Wednesday, September 08, 2010

Hilangnya Momentum

-- Hikmahanto Juwana

INSIDEN 13 Agustus yang memengaruhi hubungan antara Indonesia dan Malaysia berakhir secara antiklimaks dengan pertemuan kedua negara di Kinabalu, Malaysia, pada 6 September lalu.

Hasil pertemuan di Kinabalu masih jauh dari apa yang diharapkan oleh Presiden dalam pidatonya di Cilangkap yang dianggap banyak pihak lunak. Apa lagi, bila harapan publik yang kerap disuarakan oleh anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dijadikan patokan.

Presiden dalam pidatonya mengharapkan dipercepatnya penuntasan terhadap batas wilayah di antara kedua negara. Dalam kata-kata Presiden, ”Indonesia berpendapat bahwa perundingan menyangkut batas wilayah ini dapat kita percepat dan kita efektifkan pelaksanaannya.” Sementara, hasil pertemuan hanya mengintensifkan (membuat sering) pertemuan di antara kedua negara tanpa ada target kapan kesepakatan bisa dicapai.

Memang harus diakui kesepakatan batas wilayah akan berlangsung lama, tidak saja dalam hitungan tahun, tapi juga hitungan generasi. Janji Presiden dalam pidatonya kepada publik Indonesia harus diakui terlalu tinggi. Tidak heran bila Wakil Menteri Luar Negeri Triyono Wibowo mengatakan kepada pers, Kamis (2/9), bahwa itu sebagai upaya damage control agar jangan terlalu berharap pada pertemuan 6 September.

Isu lain yang jauh dari harapan adalah tidak adanya janji dari Pemerintah Malaysia untuk melakukan investigasi terhadap petugasnya yang memperlakukan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai pelaku kejahatan dengan pengenaan pakaian tahanan dan pemborgolan.

Padahal, dalam pidato Presiden, secara jelas Presiden menjanjikan hal ini. Dalam kata-kata Presiden, ”Melalui jalur diplomasi bahwa Pemerintah Malaysia saat ini sedang melakukan investigasi atas masalah perlakuan terhadap tiga petugas KKP.”

Terakhir, hasil pertemuan sangat jauh dari harapan karena Pemerintah Malaysia tidak menyampaikan permohonan maaf. Dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam pertemuan dengan Menlu, Komisi I menghendaki pemerintah agar mendesak Pemerintah Malaysia menyampaikan permohonan maaf. Maaf karena Marine Police Malaysia ketika melakukan penangkapan terhadap tiga petugas KKP berada di wilayah laut teritorial Indonesia.

Memperbaiki

Delegasi Indonesia dalam pertemuan di Kinabalu sepertinya masuk dalam genderang yang ditabuh oleh delegasi Malaysia untuk sekadar membahas insiden 13 Agustus.

Padahal, delegasi Indonesia—mengingat perkembangan hubungan kedua negara pascainsiden—dapat meminta Malaysia untuk bersama-sama memperbaiki hubungan kedua negara ke arah yang lebih baik.

Hubungan kedua negara yang lebih proper, saling menghormati, dan didasarkan pada kesetaraan paling tidak dilandaskan pada tujuh poin.

Pertama, kedua pemerintahan akan mengembangkan hubungan yang correct dengan tidak saling melecehkan satu sama lain ataupun mengeksploitasi ketergantungan satu negara kepada negara lain. Dalam kaitan ini, surat Presiden kepada PM Najib Tun Razak sudah sewajarnya mendapat balasan.

Kedua, otoritas dan para pejabat dari kedua pemerintahan wajib menahan diri untuk tidak melecehkan atau merendahkan martabat warga negara atau pejabat dari masing-masing negara. Indonesia dapat meminta agar tidak lagi digunakan istilah ”Indon” untuk warga negara Indonesia atau perlakuan sebagai pelaku kejahatan terhadap pejabat Indonesia yang ”dimintai keterangan” oleh otoritas Malaysia.

Ketiga, kedua pemerintahan perlu mengupayakan forum bagi saluran komunikasi antarkedua bangsa. Bila ada ketersinggungan atas suatu hal, forum ini yang akan dimanfaatkan untuk meredam ketersinggungan atau kemarahan. Rakyat masing-masing negara jangan dibiarkan untuk menyalurkan amarahnya dengan melakukan tindakannya sendiri-sendiri.

Keempat, pemerintahan kedua negara harus diberi akses yang seluas-luasnya dalam menjalankan kewajibannya untuk melindungi masing-masing warga negaranya. Setiap perkara hukum harus ditindaklanjuti oleh aparat dan tidak dipetieskan karena ingin melindungi warga negaranya sendiri.

Kelima, kedua pemerintahan berkomitmen untuk secara serius merundingkan batas wilayah kedua negara, meskipun hal ini bukan suatu hal yang mudah. Masing-masing negara tentu tidak akan mau mundur sejengkal pun dari klaim kedaulatannya.

Keenam, kedua pemerintahan perlu mencari mekanisme yang tepat agar insiden di perbatasan bisa ditekankan kemunculannya. Bila muncul, insiden tersebut harus dapat dilokalisasi sehingga tidak akan berkembang luas dan liar ke publik masing-masing negara.

Terakhir, adanya pernyataan dari kedua negara bahwa masing-masing negara akan menahan diri untuk menggunakan kekerasan (use of force) dalam mengatasi berbagai isu bilateral. Namun, penggunaan kekerasan akan dilakukan hanya dalam rangka membela diri dari serangan bersenjata sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Piagam PBB.

Momentum

Bila menilik insiden di perbatasan pada tahun 2005 dan kemudian tahun 2009, keduanya terkait dengan Blok Ambalat, dan insiden 13 Agustus, sebenarnya pemerintah banyak memiliki momentum untuk memperbaiki hubungan kedua negara. Pemerintah tidak seharusnya sekadar menjadi pemadam kebakaran setiap kali insiden terjadi.

Sayang, sejumlah momentum yang ada tidak dimanfaatkan secara baik. Pemerintah lebih menenggang rasa pada hubungan persahabatan dan kekhawatiran memburuknya hubungan daripada memperbaiki secara fundamental hubungan persahabatan kedua negara.

Kita yakin momentum untuk memperbaiki hubungan kedua negara akan muncul kembali, tapi kita tidak tahu kapan momentum itu hadir. Apakah pada saat pemerintahan sekarang atau pemerintahan berikutnya? Mudah-mudahan ke depan momentum dapat dimanfaatkan secara maksimal.

* Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional FHUI

Sumber: Kompas, Rabu, 8 September 2010

No comments: