-- Radhar Panca Dahana
BEBERAPA berita seperti ini tampaknya bukanlah berita besar. Ia hanya mengisi halaman tengah atau belakang di rubrik kriminalitas atau metropolitan.
Berita itu tak sekali saja. Tak di satu kota belaka. Tampaknya telah jadi gejala. Sebuah tragedi dalam satu rumah tangga yang begitu langka, tak dinyana, menyakitkan, bahkan hampir tanpa preseden. Anda pernah membaca dan mendengarnya: seorang bapak memerkosa anak perempuannya hingga hamil beberapa kali, seorang ibu membunuh kedua anaknya sebelum ia membunuh dirinya sendiri, dan terakhir seorang anak membunuh ibunya dengan tiga pukulan di belakang kepala dan sebuah tusukan dalam di perutnya.
Sebagian dari Anda pasti pernah mendengar atau membacanya. Namun, apa terjadi? Ia berlalu seperti berita pelanggaran hukum dan norma lainnya. Ia tak lebih dari peristiwa perampokan di jalan raya, pembunuhan terencana, korupsi di sebuah lembaga, atau bisa pula sepeda motor yang lancang masuk jalur busway. Kita sudah tak punya kepekaan dalam memahami peristiwa ketika kedegilan dan kekejaman manusia sudah seperti peristiwa sebiasa kita melihat kemacetan sehari-hari di Jakarta.
Namun, coba sekali lagi Anda resap dan renungkan: bagaimana seorang ayah membesarkan putri terkasihnya untuk ia zalimi, memerkosanya puluhan kali hingga hamil tak hanya satu kali. Coba Tuan bayangkan: seorang ibu yang dengan meregang nyawa melahirkan kedua anaknya, tapi satu malam ia menuangkan minyak ke tubuh dua anaknya yang tengah tertidur lalu membakarnya hingga jadi arang.
Imajinasi atau fantasi apa yang ada di dalam dunia abstrak kita ketika seorang anak yang selalu dituruti kehendaknya sekonyong memutuskan membunuh ibu yang mengasuh dan membesarkannya dengan cara telengas hanya karena ekonomi yang runyam membuat sang ibu sulit memenuhi lagi rengekan permintaannya? Hidup seperti apa yang dibela atau ditolak para pelaku di atas? Dunia atau negeri apa yang mereka diami dan alami?
Peristiwa-peristiwa itu terlalu dahsyat untuk tak dihiraukan, untuk tak menciptakan rasa pilu atau air mata di diri kita. Para pemimpin kita sibuk dengan angka-angka. Partai politik ramai dengan jatah di parlemen. Manusia-parlemen tenggelam dalam urusan komisi serta kompensasi. Di puncak pemimpin tertinggal diplomasi, retorika, dan pencitradirian belaka.
Masihkah ada air mata, arti hidup, dan kebudayaan dalam diri mereka? Sementara itu, di satu kota seorang anak menyiapkan belati dan seorang ibu mengintip anaknya mandi.
Para pemimpin itu
Seorang (pemimpin) yang masih memelihara hati, kepekaan, apresiasi terhadap hidup, serta sadar akan kebudayaan yang mendewasakannya akan melihat peristiwa semacam di atas tak lagi dapat dijelaskan oleh kenaikan indeks di bursa, penurunan kurs, tingkat inflasi, jumlah instansi baru, atau kecerewetan tentang ambang batas elektoral. Semua jadi runyam, bahkan tak bermakna sehebat apa pun pencapaiannya ketika hati yang terpelihara itu melihat atau mendengar berita tersebut. ”Apa yang terjadi pada (bangsa)ku?” Dan ia yang memandang hidup serta manusia itu suci, ia yang beriman, yang zuhud, tentu akan berkeringat seolah air mata mengalir di semua porinya.
Peristiwa di atas sudah melampaui keadaban yang paling degil dari sejarah manusia, bahkan binatang. Ia telah jadi simtom atau pertanda puncak luluh lantaknya adab dan budaya sebuah masyarakat atau bangsa. Untuk ukuran negeri ini, untuk negeri yang 5.000 tahun lebih menciptakan dan mengembangkan semacam peradaban dengan respek dari seluruh penjuru dunia, peristiwa di atas seperti sebuah karet penghapus yang meniadakan pencapaian luar biasa adat dan adab negeri itu sendiri.
Tragedi orangtua dan anak di atas tak ada dalam common sense yang paling awam atau paling rendah sekalipun dari masyarakat kepulauan ini, seterpencil atau sepurba apa pun keadaannya. Ia jadi tamparan terkeras pada (kebudayaan dan jati) dirinya sendiri ketika hidup yang harus ia alami sekarang ini, negeri yang ia diami saat ini, telah mengkhianati bahkan menzalimi (kebudayaan dan jati) dirinya itu.
Itu terjadi bukan hanya karena elite atau para pemimpin yang mereka gugu dan tiru tak lagi peduli kepada mereka. Kaum atas itu memperdaya, mengeksploitasi, bahkan dengan sengaja menjadikan rakyat korban kemajuan, pembangunan, dan kejayaan kaum elite bak kaum animis mengorbankan binatang atau perawan untuk keselamatan raja dan bangsawannya.
Sadar tak sadar, semua sistem kehidupan yang elite itu sendiri ciptakan telah jadi semacam bencana, bahkan kutukan bagi rakyat. Sistem yang ternyata memberi risiko dan dampak luar biasa bagi peri hidup dan peri budaya rakyat hingga ke sela-sela gigi, hingga ke kehidupan terintim setiap pribadi. Sistem yang tak terterap, tercerap, dan terserap melalui proses asimilasi atau akulturasi yang alamiah, tetapi lebih lewat semacam proses transplantasi organik yang efeknya menciptakan guncangan luar biasa dari organisme penerima. Seperti transplantasi hati atau ginjal, sang penerima bisa terenggut nyawa karenanya.
Transplantasi koersif
Transplantasi kultural yang sistemik ini tidak baru saja terjadi, tapi sejak ratusan, bahkan ribuan tahun lalu (khusus di bagian tertentu) di negeri ini. Ia terjadi bukan atas permintaan, karena misalnya kebudayaan kita sedang sakit parah salah satu organnya, tapi melalui proses yang penuh paksaan, koersif, dan tanpa tawar-menawar. Kolonialisme peradaban kontinental atas adab maritim negeri ini, apalagi jika dihitung sejak kedatangan bangsa Arya di awal Masehi, bikin adat dan adab negeri kepulauan harus berjuang keras menyesuaikan diri hanya untuk sintas.
Berapa adat, bahasa, komunitas, atau suku bangsa telah mati karenanya? Kita tahu itu! Yang sangat menggiriskan adalah ketika justru setelah kemerdekaan, terlebih di masa pascareformasi, transplantasi itu semakin menjadi. Tak hanya seluruh organ, mungkin raut wajah, warna kulit, hingga cara senyum sudah tertransplan elemen luar (asing). Kita begitu sibuk dengan organ baru (asing) dalam berbagai sistem dan cara hidup dan melupakan manusia (serta adab yang menghidupi dan dihidupinya) yang justru jadi subyek, bagian tervital dari proses itu.
Maka, manusia, rakyat, atau bangsa yang ternafikan atau teralienasi itu kini telah mencapai puncak frustrasi atau ketidakberdayaannya. Ia marah dan letih teramat letih, tapi tak mampu melampiaskannya pada sistem yang begitu kuat, kepada para pemimpin yang begitu kuasa. Lalu secara psikotik ia menghamburkan kemarahannya pada diri sendiri, menghancurkan diri sendiri, budaya, dan peradabannya sendiri. Tentu dengan air mata turun tiada habisnya.
Apakah engkau, wahai pemimpin, masih ada sedikit air mata untuk berbagi dengan mereka? Untuk mereka, air kehidupan yang memilukan ini telah kering. Tinggal api yang membakar. Membakar sekujur tubuhnya. Juga anak-anaknya.
* Radhar Panca Dahana, Sastrawan
Sumber: Kompas, Sabtu, 4 September 2010
No comments:
Post a Comment