-- Budiarto Shambazy
MEI 2010 merupakan batas akhir bagi negara non-UNCLOS 1982 mengklaim penambahan batas landas kontinen (continental shelf) lebih dari 200 mil (320 kilometer) dari pantai. Syaratnya, penambahan tak melebihi 100 mil (160 km) dari titik kedalaman 2,5 km dan tak melewati 350 km dari pantai.
Tiap negara diberikan waktu 10 tahun untuk mengajukan bukti dasar laut yang diklaim memang landas kontinen. Jika klaim sahih, negara itu diizinkan mengeksplorasi dasar laut dan membagi hasilnya dengan negara tetangga tak berpantai.
Ya, kekayaan alam seabed atau dasar laut—bukan yang berada di atasnya saja—mulai jadi rebutan. Telah terbukti, makhluk hidup, termasuk tanaman dasar laut, kekayaan alam tak ternilai harganya.
Contohnya mentimun laut yang mulai diincar perusahaan farmasi raksasa karena ampuh mengobati kanker. Belum lagi sumber energi baru seperti Methane hydrates di patahan dasar laut.
Dan, dasar laut memiliki kekayaan migas yang mudah diekstraksi. Sekurangnya ada 50 negara mengklaim potensi migas di dasar Samudra Pasifik dan Antartika. Di Eropa, Inggris, Perancis, Spanyol, dan Irlandia menjalin kerja sama eksplorasi daripada bertikai di perairan utara.
Berbeda di Samudra Hindia: Tanzania dan Seychelles mulai saling klaim wilayah bernama Aldabra. Amerika Serikat (AS), Kanada, Rusia, Denmark, dan Norwegia tegang memperebutkan beberapa wilayah kaya migas di Kutub Utara.
Tumpang tindih klaim di Asia Tenggara/Timur sudah terjadi sejak berakhirnya Perang Dingin. Sengketa terjadi hampir di semua negara: Rusia, Jepang, China, Taiwan, Korea Selatan, dan beberapa negara ASEAN di Laut China Selatan.
Indonesia bersengketa dengan Vietnam, Singapura, Malaysia, Papua Niugini, Filipina, dan Australia (sebelum Timor Timur merdeka). Kita negara kepulauan sesuai dengan UNCLOS 1982, yang wajib membuka Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) untuk lalu lintas militer/perdagangan kapal asing.
Muncul masalah: seberapa mampu kita menjaganya? Penangkapan tiga pejabat KKP menguak fakta tak enak bahwa pengamanan kita lemah karena jadi sumber kongkalikong aparat keamanan dan peradilan dengan pelanggar mancanegara–termasuk pencuri ikan.
Pengamanan perbatasan darat belum memadai. Kita bisa kehilangan jutaan hektar hutan di Kalimantan karena pengawasan perbatasan tak efektif. Misalnya, di sepanjang perbatasan tak ada akses jalan yang memudahkan pembuatan tapal meski dana proyeknya berkali-kali digelontorkan.
Kita kurang mampu menjaga halaman rumah sendiri. Sejak kehilangan Sipadan-Ligitan, terungkap fakta tak enak: kita ibarat ”rumah tanpa sertifikat” karena peta Inggris (eks penjajah Malaysia) lengkap, sementara Belanda tak meninggalkan bukti sahih.
Ketegangan dengan Malaysia terjadi sejak insiden di Ambalat tahun 2005. Sejak itu, muncul insiden lain seperti pencurian batik dan lagu ”Rasa Sayange”. Selama lima tahun terakhir kita terbiasa punya tetangga yang provokatif.
Mengapa mereka begitu? Jawabannya bukan teka-teki: kita lemah selama era Reformasi ini akibat korupsi sistemik yang terjadi di birokrasi yang bertanggung jawab atas pengamanan perbatasan.
Lebih dari itu, kita tak punya alutsista memadai untuk menjaga halaman sendiri. Tak ada daya penggentar (deterrent power) yang kredibel untuk menangkal provokasi Malaysia, Singapura, dan Australia.
Pak Habibie melecehkan Singapura sebagai ”a little red dot”, Gus Dur mengancam stop ekspor air ke negeri pulau itu. Terhadap Malaysia, kita tak melakukan apa pun karena mitos ”kakak beradik” atau ”bangsa serumpun”.
Berhubung alutsista lemah, kita hanya bisa terlibat dalam ”balance of terror” lawan Malaysia. Tegang hanya sebentar, sehabis itu ”main remis” lagi, seperti dua pecatur amatir memelototi papan catur semata.
Bung Karno melancarkan konfrontasi karena punya ratusan pesawat tempur, puluhan kapal perang, dan serdadu penyusup ke Malaysia. Pak Harto menarik duta besar dari Filipina dan Australia atau menyetop forum menlu ASEAN-Uni Eropa karena isu Timor Timur.
Mereka menempatkan diri sebagai pemimpin middle power yang disegani. Mereka menangkap aspirasi rakyat dan institusi-institusi lain–termasuk TNI dan Kemlu–sehingga menghasilkan keputusan utuh, bulat, dan kompromistis bagai kotak hitam pesawat.
Dan, mereka mengambil keputusan dalam situasi krisis yang butuh kepemimpinan tegas serta jadi panutan. Proses pengambilan keputusan politik luar negeri mestinya mencerminkan konsensus spektrum kekuatan politik seluas mungkin—bukan hanya kepentingan presiden.
Dari awal saya sarankan tarik duta besar kita di Kuala Lumpur dan minta duta besar Malaysia meninggalkan Jakarta. Ini keputusan diplomatik rasional yang berdampak ganda.
Pertama, menimbulkan efek jera karena jika tak diberikan pelajaran, Malaysia tak akan jera. Kedua, penarikan/pengusiran duta besar merupakan terapi kejut bagi jajaran birokrasi agar tak lagi kongkalikong menjaga kedaulatan wilayah.
Dalam situasi harmonis pun, TKI tetap jadi masalah besar yang siap meledak karena Malaysia mengalami stagnasi ekonomi. Sesuai janji program 100 hari SBY-Boediono, sebaiknya rencana pembentukan citizen centers di Malaysia untuk memantau TKI segera diwujudkan.
Sumber: Kompas, Sabtu, 4 September 2010
No comments:
Post a Comment