama ini menjalankan peran NU sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang sebenarnya, justru ketika para petingginya sibuk menjadi selebritis, sibuk berebut jabatan dan proyek, sibuk menjajakan NU sebagai komoditas politik dan ekonomi, sibuk menjadi broker, jurkam, atau tim sukses.
Paragraf di atas adalah kutipan esai Acep Zamzam Noor, salah seorang di antara 15 penulis yang termaktub dalam buku Dari Kiai Kampung ke NU Miring. Selain Acep Zamzam Noor (putra Kiai Ilyas Ruchiyat (alm), salah seorang deklator PKB dari Pesantren Cipasung, Tasikmalaya), penulis lain adalah Mujtaba Hamdi, Riadi Ngasiran, Soffa Ihsan, Anggi Ahmad Haryono, Eyik Musta'in Romly, Sahlul Fuad, M. Arief Hidayat, M. Faizi, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Saprillah, Syaiful Arif, Mashuri, Surahno, dan Binhad Nurrohmat.
Keberadaan NU sebagai ormas keagamaan tentu tidak bisa lepas dari kiai dan santri yang jumlahnya kurang lebih 40 persen dari jumlah umat Islam di Indonesia atau sekitar 86 juta jiwa. Karena itu, NU tidak bisa dimungkiri adalah komoditas politik dan ekonomi (meminjam istilah Acep Zamzam Noor) yang menggiurkan. Saking menggiurkan, Sahlul Fuad dalam esainya, Rebutan NU, menuliskan perebutan kekuatan dan kekuasaan di tubuh NU terjadi dari level teratas sampai tingkat terbawah, baik dalam pilpres, pilkada, pileg, sampai pilkades. Bahkan, termasuk di dalam Muktamar NU sendiri.
Persoalan memperebutkan NU juga dipetakan Mashuri dalam tulisannya, Kiai-Santri Putus Hubungan? Dia mengutip trikotomi Geertz tentang pola kultur masyarakat Jawa dalam Religion of Java yang terdiri atas santri-priyayi-abangan. Trikotomi itu juga ditemukan dalam Politik Santri-nya Abdul Munir Mulkhan yang melukiskan pola budaya santri-priyayi-abangan bersilang di dalam tiga pusat budaya, yaitu kantor, pasar, dan pedesaan. Ketiganya membentuk struktur nilai sebagai referensi pelaku (politik) dari tiap komunitas yang tumbuh di dalamnya.
Sebagai sebuah referensi pelaku (politik), Eyik Musta'in Romly melemparkan otokritik kepada putra-putri kiai. Esainya, Mabuk Kepayang NU, dengan kritis menyikapi ketidaksiapan mental serta intelektual para penerus dinasti pesantren yang hanya sibuk membangun persaingan ekonomi dan politik di lingkungan internal pesantren sendiri.
Situasi itu oleh Acep Zamzam Noor melalui esainya, Kiai Kampung, diamsalkan seperti dunia sepak bola, kesebelasan NU terus berlatih tetapi kalah melulu jika bertanding. Hal itu disebabkan karakter nahdliyin yang sabar, ulet, tulus, lurus, tahan banting, dan menghargai proses, tidak tampak sama sekali. Yang muncul justru karakter-karakter umum seperti berebut jabatan, nepotisme tradisi atau bangga walau hanya menjadi tim sukses suatu perhelatan politik.
Kondisi itu diperparah oleh kerancuan relasi kiai dan santri pada saat para kiai terlibat dalam politik praktis. Hasilnya terlihat pada berbagai peristiwa politik nasional maupun lokal, NU menyajikan fenomena yang ironis. Jago-jago NU yang didukung para kiai tumbang bergelimpangan. Melalui esainya, Mashuri melemparkan pertanyaan, benarkah kini ''patronase'' kiai-santri telah memasuki era senjakala?
Pada buku NU dan Ambisi Kekuasaan (2004), saya menemukan M.H. Rofiq membeberkan ''trik intrik'' (meminjam istilah Sahlul Fuad dalam tulisannya, Rebutan NU) dalam perebutan hegemoni dan tarik-menarik dominasi antarkiai. Sebagai seorang praktisi politisi NU, Rofiq tidak kalah gamblang menggelar olah data dan fakta-fakta empiris yang terjadi dalam setiap peristiwa politik NU. Dengan detail dan runtut, Rofiq menyajikan hiruk-pikuk politik NU dalam bentuk reportase jurnalistik mulai bentuk politik uang, politik sarung, sampai politik simbol.
Fakta-fakta empiris yang disajikan Rofiq membuat saya bisa memahami kenapa Mashuri bertanya demikian satir, Sahlul Fuad demikian gelisah, Eyik Musta'in Romly demikian gundah, dan Acep Zamzam Noor demikian ''menggugat''?
Tetapi, buku ini tidak hanya menyajikan kekecewaan demi kekecewaan. Saya menyimpan senyum ketika membaca kisah KH Misbah Zainal Mustofa, adik kandung KH Bisri Mustofa (ayahanda KH Mustofa Bisri), yang diceritakan Soffa Ihsan dalam Nahdliyyin Anything Goes... Dia menilai Mbah Bah -begitu masyarakat sekitar Pesantren Al-Balagh, Bangilan, Tuban, menyapanya- adalah figur yang unik. Mbah Bah memajang tulisan di pintu rumahnya: ''Tamu Hanya 5 Menit''. Sedangkan kiai-kiai sekarang kalau tak ada tamu malah pusing. Ketika Soffa Ihsan serombongan dari Blora sowan kepada Mbah Bah, mereka langsung disemprot kata-kata menohok: ''Ini pasti orang NU, sukanya sowan-sowan.''
Penghormatan terhadap kiai sebagai guru adalah kultur yang dijunjung tinggi dalam komunitas pesantren. M. Faizi dalam NU Melampaui BlackBerry menuliskan bahwa dalam tradisi NU, hampir semua transfer ilmu pengetahuan selalu diisyaratkan melalui seorang guru. Hal itu yang mengakibatkan penghormatan kepada guru, kemudian gurunya guru (simbah guru), lalu kakek guru (guru dari gurunya guru), begitu seterusnya menjadi silsilah yang berjenjang.
Jejaring itu bekerja sangat baik, bukan saja dalam relasi vertikal antara kiai dan santri, melainkan juga membuat networking horizontal secara otomatis. Melalui koneksi ini, setiap peristiwa atau pesan bisa tersampaikan, bahkan sebelum bertemu atau berbicara dengan para pihak yang berkepentingan. Rahasia ''aneh'' di kalangan NU yang disebut ''karomah'' itu bagaikan frekuensi dan gelombang tingkat tinggi yang bisa dikatakan setara dengan kecepatan SMS maupun BlackBerry dalam bekerja. Walaupun tulisan M. Faizi lucu, unik, sedikit aneh, tidak masuk nalar, dan semi mustahil, saya mengakui adanya ''karomah'' itu karena saya pun pernah mengalaminya.
Buku Dari Kiai Kampung ke NU Miring ini akan membuat pembaca trenyuh sekaligus tersenyum, getir sekaligus jatuh cinta pada NU. Ibarat kulit bawang, mengupas lapis demi lapis membuat mata perih berair tetapi tetap bisa menikmati kehangatannya. Sebab, tulisan ke-15 esais muda NU ini bertumpu pada kekuatan pemikiran, pengamatan, teori, jauh dari syahwat politik yang menggebu-ngebu, dan tentu merupakan olah rasa karena kecintaan mereka yang sangat besar kepada NU. (*)
Lan Fang, pengarang, tinggal di Surabaya
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 5 September 2010
No comments:
Post a Comment