DALAM dunia seni lukis dan sastra, komunitas wanita semakin marak dan berkembang. Ada kelompok wanita pelukis dan wanita penulis. Akhir-akhir ini beberapa kali diterbitkan antologi puisi karya wanita.
Salah satunya "Nyanyian Pulau-Pulau", antologi karya 16 Wanita Penulis Indonesia, diterbitkan Yayasan Obor Indonesia, diluncurkan di Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM), belum lama ini.
Enam belas wanita itu adalah: Titie Said (lahir 1935), Diah Hadaning (1940), Yvonne de Fretes (1947), Free Hearty (1952), Rosni Idham (1953), Sastri Yuniarti Bakry (1958), Iriany R. Tandy (1960), Medy Loekito (1962), Lili Taswa (1963), Oka Rusmini (1967), Mezra E. Pellondou (1969), Mariana Lewier (1971), Rara Gendis (1974), Murparsaulian (1978), Rahmatiah (1979) dan Hudan Nur (1985).
Senada judul buku, penulis puisi ini bermukim di berbagai pulau/propinsi yaitu Nanggroe Aceh Darusalam, Padang (Sumatera Barat), Pekanbaru (Riau), Jambi, Bengkulu, Jakarta dan sekitarnya, Yogyakarta, Bali, Kupang (Nusa Tenggara Timur), Palu (Sulawesi Tengah), Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat), dan Ambon (Maluku).
Dibuka Ketua Umum KOWANI DR. Hj.Dewi Motik Pramono, M.Si, yang juga senang menulis puisi, peluncuran ditandai dengan pembicara tunggal Eka Budianta. Beberapa penulis puisi dari luar kota hadir dan membacakan puisinya. Di samping itu, hadirin termasuk kaum pria membacakan puisi karya penulis wanita.
Awalnya penyair kondang itu mengingatkan, pada hari ini, kita mengenang genap 4 tahun wafatnya Pramoedya Ananta Toer (30 April 2006), seorang figur yang penting dalam sastra Indonesia.
Jika peluncuran ini diadakan pada tanggal 28 April, maka bertepatan dengan peringatan hari wafatnya Chairil Anwar, yang selama bertahun-tahun diperjuangkan untuk menjadi Hari Puisi Nasional. Sebelum disajikan sebanyak 100 judul puisi, penyair Rayani Sriwidodo sebagai kurator memberikan pengantar dengan judul "Menikmati Keunikan dan Keindahan Pepohonan".
Ia berpendapat, sajak-sajak dalam buku ini seperti pepohonan, "ada pohon yang kuat, ada yang lemah, ada yang kaya gizi rohaniah ada yang kaya suasana profane, namun tetap memiliki andil memperkaya taman dunia". Sebagai editor Yvonne de Fretes, sekaligus memberi pengantar sebagai Ketua Umum Wanira Penulis Indonesia. Puisi pertama diawali Titie Said, penulis senior dengan judul "Salimah Menggugat", menyusul puisi Diah Hadaning yang namanya tidak terlepas dalam blantika puisi Indonesia.
Berantas Korupsi!
Wanita memang lebih berani menulis puisi yang tidak ditulis oleh pria. Seperti puisi Sastri Yunizarti Bakry (Padang). Penyandang Anugerah Srikandi Tun Fatimah dari Malaysia ini marah besar kepada orang lewat puisinya "Berlindung di Balik Ayat-ayat".
Demikian juga dalam puisinya "Dalam Angka", antara lain tersirat : Aku cemas, mestinya kebersamaanmu adalah kebersamaan kita/ tetapi aku terangkai jauh dalam ketertinggalan yang tidak hendak kita perjuangkan bersama / Padahal kita sudah sama-sama dengan lantang meneriakkan "Berantas Korupsi"
Oka Rusmini termasuk paling berani dalam mempertanyakan dan menggugat. Dalam sajaknya berjudul "24 Juni" ia menyatakan pada bait paling akhir : "Bersamamu, tak ada kasta dan agama. Bahkan Tuhan pun takut mendekat. Mari jahit hatiku, sebelum seorang lelaki datang menawarkan sekeranjang bunga".
Yvonne de Fretes juga tersentuh dengan situasi dan kondisi Tanah Air lewat puisinya antara lain "Ubud dan Kegelisahan", dan "Mimpi Buruk" (kenangan pada konflik Maluku).
Antologi "Nyanyian Pulau-Pulau", menurut Eka menambah semarak karya sastra Indonesia yang dihasilkan perempuan. Tetapi perlu ditambahkan catatan kelemahannya juga. Puisi-puisi dalam buku ini kurang dibaca dengan teliti. Terdapat salah ejaan dan salah tulis yang cukup mengganggu.
Ada juga nama terkenal yang mestinya tidak boleh keliru, yaitu Cilik Riwut, pada puisi Hudan Nur. Sayang sekali tertulis beberapa kali Cilik Kriwut, sehingga terkesan belum mengenal pahlawan dan mantan gubernur Kalimantan Tengah, yang namanya diabadikan sebagai Bandara Palangkaraya.
Dalam antologi puisi ini terdapat karya-karya yang menunjukkan kematangan bersikap sebagai sastrawan. Antara lain Medy Loekito dalam puisinya "Inginmu": bila batu jadinya inginmu / jadilah batu pualam / mengabdi tanpa meluka // bila air jadinya inginmu / jadilah air tanah / member tanpa meminta.
Salah satu kelemahan dalam antologi ini, yang banyak ditemukan adalah dipakainya idiom-idiom pinjaman dari berbagai literature dan referensi sastra, maupun ajaran-ajaran moral, keagamaan dan budi pekerti yang banyak beredar. Hal itu menunjukkan perlunya sikap dan upaya yang lebih inovatif dan lebih berani menjadi diri sendiri. (Susianna)
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 18 September 2010
No comments:
Post a Comment