Saturday, September 04, 2010

Nasionalisme Reaktif

-- Imam Mustofa

SETIAP ada peristiwa yang menyinggung kepribadian, harkat, dan martabat bangsa, serta kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, masyarakat Indonesia bereaksi keras. Sikap ini sering muncul ketika ada isu-isu sensitif yang dipicu oleh perlakuan Malaysia terhadap warga Indonesia, baik yang tinggal di Malaysia, seperti TKI, maupun yang berada di wilayah NKRI, seperti nelayan yang mencari ikan di dekat perbatasan. Namun yang lebih sering, reaksi masyarakat tersebut ketika ada insiden terkait perbatasan kedua negara yang banyak merugikan Indonesia.

Reaksi keras masyarakat tersebut sangat wajar. Karena selama ini sikap Malaysia selalu menyinggung dan merugikan martabat bangsa. Yang terbaru adalah penangkapan petugas Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepulauan Riau oleh aparat Malaysia. Penangkapan pihak asing (Malaysia) terhadap aparatur negara yang sedang menjalankan tugasnya mengamankan perairan dari para pencuri ikan adalah bentuk penghinaan terhadap kedaulatan sebuah bangsa. Akibat insiden tersebut masyarakat Indonesia bereaksi dengan menggelar demonstrasi, bahkan gedung Kedutaan Besar Malaysia sempat dilempari tinja oleh demonstran.

Sikap reaktif dengan semangat yang menggebu adalah sikap nasionalisme demi keutuhan kedaulatan NKRI. Hal ini merupakan bentuk pembelaan terhadap negara karena setiap warga memang berhak dan wajib membela kedaulatan negara dan martabat bangsa. Hak sekaligus kewajiban tersebut dilindungi oleh konstitusi Indonesia. Pasal 27 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa �setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.� Lebih lanjut, Pasal 30 UUD 1945 memuat ketentuan pertahanan dan keamanan negara. Kedua pasal tersebut secara jelas dapat kita ketahui bahwa negara memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara yang ingin membela NKRI dengan cara dan segenap usaha sesuai dengan kemampuan.

Nasionalisme merupakan satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara atau membela kehormatan, harkat, dan martabat bangsa. Umumnya nasionalisme diwujudkan dalam suatu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Nasionalisme ini ada yang bersifat aktif dan ada yang reaktif. Nasionalisme aktif muncul tanpa harus menunggu aksi pihak lain. Sementara nasionalisme reaktif muncul ketika ada aksi pihak lain.

Demonstrasi dan aksi apa pun yang mengecam tindakan asing yang merugikan kepentingan bangsa dan negara adalah bentuk dari rasa cinta Tanah Air. Semangat untuk membela negara dan bereaksi secara keras terhadap tindakan asing yang merendahkan martabat bangsa dan negara adalah juga nasionalisme, tetapi nasionalisme semacam ini adalah nasionalisme reaktif. Rasa tersebut muncul pada saat-saat tertentu saja. Ia muncul sebagai respons terhadap aksi dari pihak luar.

Seharusnya jiwa dan rasa nasionalisme itu selalu ada di dalam dada setiap warga negara kapan pun dan di mana pun tanpa harus menunggu aksi dari pihak luar. Bagi pejabat, rasa mencintai rakyat dengan tidak melakukan korupsi dalam bentuk apa pun adalah wujud dari nasionalisme sejati. Sikap DPR yang rajin masuk, apalagi waktu sidang-sidang untuk mengesahkan undang-undang adalah bentuk dari nasionalisme sejati. Kepala daerah dengan memegang amanah rakyat berupaya membangun infrastruktur daerah dengan sebaik dan sejujur mungkin adalah bukti dari nasionalisme yang hakiki. Warga negara yang mencintai produk dalam negeri atau taat membayar pajak juga merupakan manifestasi dari jiwa dan rasa nasionalisme yang murni.

Nasionalisme kita tampaknya masih bersifat reaktif. Nasionalisme yang bersifat menunggu. Menunggu pihak asing bersikap anarkis terhadap kepentingan bangsa dan negara tercinta Indonesia. Bahkan sampai saat ini meskipun masyarakat sudah bersikap keras dengan berbagai aksi, pemerintah masih tetap konsisten dengan "keminderannya" untuk bersikap tegas terhadap tindakan asing yang jelas-jelas merendahkan martabat bangsa Indonesia, bangsa yang besar.

Mungkin biar dinilai sebagai bangsa yang santun dan sabar.

Kita memang harus bersikap santun. Kita memang harus tetap menjaga hubungan persaudaraan serumpun. Namun, semua tindakan yang merugikan kepentingan bangsa harus ditindak tegas. Hal ini perlu sebagai bentuk nasionalisme, meskipun hanya reaktif. Artinya naionalisme reaktif lebih baik daripada bersikap kerdil, diam, dan menerima apa pun yang dilakukan pihak asing, meskipun telah merendahkan martabat bangsa. Namun yang seharusnya kita tumbuhkan adalah jiwa dan rasa nasionalisme aktif. Nasionalisme yang murni timbul dari hati nurani. Rasa memiliki dan mencintai bangsa dengan segenap kekayaannya.

* Imam Mustofa, Ketua Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia (IKAPPUII)

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 4 September 2010

No comments: