Friday, September 17, 2010

Ada Tiga Hambatan Hapus Kemiskinan

Jakarta, Kompas - Pemerintah memiliki tiga hambatan dalam menghapus kemiskinan. Pertama, bagaimana mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia, termasuk birokrasi. Kedua, bagaimana pembangunan infrastruktur bisa dipercepat. Ketiga, bagaimana menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.

Demikian diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa kepada Kompas seusai Sidang Kabinet Paripurna di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta, Kamis (16/9).

Hatta Rajasa diminta tanggapannya soal kemiskinan sebagaimana disampaikan Profesor David T Ellwood, Dekan Harvard Kennedy School, dalam presidential lecture di Istana Negara, Rabu (15/9).

Di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, dan para menteri serta pejabat lainnya, David T Ellwood menyatakan, ada empat elemen untuk menghapuskan kemiskinan.

Empat elemen itu adalah ekonomi harus kuat, keunggulan komparatif jangka panjang, kelembagaan dan pemerintahan yang kuat dan efektif, serta program bagi kaum miskin yang dirancang dengan saksama.

Menurut Hatta, apa yang disampaikan Ellwood sebenarnya bukan hal baru. ”Ya, sebetulnya yang disampaikan itu kita sepakat dan kita tengah menjalankannya. Namun, ada hambatan yang beberapa hal harus dibenahi lagi,” ujar Hatta.

Menurut Hatta, pertumbuhan ekonomi diakui harus tetap tinggi. ”Akan tetapi, menurut Ellwood, harus dilakukan dengan trickle down effect yang akan memberikan dampak ke masyarakat bawah. Sebenarnya, kita tidak lagi menganut cara itu. Kita pernah gagal di zaman Pak Harto (Presiden Soeharto). Oleh karena itu, sekarang kita menerapkan triple track strategy, yakni berpihak kepada pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan terus mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (pro-job, pro-poor, dan pro-growth) dan juga pembangunan yang berkeadilan,” tambah Hatta.

Mengenai perlunya mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan mencari industri unggulan, Hatta mengaku setuju. ”Sebab, kita akan mengembangkan cluster industri berbasis pada keunggulan sumber daya kita,” lanjutnya.

Sulit ada perbaikan

David Ellwood menyatakan tidak setuju dengan bantuan langsung tunai (BLT), dengan alasan tidak baik jika dilaksanakan dalam jangka panjang. ”Ya sama. Kita juga begitu. BLT itu hanya jangka pendek. BLT itu diberikan dalam keadaan terpaksa dan situasional serta masyarakat yang tidak berdaya. Jadi, tidak dalam jangka panjang,” kata Hatta.

Di tempat terpisah, Ketua Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi mengatakan, penghapusan kemiskinan, yang juga masuk dalam salah satu Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), masih lepas dari konteks keadilan sehingga sulit mengharapkan perbaikan signifikan.

Menurut Palupi, sebagai proyek internasional dan komitmen bersama guna mengurangi kemiskinan, MDGs seakan terlepas dari masalah ketidakadilan baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.

Ia mencontohkan, posisi Indonesia sebagai negara miskin menjadi lokus eksploitasi sumber daya alam dan pemerintah tidak dapat berbuat banyak. Akibatnya, masyarakat kehilangan akses terhadap tanah dan sumber daya yang ujungnya memiskinkan mereka.

Di samping itu, banyak kebijakan pemerintah dan target MDGs yang bertentangan. Di satu sisi, sasaran MDGs ialah menjamin kelestarian lingkungan dan penghapusan kemiskinan. Namun, pemerintah justru melakukan perusakan sistematis terhadap lingkungan.

Anggaran pelaksanaan MDGs tidak sebanding dengan anggaran membayar utang yang jumlahnya mencapai sepertiga dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ironisnya, untuk membiayai program penghapusan kemiskinan dan pencapaian MDGs, pemerintah kembali berutang.

”Keadilan global perlu diperjuangkan,” ujarnya. Jika tidak demikian, pelaksanaan proyek MDGs bagi Indonesia memperbesar peluang untuk menambah utang dan penyerahan diri untuk dieksploitasi.

Palupi juga menyoroti persoalan indikator kemiskinan. Tidak tepat dan kurang jelasnya indikator kemiskinan menyebabkan rawan terjadi manipulasi data semata agar pencapaian MDGs tetap pada jalurnya.

”Ukuran pendapatan 1 dollar AS per hari per orang itu untuk kemiskinan absolut. Padahal, ambangnya tipis sekali antara hampir miskin tetapi belum dikategorikan miskin dengan miskin sekali. Begitu sakit, terjadi bencana, atau inflasi, orang yang tadinya belum termasuk kategori miskin langsung menjadi miskin, apalagi diukur dengan menggunakan rupiah yang belum stabil,” ujarnya.

Hal yang paling mendasar untuk melihat MDGs ialah dengan perspektif hak asasi manusia.

”Kapabilitas orang miskin harus ditingkatkan melalui pendidikan, kesehatan, dan penyediaan kesempatan bekerja. Dengan demikian, muncul kemandirian menghidupi diri sendiri dan keluarganya,” ujarnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin per Maret 2010 sebanyak 31,02 juta orang atau 13,33 persen dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237,6 juta. Pada tahun 2009, jumlah penduduk miskin 32,53 juta jiwa atau 14,15 persen dari total jumlah penduduk 231,37 juta orang.

(HAR/INE/GUN)

Sumber: Kompas, Jumat, 17 September 2010

No comments: