Judul buku : Hatta: Hikayat Cinta dan Kemerdekaan
Penulis : Dedi Ahimsa Riyadi
Penerbit : Penerbit Edelweiss, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : vii + 279 halaman
SEORANG pengarang adalah seorang penutur kehidupan. Ia bisa menuturkan peristiwa yang terjadi di masa lalu, masa sekarang, bahkan peristiwa yang akan datang. Tetapi, tatkala seorang pengarang menulis peristiwa di masa lalu dengan bersandar fakta sejarah, dengan menuturkan kehidupan atau biografi tokoh ternama yang pernah menorehkan sejarah, setidaknya ia dihadapkan pada dua hal. Pertama, kebenaran faktual—dari catatan sejarah. Kedua, fiksionalisasi sejarah dalam bingkai estetika.
Dua hal itu, tak bisa disangkal, menjeburkan pengarang pada setumpuk data sejarah yang harus diolah dengan cermat, dan pada sisi yang lain menuntut pengarang mewartakan fakta yang pernah ada atau mungkin terjadi dengan perenungan intelektualitas, membangun sebuah dunia yang koheren dan kesadaran akan problem kemanusian dalam bingkai estetika. Kegagalan dalam menuturkan dua hal itu akan menjadikan biografi seorang tokoh penting dalam sejarah yang ditulis dalam bentuk novel (karya sastra) akan menjadi karya yang kering.
Dengan dua hal itu pengarang buku ini mengangkat biografi/kehidupan Mohammad Hatta, sang proklamator dalam bentuk novel. Dari awal, tujuan Dedi memang mulia: ingin menerabas kekakuan tulisan biografi seorang tokoh agar tidak terjebak dua hal. Pertama, tak jarang biografi tokoh dalam peta sejarah kerap ditulis secara ilmiah, sehingga tak dimungkiri kerap dibaca kalangan tertentu, seperti akademisi dan peminat sejarah. Kedua, biografi pun ditulis dengan acuan metodologi sejarah, sehingga menjadikan bahasanya kaku dan berat. Pengarang buku ini—
tak diingkari—ingin menerabas kekakuan itu dan berharap buku yang ditulis tentang Mohammad Hatta ini menjadi buku yang renyah dan menawan.
Setidaknya ada tiga hal penting yang direkam Dedi Ahimsa Riyadi tentang sosok Hatta dalam buku ini. Pertama, ia digambarkan sebagai pemimpin yang memiliki pemikiran visioner. Hatta mencita-citakan kemerdekaan jauh-jauh hari dengan cara elegan dan mengedepankan akan pentingnya pendidikan, pengkarderan, dan kesadaran rakyat akan kemerdekaan.
Kedua, dia adalah seorang terpelajar yang mencintai buku. Kecintaan Hatta pada buku membuatnya tak mau berpisah dengan buku. Dia pun dikisahkan mengangkut enam belas peti bukunya ke pengasingan, waktu Belanda membuang Hatta.
Ketiga, Hatta dikenal sebagai seorang yang teguh memegang prinsip. Kecintaan Hatta pada Indonesia (juga pada rakyat Indonesia dan buku), menjadikan ia rela tak menikah hingga Indonesia merdeka. Semua orang pun tahu akan janji yang pernah diucapkan Hatta itu dan ternyata Hatta memenuhi janjinya itu. Ia menikah 3 bulan setelah Indonesia merdeka—18 November 1945, seminggu setelah pertempuran heroik di Surabaya. Hatta menikahi Rahmi Rachim, dan ia memberi hadiah kepada sang istri buku Alam Pemikiran Yunani.
Kecintaan Hatta pada Indonesia itulah yang menjadikan Mavin Rose menyebut Hatta dengan sebutan unik: muslim sejati karena Hatta beristri empat: Indonesia, rakyat Indonesia, buku, dan Rahmi Rachim. Dan Hatta memang sosok yang selalu dikenang sepanjang masa.
Keteladanan Hatta itulah yang ingin direkam Dedi Ahimsa Riyadi dalam buku Hatta: Hikayat Cinta dan Kemerdekaan ini. Buku ini pun diberi titel sebuah novel biografi. Tetapi, titel sebuah novel biografi yang sedari awal ingin mengenal sosok Hatta dalam sekeping novel ini, justru meninggalkan jejak kontroversi karena tidak didukung laku bertutur pengarang yang berjalan seirama antara isi dan bentuk novel.
Kekeringan estetika fiksionalisasi dengan memanfaatkan data sejarah itulah justru menjadikan buku ini yang diberi titel sebuah novel biografi ini kering. Apalagi pengarang seperti pelit mengumbar dialog. Bahkan buku ini nyaris kering dialog. Padahal, dialog memiliki kekuatan bisa menguatkan tokoh cerita. Alhasil, buku ini pun mirip biografi.
Meskipun demikian, keinginan mulia pengarang mengangkat sosok Hatta dalam buku ini patut disambut gembira. Buku ini bisa menjadi telaga yang jernih bagi pemimpin bangsa, bahwa perjuangan Hatta untuk Indonesia layak dan patut ditiru. Sedang bagi generasi penerus bangsa, tidak bisa dimungkiri, buku ini meninggalkan jejak perjuangan Hatta yang patut dikenang sepanjang masa.
N. Mursidi, pembaca buku
Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 September 2010
No comments:
Post a Comment