-- Putu Fajar Arcana
PERTEMUAN dua kebudayaan yang mewakili citraan-citraan klasik dan tradisional bisa terjadi lewat kanvas. Kendati tidak menjadi satu kolaborasi, tetapi pameran lukisan Ceremony 60, 16-21 September 2010 di Galeri Nasional, Jakarta, bisa menjadi peneguhan hubungan Indonesia-China yang sudah berlangsung 60 tahun!
Lukisan klasik China dipertemukan dengan lukisan tradisional Bali, dalam pameran Ceremony 60, 16-21 September 2010 di Galeri Nasional, Jakarta. (FOTO-FOTO: KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA)
Pameran yang digagas oleh Yayasan Bali Bangkit dan Kedutaan Besar China di Indonesia ini sesungguhnya ingin merumuskan dan mencari sisi-sisi arsiran yang mengisahkan sejarah ”persekutuan” politik dan kebudayaan antara Indonesia dan China. Jusuf Wanandi, Ketua Yayasan Bali Bangkit, bahkan menegaskan persenyawaan kebudayaan Bali dan China sudah berlangsung berabad-abad lalu. ”Itu sudah terjadi ketika pudarnya kerajaan Majapahit abad ke-16, lalu pengaruhnya tumbuh di Bali,” kata Wanandi di sela-sela pameran yang dibuka oleh Duta Besar China untuk Indonesia Zhang Qiyue.
Sebagai pameran yang mencomot karya-karya para maestro, lalu dibentangkan bersama dalam satu ruangan, pameran ini memang tidak berhasrat besar menemukan garis merah estetika kedua kubu. Bahkan, boleh jadi karya-karya maestro lukisan klasik China, seperti Wu Chuangshuo dan Qi Baishi, yang hening dan puitik, berada pada kutub berbeda dengan lukisan-lukisan tradisi Bali yang cenderung penuh, riuh, dan rumit.
Perbedaan estetika perupaan itu memang berasal dari kutub sejarah seni dan sosial yang berbeda pula. Jika keheningan lukisan-lukisan klasik China lahir lebih dari 1.000 tahun lalu, terutama pada masa Dinasti Tang yang dipelopori oleh penyair dan pelukis Wang Wei, lukisan-lukisan tradisi Bali baru berkembang sekitar tahun 1920-an. Itu pun lewat persentuhan dengan seni rupa Barat yang dibawa oleh Rudolf Bonnet dan Walter Spies.
Keheningan lukisan-lukisan klasik China ibarat perasan dari gugusan sejarah peradaban dan intelektualitas yang sudah berlangsung berabad-abad. Lukisan adalah visualisasi penting untuk me-rupa-kan gagasan falsafati. Oleh sebab itu, sebagian dari perupa itu adalah para sastrawan yang bergelut dengan kata dan makna, sebelum kemudian menggoreskannya dengan tinta dan kertas. Lukisan klasik China ibarat kibasan dari gugusan filsafat yang melatarinya. Sangat populer kemudian ungkapan, ”Lukisan adalah syair dalam gambar. Syair ialah lukisan dalam kata.”
Dalam soal itu lukisan klasik China dikenal dengan teknik brush painting: Lukisan yang mewujud dalam limit waktu terbatas akibat penggunaan teknik kuas dan tinta di atas kertas. Tidak ada pengulangan, apalagi perbaikan. Semua terjadi ibarat kata-kata yang mengalir lewat serat-serat kuas.
Harmoni
Lukisan-lukisan tradisional Bali (untuk membedakannya dengan lukisan klasik Kamasan)—sebagaimana tampak pada karya-karya Anak Agung Made Sobrat, Dewa Made Baret, Ida Bagus Made Nadera, termasuk generasi terkini seperti I Gusti Agung Wiranata dan I Ketut Yuliarta—tampak sangat rumit dan penuh ornamentasi. Seluruh bidang kanvas senantiasa terlihat penuh oleh figurasi serta stilisasi dari flora dan fauna.
Dua kutub yang secara perupaan berbeda inilah barangkali yang membuat Agus Dermawan T selaku kurator memberi dua subjudul. Khusus pameran 50 karya klasik China disebut ”Ketenangan dan Keselarasan” dan lukisan-lukisan Bali diberi subjudul ”Alam dan Figurasi”. Lagi-lagi ini agak tidak selaras sesungguhnya karena yang satu mengeduk sampai ke dasar filosofi, yang lainnya berkutat pada bentuk. Akan tetapi, sekali lagi, ”ketidakselarasan” itu terjadi lantaran perbedaan latar belakang estetika dan sejarah sosial.
Satu hal yang barangkali bisa dijadikan titik simpul pertemuan kedua kutub kesenian ini adalah kesepadanannya di dalam pencarian harmoni. Jika lukisan-lukisan klasik China dalam wujud yang bening dan ringkas menorehkan keharmonian dalam pencarian filsafat hidup, maka dalam kerumitan lukisan tradisi Bali keharmonian itu dikejar secara tematik. Tema-tema seperti ritual keagamaan, kehidupan para petani di desa, pesta para penari, dan pementasan kesenian adalah tema-tema pencarian keseimbangan yang dalam filsafat hidup orang Bali disebut Tri Hita Karana. Filsafat ini menghasratkan penyelarasan antarmanusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Sang Pencipta.
Bukankah secara pendalaman tematik kedua kutub estetika ini mengejar keharmonian yang sama? Dalam keheningan lukisan klasik China digambarkan pepohonan, bunga, dan hewan dengan warna-warna halus yang bening. Dan, itulah inti pengejaran hidup untuk mencapai pencerahan. Begitu pula, sesungguhnya, dalam kerumitan lukisan tradisi Bali, baik secara komposisi maupun tematik, ia tetap mengejar keharmonian untuk mencapai pencerahan hidup yang sama.
Di luar soal itu, gambar-gambar yang muncul dalam lukisan tradisi Bali, seperti barong ket dan barong landung, jelas menunjukkan penjelmaan tradisi China yang sudah diserap sejak masa Majapahit itu. Soal mengapa keheningan (pencerahan) dicari dalam pendakian gambar-gambar yang rumit, itulah jalan perupaan untuk menemukan sisi spiritual yang sama dan sebangun: harmoni. (NAW)
Sumber: Kompas, Minggu, 19 September 2010
No comments:
Post a Comment