-- Budiarto Shambazy
PEKAN depan pas 45 tahun peristiwa Gerakan 30 September yang merupakan operasi CIA yang sejak akhir dekade 1950 menggoyang Bung Karno. ”Topeng mirip BK dikirim ke Hollywood, lalu dipakai bintang porno in action,” kata Barry Hillenbrand, wartawan Time. Film dan foto- foto mirip BK disebarluaskan, tetapi tak ada yang terpancing.
CIA juga mengirimkan senjata dan personel membantu pemberontakan PRRI/Permesta.
Operasi dikoordinasikan di Singapura, dijalankan bersama dinas intelijen Inggris, MI6. Salah satu modus operandi adalah menyebarkan berita yang menumbuhkan kebencian rakyat terhadap BK, termasuk menghanyutkan botol-botol berisi tulisan caci maki terhadap BK di Sungai Serawak yang mengambang sampai ke sini.
Mereka mendaratkan ”pasukan China” di pantai utara Jawa untuk timbulkan kesan buruk terhadap negeri komunis terbesar itu. Harian Guardian menerbitkan propaganda tentang kondisi BK. ”Kabarnya satu atau kedua ginjalnya diambil, ia juga sakit jantung, bahkan salah satu kaki dan matanya tak berfungsi,” tulis harian itu.
Setelah bertemu pimpinan PRRI Oktober 1957 di Padang, selama lima bulan CIA menyuplai senjata untuk 8.000 personel yang dikirim ke Dumai atau Painan. Kapal-kapal selam AS membawa pemberontak berlatih di Okinawa, Saipan, dan Guam. Pesawat yang bisa mendarat di air dikerahkan menjemput pemberontak di Danau Singkarak.
Tanggal 7 Desember 1957 operasi intelijen ditingkatkan menjadi operasi militer yang dilakukan Satgas AL. Dari Subic Bay (Filipina), sejumlah kapal perang (dipimpin penjelajah Princeton) dan 20 helikopter serta pasukan Third Marine Division melaju ke Singapura. Setelah PRRI menyatakan pisah 15 Februari 1958, Armada Ketujuh Pasifik AS membentuk Satgas 75 di Singapura, mengantisipasi semua kemungkinan.
Termasuk dalam satgas kapal induk Ticonderoga, penghancur Shelton dan Eversole, serta penjelajah Bremeton. Menurut rencana, sekitar Maret dua batalyon Marinir didaratkan di Pekanbaru mengamankan Caltex dan Stanvac. Tetapi, sebelum pendaratan, pasukan Indonesia mengamankan wilayah itu, manuver yang mengejutkan AS dan PRRI.
Duta Besar AS Howard Jones sudah pasrah Indonesia jatuh ke komunis.
Satu-satunya cara melenyapkan BK memancing PKI mengambil tindakan yang mendiskreditkan mereka. Jika mereka disalahkan, CIA memperkirakan TNI AD melancarkan aksi cepat. Maka perlu dicari alasan agar PKI dijadikan kambing hitam, yakni melalui isu ”kudeta Dewan Jenderal”. Namun, versi resmi TNI AD mengatakan, Dewan Jenderal tak pernah ada. Apa pun, Kolonel Untung mengajak PKI mencegah kudeta Dewan Jenderal. Menurut makalah Cornell, Untung dan rekan-rekannya perwira ”progresif” kecewa kepada pimpinan TNI AD.
Teori lain mengatakan, mereka kreasi PKI. Bahkan, analisis CIA yakin, mereka bekerja untuk BK. Ada juga Untung bekerja untuk ”orang-orang tertentu” di pemerintah. Apa pun, CIA memakai metode Gerakan 30 September (G30S) untuk menunggangi Jenderal Augusto Pinochet menggulingkan Presiden Cile Gustavo Allende yang bernama sandi ”Operasi Djakarta”.
Betulkah CIA terlibat, sampai kini tak pernah terbukti. Apa pun, setelah G30S, Pangkostrad Mayjen Soeharto mengambil langkah-langkah penting. BK tak langsung tersingkir, tetapi keamanan nasional dikendalikan Pak Harto.
Pada Februari 1967 posisi BK makin terjepit, apalagi setelah Pak Harto menjadi Ketua Presidium Kabinet Ampera/Pengemban Supersemar/Menpangad. Hampir semua partai, tokoh politik, pers, serta mahasiswa bersikap anti-BK yang dianggap bertanggung jawab atas terpuruknya kondisi ekonomi serta merosotnya akhlak.
Pertanggungjawaban BK di MPRS pada 22 Juni 1966 berjudul Nawaksara ditolak, juga Pelengkap Nawaksara 10 Januari 1967. Tanggal 7 Februari 1967 BK melalui dua surat yang disampaikan lewat tokoh PNI, Hardi SH, menawarkan konsep ”surat penugasan khusus” kepada Pak Harto.
Namun, esok harinya tawaran itu ditolak. Pada 10 Februari Pak Harto menemui BK membicarakan penolakan itu, sekaligus menyampaikan keinginan para menteri panglima keempat angkatan. Esoknya semua menteri panglima angkatan menemui BK, menawarkan konsep ”presiden berhalangan dan menyerahkan kekuasaan” kepada Pak Harto sebagai pengemban Supersemar.
Butir pertama, ”Kami Presiden RI/Mandataris MPRS/Pangti terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Pengemban Tap MPRS Nomor IX/1966 Jenderal Soeharto sesuai dengan jiwa Tap MPRS Nomor XV/1966 dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa UUD ’45”.
Butir kedua, ”Pengemban Tap MPRS Nomor IX/1966 melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada Presiden setiap waktu dirasa perlu”.
Waktu bergerak cepat ke Maret saat MPRS mengakhiri kekuasaan BK 12 Maret 1967 melalui Tap MPRS XXXIII/MPRS/1967.
”Kudeta merangkak” terhadap BK melenyapkan kejayaan kita sebagai bangsa besar dengan militer disegani, mandiri dengan SDM dan SDA melimpah, dengan utang luar negeri cuma 2,5 miliar dollar AS, dan dengan etika moral-politik yang transformatif (non-transaksional). BK—juga Pak Harto dan Gus Dur—mundur tak melawan konstitusi karena tahu diri sudah tidak punya legitimasi.
Sumber: Kompas, Sabtu, 25 September 2010
No comments:
Post a Comment