-- Azyumardi Azra
HARI-HARI seputar 30 September dan 1 Oktober ini, warga Indonesia, khususnya Angkatan 45, kembali merayakan Hari Kesaktian Pancasila. Dasar negara Indonesia ini disebut memiliki kesaktian karena dipercayai mampu menggagalkan kudeta yang terjadi seputar peristiwa G30S/PKI pada 30 September 1965.
Akan tetapi, bagi generasi berikutnya, apa yang disebut sebagai ”kesaktian” Pancasila lebih merupakan ”rekayasa” politik belaka dari otoritarianisme rezim Orde Baru guna mempertahankan status quo kekuasaannya. Sementara bagi generasi pasca-Orde Baru, bahkan Pancasila hampir tidak menjadi bagi dari pengetahuan dan ”memori kolektif”, apalagi tentang kesaktiannya.
Akan tetapi, sejak 2005 hari kesaktian yang punya makna khusus terkait Pancasila ini kembali diperingati; setelah beberapa tahun seusai berakhirnya kekuasaan Orde Baru pada Mei 1998, Hari Kesaktian Pancasila tidak lagi dirayakan.
Kenapa tidak? Alasannya sederhana, siapa yang merayakannya bisa dituduh sebagai ”antek Orde Baru”, yang merupakan sebuah anathema yang harus dihindari dalam gelombang dan gemuruh reformasi. Pendulum bergerak terlalu kencang, hampir tidak terkendali, sehingga pada tahun-tahun awal reformasi segala sesuatu yang berbau Orde Baru dipandang negatif dan mesti ditolak.
Meski ”kesaktian” Pancasila kembali diperingati, jelas peringatan itu gagal membawa Pancasila ke dalam wacana publik, apalagi mengharapkannya menjadi salah satu faktor signifikan dalam membimbing perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Upaya revitalisasi dan rejuvenasi Pancasila tetap belum terwujud juga. Pancasila sebagai dasar negara, basis ideologis, dan platform bersama (common platform) warga negara-bangsa Indonesia yang plural dan multikultural masih marjinal dalam wacana dan kehidupan publik nasional.
Kesaktian dalam hal apa?
Harus diakui, sejak awal reformasi sampai sekarang ini masih terdapat sinisme yang kuat dalam masyarakat kita tentang Pancasila, apalagi ketika Pancasila dikatakan ”sakti”. Sakti itu bisa berarti banyak, tetapi umumnya sakti berarti memiliki kekuatan dan keampuhan yang tidak tertandingi sehingga tidak bisa dikalahkan. Sakti juga bisa berarti mempunyai kemampuan mengatasi berbagai masalah dan kesulitan, bahkan secara instan sekalipun.
Dari sudut pengertian ”sakti” itu saja, ketika seseorang berbicara serba positif dan bahkan idealistik tentang Pancasila, pasti ada kalangan yang mencibir. Sikap yang tidak terpuji ini ada bukan karena mereka menolak Pancasila, melainkan lebih karena begitu banyak realitas yang tidak sesuai dengan cita ideal, semangat, prinsip, dan nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Pada saat yang sama, begitu banyak pula masalah yang dihadapi negara-bangsa ini yang tidak terselesaikan sampai sekarang. Terdapat banyak kesenjangan di antara cita ideal Pancasila sebagai suatu kesatuan dan juga tiap-tiap silanya dengan realitas yang ada dalam kehidupan sehari-hari warga bangsa.
Lihatlah bagaimana kita bisa berbicara tentang ”Ketuhanan Yang Maha Esa” ketika dalam berketuhanan terdapat fakta adanya sebagian warga yang dari waktu ke waktu memaksakan kemauannya sendiri atas nama Tuhan. Bagaimana kita bicara tentang ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” ketika warga dari satu tempat ke tempat lain, karena sebab-sebab yang sepele, sangat mudah mengamuk, menghancurkan harta benda, dan mencabut nyawa.
Bagaimana pula kita sanggup berbicara tentang ”Persatuan Indonesia” ketika banyak orang dan kelompok lebih mementingkan diri dan kelompoknya melalui tindakan melanggar hukum seperti korupsi mengorbankan solidaritas terhadap warga lainnya.
Lalu, bagaimana bisa kita bercakap tentang ”Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan” jika banyak politisi melakukan manipulasi politik lewat proses demokrasi; tidak mencerminkan sikap hikmat, bijaksana, dan sosok representasi yang akuntabel.
Begitu pula bagaimana bisa kita berbicara tentang ”Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, sementara jumlah rakyat yang terimpit kemiskinan masih 32 juta-50 juta orang, sementara kehidupan serba materialistik dan hedonistik kian merajalela.
Dengan realitas yang serba kontradiktif ini, pembicaraan tentang ”kesaktian” Pancasila seolah tidak bermakna. Dan ”kesaktian” itu terlihat berkurang—untuk tidak menyatakan memudar—karena perbuatan warga bangsa sendiri mulai dari lingkungan teratas para pejabat, lapisan menengah dan bawah birokrasi, sampai mereka yang memiliki otoritas politik, hukum, keagamaan, dan sosial budaya.
Lebih parah lagi, tidak terlihat kesadaran kalangan yang disebutkan ini bahwa sikap, perilaku, dan tindakan mereka tersebut telah ”mengebiri” Pancasila sekaligus memudarkan kesaktiannya.
Memulihkan kesaktian
Hampir tidak ada keraguan lagi, mayoritas bangsa ini memegang pendapat, Pancasila sebagai dasar negara sekaligus menjadi pandangan dunia negara-bangsa tidak tergantikan.
Sejauh ini, jelas tidak ada alternatif lain yang bisa diterima bagian terbesar bangsa ini untuk menjadi dasar negara-bangsa Indonesia; tidak juga ideologi semacam agama atau sebaliknya ”sekularisme”. Pancasila yang akomodatif terhadap agama jelas tidak bisa tergantikan ideologi sekularisme yang tidak selalu ”bersahabat” dengan agama.
Oleh karena itu, tidak ada pula alternatif lain bagi segenap warga bangsa kecuali ”memulihkan” kesaktian Pancasila. Namun, ini bukan hal sederhana karena kompleksitas masalah yang terkait dengan Pancasila dan juga dalam hubungan dengan dinamika kehidupan bangsa dewasa ini. Lebih-lebih lagi ketika Pancasila dihadapkan pada berbagai realitas, yang segera menampilkan kontradiksi dan disparitas dengan cita ideal, nilai, dan norma Pancasila.
Langkah krusial ke arah itu pertama-tama adalah pemulihan kembali kesadaran kolektif bangsa tentang posisi vital dan urgensi Pancasila dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia. Tanpa atau samarnya kesadaran kolektif, jelas Pancasila tidak hadir dalam kiprah dan langkah warga bangsa; Pancasila sebaliknya tenggelam dalam arus besar perubahan yang berlangsung cepat dan berdampak panjang atas nama reformasi.
Dengan peningkatan kesadaran kolektif, Pancasila dapat kembali menjadi rujukan dan panduan dalam pengambilan berbagai kebijakan dan langkah, mulai dari kehidupan keagamaan, kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, hingga keadilan.
Secara bertahap dan terarah, langkah- langkah menuju Indonesia yang lebih baik melalui pembangunan, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat, seyogianya berorientasi pada pengurangan kontradiksi dan disparitas antara Pancasila dan realitas sehari-hari kehidupan bangsa.
Hanya dengan langkah-langkah ini, ”kesaktian” Pancasila bisa dipulihkan dan kembali menjadi faktor penting dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia.
* Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah; Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Jakarta
Sumber: Kompas, Kamis, 30 September 2010
1 comment:
bisa nih jadi wacana atau bahan diskusi di kampus saya..
Post a Comment