-- Putu Fajar Arcana
BILIK kerja Jakob Sumardjo (71) hanya seukuran 2 meter x 2,5 meter. Di situ tergeletak kasur tua, rak buku usang, dan sebuah mesin tik yang tak kalah tuanya. Lewat mesin tik bermerek Royal 200 itulah Jakob menghasilkan lebih dari 35 buku dan ratusan artikel yang tersebar di berbagai media.
JAKOB SUMARDJO (KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)
Orang tua yang sederhana itu tetap tangguh memainkan jari-jarinya di atas tuts mesin tik yang huruf-hurufnya sudah tampak lumer. Semua oleh deraan jutaan kali ujung jari Jakob. Lebih-lebih saat ini, lelaki kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 26 Agustus 1939, ini sedang menyelesaikan draf buku berjudul Pola Personalitas Kebudayaan Sunda, yang menurut rencana setebal 400 halaman.
”Sekarang tinggal membuat pengantarnya. Tetapi, seluruh halaman buku itu saya ketik sendiri. Ya, di sini, ruang kerja saya,” tutur Jakob, pertengahan Agustus 2010.
Semangat kerja dan keinginan keras menyumbangkan pemikiran-pemikiran yang membedah ”kemapanan” cara berpikir lama membuat Jakob ”kurang peduli” pada soal-soal penghasilan dari menulis buku.
”Seluruh buku yang saya tulis dan diterbitkan oleh penerbit komersial hampir-hampir tidak ada honornya. Bahkan, ada dua buku yang saya tulis, di mana penerbit memperoleh bantuan dari Ford Foundation, saya sendiri malah nyaris tidak diberi apa-apa…,” tutur Jakob.
Jelas pensiunan guru besar di STSI Bandung ini tidak sedang menggugat, apalagi mengeluhkan kenyataan. Ia paham benar, penulis buku memiliki posisi tawar paling lemah di antara mata rantai penerbitan buku.
”Tetapi, kalau saya terus meratap, tidak akan berkarya. Yang penting karya saya dibaca, apalagi dipakai acuan, itu sudah bangga,” katanya.
Buku-buku karya Jakob yang sampai kini masih menjadi acuan di sekolah-sekolah dan kampus, misalnya, Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik (1979), Masyarakat dan Sastra Indonesia Populer (1979), serta Perkembangan Teater Modern dan Sastra Indonesia (1980). ”Mungkin buku saya tentang novel populer itu adalah buku yang pertama membahas tentang novel-novel pop yang pada tahun 1970-an tidak diacuhkan oleh para kritikus sastra,” ujar Jakob.
Apa yang membuat Anda begitu tegar menghadapi dunia penerbitan yang tidak adil itu?
Pokoknya tugas saya menulis, sebarkan pemikiran, lalu dibaca orang, ya sudah cukup begitu saja.
Kenapa tidak menulis artikel di koran saja yang honornya lebih jelas?
Ya, seharusnya begitu, ya. Tetapi, buku-buku tetap harus ditulis untuk mengembangkan pemikiran yang lebih mendasar dan mendalam. Meskipun kondisinya, ya, seperti ini. Terkadang penerbit itu kasih honor, tetapi seperti dicicil. Kalau saya perlu beli bensin baru mereka kasih Rp 100.000 atau Rp 200.000. Itu pun sulit sekali menemui direktur penerbitannya. Lama-lama saya malas….
Honor menulis di koran juga kan tidak terlalu besar kan, ya? Apakah Anda tidak pernah merasa putus asa melihat kecilnya penghargaan terhadap hasil kerja intelektual itu?
Kalau dari menulis, apalagi membuat buku, jangan mengharap dapat duitlah. Tetapi, saya tetap menulis, pokoknya ada yang mau menerbitkan syukurlah. Pokoknya pikiran saya begitu, ya, begitu. Syukur juga kalau diterima orang.... Seperti kajian-kajian saya tentang kebudayaan Sunda itu kan diterima orang, saya cukup senang.
Keindonesiaan
Perbincangan di senja yang rapuh karena mendung menggelayut di sekitar Pasirlayung, Bandung, itu sesekali di sela oleh deru mesin kendaraan di Jalan Padasuka yang padat. Beberapa kali saya harus mendekati Jakob Sumardjo yang duduk di sofa coklat tua sebelah kiri. Suaranya seperti hilang ditelan deru.
Belakangan Anda sangat serius menekuni kebudayaan Nusantara, terutama Sunda. Saya dengar Anda naik ke bukit-bukit di Sumedang, seorang diri, untuk meneliti sebuah situs. Apa sesungguhnya obsesi Anda?
Saya sedang cari benang merah di antara budaya-budaya Nusantara sejak saya menulis buku tentang Arkeologi Kebudayaan Indonesia. Di situ saya mengulas tentang ulos Batak, rumah gadang Minang, cerita-cerita Jawa dan Sunda, perisai-perisai Papua. Awalnya tertarik pada Sunda sih karena dorongan Pak Saini KM (dosen STSI Bandung).
Saya menemukan pola pikir yang serupa. Dasarnya, seluruh kebudayaan di Indonesia itu percaya bahwa keberadaan itu dualistik. Pengalaman hidup atau ada ini sendiri dualistik. Ada gelap-terang, laki-laki-perempuan, hulu-hilir. Semua suku mengenal ini. Ini menjadi dua hal yang selalu berselisih. Cara pandang semua kebudayaan itu berpasangan. Tetapi, cara pemecahan masalah pada masing-masing suku itu berbeda. Papua cenderung konflik itu dipelihara, bahkan salah satunya harus jadi korban. Makanya, di situ budaya perang itu hidup karena perang syarat untuk keselamatan dan kesuburan.
Di Jawa, polanya macapat kelima pancer, mereka percaya empat pasangan utara-selatan-timur-barat harus disinergikan menjadi sesuatu yang baru: harmoni. Ini tujuan utama dari perbedaan. Di Sunda, tidak ada sintesa. Dua-duanya harus dihargai walau pada suatu kali harus bersatu. Ada tubuh yang paradoksal di situ.
Apakah dalam kehidupan sehari-hari konsep berpikir seperti ini banyak berpengaruh?
Tentu saja. Sangat berpengaruh. Kesimpulan ini saya ambil setelah meneliti sastra, mitos, tata ruang kampung, dan benda-benda budaya yang menjadi tinggalan sebuah kebudayaan.
Setelah masuknya konsep bernegara modern, katakanlah kita menjadi Indonesia, bagaimana kita menempatkan konsep berpikir tradisional ini?
Yang terjadi ada dominasi Barat yang dibawa oleh kolonialisme. Sekarang kita tetap memakai cara pemerintahan Barat. Cara pemerintahan tradisional makin lama makin lenyap, kecuali sisanya di Yogyakarta.
Menurut saya begini. Modernitas itu nasional boleh. Tetapi, itu tidak bisa dipaksakan pada seluruh wilayah Indonesia. Rakyat kita masih punya pola pikir kepemimpinan yang tradisional. Nasional itu sebagai tujuan, tetapi pola penerapannya harus mengikuti pola pikir daerah.
Di Sunda, misalnya, pengaturan kampungnya tidak bisa dilakukan seperti di Jawa. Lurah di Sunda belum tentu satu-satunya yang berkuasa, masih ada kekuasaan adat dan kekuasaan agama. Ini pola tiga. Di Jawa segalanya diatur oleh pemerintah. Maka, bila otonomi daerah hanya memindahkan konsep berpikir modern ke daerah itu tidak ada artinya. Sebab, segala sesuatunya harus diterjemahkan ke dalam pola berpikir lokal.
Konsep Indonesia di situ di mana?
Ya, kan ada Bhinneka Tunggal Ika itu. Tunggal ika-nya itu pada tujuan, semua orang tujuannya sama: jadi makmur. Tetapi, cara berpikir atau metodenya itulah yang berbeda-beda. Cara orang Minang, Papua, atau Sunda memakmurkan dirinya berbeda dengan orang Jawa.
Posisi nasionalisme di situ di mana juga ya?
Itulah tugas negara. Yang jelas pola pembangunan di setiap wilayah budaya itu jangan disamakan. Terkadang ada bias. Karena yang menyusun konsep nasional itu orang Jawa, dibawalah konsep Jawa itu menjadi nasional. Akibatnya, bisa bentrok dengan Aceh, bentrok yang lain gitu kan....
Dengan pola ini, Anda tidak khawatir muncul disintegrasi karena daerah begitu diberi keleluasaan?
Saya kira tidak. Ini kan proyek nasional dengan kontrol nasional, bukan oleh daerah. Menurut saya, ini hanya soal cara kok. Kalau ini berhasil, justru pikiran untuk memberontak atau memisahkan diri tak akan muncul karena kan daerah punya keleluasaan untuk memakmurkan dirinya sendiri berdasarkan potensi lokalnya.
Malah menurut saya, pemerintah pusat akan dijunjung tinggi karena metode (pembangunan) yang digunakan memakmurkan daerah.
Konsep bernegara
Menurut Jakob Sumardjo, konsep bernegara yang lebih sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia akan lebih ramah dengan kondisi Indonesia. Sementara sejak munculnya negara Indonesia (modern) pembagian wilayah provinsi cenderung mengabaikan wilayah sosial budaya. Pembagian wilayah negara cenderung disederhanakan ke dalam wilayah geografis. Hal itu berlangsung sampai pada tataran kampung, di mana konsep-konsep Jawa, seperti adanya RT/RW, dipaksakan pada beberapa wilayah provinsi.
”Kalau begini kita cenderung abai pada wilayah emperik. Itulah kelemahan kita, tidak melihat realitas emperik karena hanya berlandaskan pada bacaan teori. Sukses di Barat belum tentu sukses di sini,” ujar Jakob.
Jakob Sumardjo lahir di Klaten, tetapi kemudian besar di Yogyakarta. Ia tidak pernah lulus sekolah dasar lantaran saat ujian nilai berhitungnya cuma empat. ”’Padahal, nilai saya untuk Bahasa Indonesia delapan dan Ilmu Pengetahuan Umum sembilan,” tutur Jakob. Meski begitu, ia berhasil masuk Sekolah Guru Bawah (SKB) di Yogyakarta. Jakob kemudian masuk SMA BOPKRI, Yogyakarta, dilanjutkan Sekolah Guru Atas (SGA) dan IKIP Sanatha Darma, Yogyakarta, Jurusan Sejarah sampai sarjana muda.
Ayah tiga anak ini kemudian memperoleh sarjana penuh di IKIP Bandung. Seluruh keahliannya di bidang sastra, arkeologi, dan filsafat seni ia pelajari secara otodidak dari buku-buku. Jakob Sumardjo akhirnya pensiun sebagai guru besar di STSI Bandung. Sampai kini ia masih memberi kuliah di berbagai universitas di Bandung dengan mata kuliah Filsafat Seni dan Budaya.
Menurut Jakob, konsep bernegara Indonesia seharusnya memerhatikan sosio-kultur lokal karena kebenaran dalam konsep nasional bernegara belum tentu benar pada tataran lokal. Oleh sebab itu, sistem nasional seharusnya mengadopsi sistem lokal sehingga tidak mengalami benturan pada tataran praksis. ”Jangan ada pemaksaan betapapun sistem lokal harus diadopsi untuk diberlakukan setempat,” kata Jakob Sumardjo.
”Romo Mangun (YB Mangunwijaya) sudah bilang bahwa pembangunan kita itu harus didekati secara kebudayaan, tidak secara politik ideologis seperti sekarang ini,” ujar Jakob.
Saat senja benar-benar jatuh di titik barat, Jakob minta diri. Ia minta izin untuk kembali ke bilik kerjanya yang sederhana. Dari bilik itulah pemikiran-pemikirannya ditulis dan kemudian disebarkan melalui buku-buku dan koran. Jakob tak berharap terlalu muluk dari hasil ketekunannya itu. Ia cukup puas jika buku-bukunya dihargai, dibaca, dan dijadikan bahan acuan studi....
Sumber: Kompas, Minggu, 5 September 2010
No comments:
Post a Comment