Sunday, September 19, 2010

Catatan dari Amsterdam (2): Stambul "Baju Biru"

-- Bre Redana

CAHYATI (25) bertubuh mungil. Ia berbicara dengan bersemangat dan penuh keyakinan. Dengan aksen berbau Jawa Banyumasan, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini menceritakan pengalamannya. ”Dulu saya bekerja sama dengan Sen Hea Ha,” katanya. Sen adalah koreografer dari Korea. Mereka punya proyek berjudul Infinita, pentas secara berturut-turut dari tahun 2006 sampai tiga tahun berikutnya di Belgia, Belanda, Australia, Perancis, dan Singapura. ”Saya membikin interpretasi musik piano dengan tarian Jawa. Itu metode Sen. Wujudnya tari kontemporer,” lanjutnya.

Antusiasme yang sama ditunjukkan Endah Sri Murwani (34), yang juga pernah mengenyam pendidikan di ISI Surakarta meski hanya beberapa semester. Bertubuh subur, di panggung menokohkan diri sebagai tokoh wayang Limbuk, Endah yang di lingkungannya di Jawa Tengah dikenal sebagai pesinden dengan nama Endah Laras bicara mantap mengenai seni kontemporer. ”Dengan menyinden saya berusaha mengeksplorasi yang klasik menjadi kontemporer,” ujar perempuan kelahiran Sukoharjo ini.

Ia punya pengalaman tampil di beberapa negara, antara lain Australia, Perancis, dan Korea. Di Belanda beberapa kali ia tampil. Ketika bersama rombongan Opera Jawa muncul di Tropenmuseum, Amsterdam, awal September sebelum Lebaran lalu, ia mencengangkan penonton yang 90 persen warga setempat. Dia membikin penonton terpesona ketika dengan ukulele dengan bebas merdeka melantunkan stambul ”Baju Biru”. Penampilan itu merupakan interval menyegarkan dari Opera Jawa.

Itulah contoh sederhana dari yang sering dikatakan orang, bagaimana ”yang lokal menjadi global”. Pertunjukan Opera Jawa karya sutradara Garin Nugroho berlangsung empat malam berturut-turut 2-5 September 2010 di Tropenmuseum, Amsterdam. Selama empat malam, hampir seluruh kursi yang berjumlah sekitar 500 terisi penonton. Harga tiket 30 euro atau sekitar Rp 360.000.

Keberhasilan karya ini menjaring penonton agaknya dikarenakan idiom lokal yang berhasil diangkat dalam ranah kontemporer. Ceritanya adalah episode cinta segi tiga Rama-Sinta-Rahwana dari epik klasik Ramayana. Bentuknya paduan tari dan tembang (dalam bahasa Jawa). Dikemas dalam ungkapan seni kontemporer, termasuk dalam hal tafsir—gelora Rahwana lebih memikat Sinta daripada Rama yang normatif dan cenderung dingin—karya itu menjadi aktual. Musik yang digarap Rahayu Supanggah dan seni rupa panggung oleh perupa Heri Dono memberi cita rasa ”avant garde”.

Gugatan terhadap modernisme

Selama berabad-abad karena pengaruh modernisme, yang bisa punya tempat di arena internasional kalau bukan yang modern adalah yang ”tradisional”, ”primitif”—yang dianggap menarik karena eksotik. Para pemikir yang dididik secara keras dalam disiplin modern (Barat) akan ngotot betapa pentingnya sejarah masa lalu, preseden, analog, yang merupakan geneaologi modernisme. Lalu bagaimana dengan bagian masyarakat di planet ini yang tidak berada dalam geneaologi modernisme Barat? Harus mencocok-cocokkan masa lalunya supaya sesuai? Taruhlah kesenian dari Sukoharjo atau Boyolali?

Itulah yang hendak digugat oleh sosiolog India, Arjun Appadurai, dalam bukunya Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (1996). Studi itu dianggap sebagai studi klasik mengenai perubahan yang dibawa oleh media dan migrasi sekarang menuju globalisasi. Pengaruh globalisasi telah menyebabkan deteritorialisasi wilayah, disergap oleh keserentakan terutama oleh pengaruh media elektronik (dan kini ditambah teknologi informasi). Jalinan masa lalu dan masa kini yang secara ketat dikukuhi modernisme, mengalami keterpatahan. Dalam istilah Appadurai, ”rupture”—putus.

Kini, yang bukan modern, bisa diartikan ”kontemporer”. Yang tradisional juga kontemporer. Heri Dono, seniman kelahiran Jakarta ini hanya sekitar 25 persen waktunya berada di Indonesia. Selebihnya ia jalani di berbagai negara dengan berbagai proyek. Dia melakukan kegiatan apa saja, dari pameran sampai melakukan workshop, misalnya membuat wayang dari karton, menampilkan bayangan dari wayang ukuran kecil, membuat proyek bunyi-bunyian, dan lain-lain. ”Kita harus ikut membantu memecahkan persoalan dunia,” ujar Heri Dono. ”Seni itu muatannya intelektualitas,” tambahnya.

Kotak-kotak seni seperti dikenal sebelumnya kini meleleh. Cahwati, si penari bertubuh mungil yang dalam Opera Jawa di Tropenmuseum, Amsterdam, berperan sebagai Anoman, pada kehidupan sehari-hari di Solo melakukan kegiatan apa saja. ”Saya juga nyanyi di mana-mana, di kampung-kampung, di pasar-pasar,” katanya. Bersama apa yang disebut sebagai rombongan Wayang Kampung Sebelah, misalnya, ia berpentas keluar masuk kampung, dengan wayang yang mengarikaturkan kehidupan politik negeri ini. Iringannya band. ”Kami ingin tunjukkan kepada masyarakat bahwa kesenian kita masih ada,” ucapnya.

Seniman lain, Waluyo Sastro Sukarno (48), penabuh gamelan andal, komponis yang membantu antara lain Sardono W Kusumo dalam Opera Diponegoro dan menjadi co-composer dalam Opera Jawa, menceritakan pengalaman bagaimana membangun kebersamaan dengan seniman-seniman lain di hutan di dekat Boston, Amerika.

Endah Laras, si Limbuk, lain lagi. Dia bercerita, di kota Kudus, Jawa Tengah, nanti dia akan segera berkolaborasi dengan penyanyi sebuah kelompok band pop yang dikenal anak-anak muda di Tanah Air. Keseniannya tak mengenal batas. Inilah juga bagian deteritorialisasi. Terbukti, stambul ”Baju Biru”-nya di tengah Opera Jawa memikat penonton-penonton Belanda.

La-la-la-la-la.... (Bersambung)

Sumber: Kompas, Minggu, 19 September 2010

No comments: