-- Indra Tranggono
LEBARAN selalu jadi momentum sosiologis-kultural yang mengaduk-aduk perasaan: bahagia dan cemas.
Bahagia karena orang menemukan makna eksistensial kemanusiaannya di dalam sarang kehangatan sanak saudara dan handai tolan. Cemas karena untuk mewujudkan niat pulang ke ”sarang”, orang harus mengeluarkan banyak ongkos tinggi, baik material maupun nonmaterial.
Kultur Lebaran, yang terasa sangat mahal itu, dengan dinginnya menyodorkan berbagai ”kuitansi” yang harus dibayar tunai; dari kebutuhan dan jasa yang berharga mahal hingga seluruh pengorbanan lahir batin selama orang menempuh perjalanan pulang. Budayawan Umar Kayam menyebut, pada momentum Lebaran, orang-orang menjelma menjadi burung-burung urban yang terbang dari kota-kota besar dan kecil menuju ”sarang” sosial dan kulturalnya, dengan penuh risiko.
Konsep pulang
Meskipun Lebaran terasa sangat mahal, tidak sedikit orang tetap punya tekat untuk merayakannya di kampung halaman. Ini menunjukkan bahwa setiap manusia pada dasarnya memiliki konsep untuk pulang ke asal- usul, ke lubuk sejarah, tradisi, budaya, dan akar sosialnya. Bagi banyak orang dengan berbagai latar belakang sosial, budaya, ekonomi dan agama, Lebaran menjadi momentum ”sakral” untuk merebut kemanusiaannya dari pusaran rutinitas kehidupan yang selama ini cenderung menjadikan dirinya sebagai ”mesin” yang dihargai karena fungsinya. ”Mesin-mesin” itu kini untuk sementara off dan sedang merebut hati nuraninya yang selama ini ”tersingsal” di balik timbunan kesibukan.
Di dalam momentum kelahiran kembali sebagai ”manusia” itu, banyak orang melakukan peziarahan dan penyerapan nilai- nilai yang terkait dengan asal- usul, sekaligus melakukan pengukuhan diri bahwa dirinya tetap menjadi bagian penting dan bermakna dari komunitas sosial- kulturalnya. Setiap orang pun menemukan oase atau danau-danau pencerahan sekaligus kehangatan persaudaraan. Nilai-nilai budaya lokal atau juga agama itu menjadi modal penting untuk memasuki rutinitas kehidupan urban yang kering, serba fungsional dan pragmatis.
Beban kesuksesan
Di sisi lain, banyak orang memaknai Lebaran sebagai momentum untuk ”pembuktian” atas peran sosial yang dimilikinya berikut narasi-narasi kesuksesannya. Kultur Jawa menyebut orang sukses dalam karier dengan uwis dadi uwong (sudah menjadi orang/priayi). Predikat uwis dadi uwong, selain membanggakan, juga memunculkan horizon harapan bagi sanak keluarga dan handai tolan.
Dalam sistem persaudaraan dan kekerabatan pada masyarakat kita, biasanya pribadi yang sudah sukses selalu diharapkan menjadi cantelan untuk menolong sanak keluarga lainnya, misalnya dengan mencangking (merekrut/mencarikan pekerjaan) atau menjadi alamat untuk minta bantuan. Ini menunjukkan bahwa penguatan sistem kekerabatan/kekeluargaan bukan sekadar bermakna primordial, melainkan juga fungsional, produktif, sekaligus juga nepotis.
Pemaknaan itu, dalam perkembangannya, berpotensi menjadi beban sosial-ekonomis dan etik bagi mereka yang dianggap sudah menjadi orang. Beban untuk ”memuliakan” keluarga, dapat berpotensi mendorong orang untuk melakukan berbagai penyimpangan, misalnya korupsi. Tuntutan ini meniscayakan priayi mempunyai modal ekonomi yang besar dan sering kali menjerumuskan mereka ke dalam tindakan korupsi (Heather Sutherland: 1983).
Tentu saja, Lebaran tidak selalu menghadirkan narasi-narasi kesuksesan kaum urban. Bagi mereka yang tidak sukses secara sosial-ekonomis, Lebaran bisa menjadi momentum traumatik. Mereka merasa tersiksa ”ditagih” sanak keluarga soal kesuksesannya. Karena tidak kuat menanggung malu, mereka akhirnya memutuskan untuk tidak pulang ke ”sarang” keluarga.
Namun, tidak sedikit orang yang memaksakan diri untuk pulang meskipun mereka sejatinya tidak cukup sanggup memamerkan kesuksesannya karena berbagai keterbatasan. Ada yang jujur dan terus terang, ada pula yang ”memanipulasi” dengan kisah-kisah sukses yang direka-reka. Lebaran pun menjadi momentum artifisial.
Dalam sistem kehidupan yang ditentukan kuasa modal, Lebaran memang telah tersandera materialisme: uang menjadi ”paspor” kebudayaan. Akibatnya, (seolah-olah) hanya mereka yang punya uang yang ”berhak” merayakan Lebaran. Di luar ketentuan itu, puluhan juta orang harus tersaruk-saruk dan pontang-panting merayakan Lebaran.
Asketisme atau pengendalian nafsu/godaan dapat menjadi salah satu jawaban untuk mengembalikan kultur Lebaran pada esensinya: danau pencerahan yang memuliakan kemanusiaan. Ini berarti, ”paspor” kebudayaan Lebaran bukan uang, melainkan kepribadian yang selalu eling pada nilai-nilai ideal, baik secara vertikal maupun horizontal. Uang hanyalah alat. Bukan penentu. Dengan sikap itu, semoga kita dapat merayakan Lebaran dengan khusyuk dan hangat tanpa rasa ketakutan diteror berbagai kebutuhan dan jasa yang berongkos mahal.
Indra Tranggono, Pemerhati Budaya; Bermukim di Yogyakarta
Sumber: Kompas, Rabu, 8 September 2010
No comments:
Post a Comment