-- Aguk Irawan MN
PADA zaman Jahiliah (pra-Islam), sastra telah menempati posisi tinggi di hati orang Arab. Bahkan, ketika dunia masih meraba-raba dalam keremangan ilmu pengetahuan, kebudayaan Arab sudah bergumul ketat dalam sastra dan tata bahasa. Tingginya penghargaan kaum Arab terhadap para penyair diperlihatkan dengan menggantung puisi-puisi terbaik penyair mereka di dinding Kabah sebagai simbol kebesaran dan kebanggaan suku mereka.
Pada zaman itu, seorang penyair adalah tokoh masyarakat yang paling disegani melebihi hartawan, agamawan, dan filsuf. Sampai kemudian datanglah mukjizat Nabi Muhammad, Al Quran, sebagai pesaing sastra Jahili, juga sekaligus—kata Syauqi Dlaif dalam bukunya, Fi Ashr Al Adab Al Jahiliy—sebagai upaya penghargaan Tuhan kepada para sastrawan.
Ketika Al Quran diturunkan, menurut pengamat sastra Arab Muhammad bin Sulam al-Jumahi dalam bukunya, Thabaqat Fuhul asy-Syuara, gairah penyair justru makin menjadi. Diturunkannya Al Quran yang sangat puitik kepada seorang ummi (baca: buta baca tulis), Muhammad, telah memicu kreativitas para penyair jahiliah untuk menyaingi kedahsyatan estetik Al Quran.
Sebagian menjadi nabi palsu, seperti Musailama al-Kadzab, yang melahirkan kitab puisi Ma huwal Fil (Kitab Ayat-ayat Katak), dan Imri’il-Qais yang menulis kitab puisi Ayyuhat Ath-thalali Al-bali (Puing-puing Usang).
Penyair dan penyihir
Dalam pelbagai pertimbangan, terutama dalam pencapaian artistik, makna, dan kekuatan simboliknya, penyair kadang diposisikan sebagai seorang ”nabi kecil”. Syairnya dianggap seperti wahyu, orasinya dianggap fatwa.
Kemampuan penyair bermain dengan kata-kata yang sugestif tidak hanya memesona, tetapi juga seperti membius pendengar atau penikmatnya, larut dalam dunia imajiner dan kontemplatif. Karena kemampuannya memainkan kata, juga pada umumnya lewat gaya bicara dan pembacaan yang agitatif-memukau, Al Quran pun sampai menyebut penyair dalam kesatuan sebutan dengan penyihir (QS As-Syu’ara [26], 24-27).
Al Quran menyebutkan kata penyair secara khusus dan sangat terang sebanyak 10 kali dan dengan bentuk derivasinya (sinonimnya) sekitar 60 kali dan secara istimewa bahkan menyebut satu suratnya dengan nama As-Syu’ara atau ”penyair” [26]. Satu keistimewaan tersendiri bagi sebuah profesi atau jenis kerja/ekspresi manusia.
Perjuangan
Dalam konteks dan waktu yang lain, dengan perangkat bahasa yang berbeda, tetapi dengan pemahaman dan pendekatan yang serupa, apresiasi serta pemosisian puisi atau sastra semacam di atas juga terjadi di tanah Jawa. Pada masa Wali Sanga, Sunan Kalijaga adalah salah seorang wali yang melihat kesusastraan sebagai bagian kebudayaan terpenting dalam usahanya memahami masyarakat Jawa.
Dasar normatifnya jelas, karya sastra yang digunakan dalam proses beriman ini adalah karya sastra yang mengusung moralitas agama, seperti mengajak kebaikan dan menjauhi segala kefasadan.
At Tahawani, mengutip pendapat Al Baidhawi, menyatakan, sebagian besar penyair hanya mengungkapkan khayalan-khayalan yang jauh dari kebenaran. Sebagian besar dari mereka, menurut dia, telah mengumbar syahwat melalui kata-kata, kecuali penyair baik yang memegang norma dan etika.
Dalam konteks inilah, menurut Radhar Panca Dahana, sastrawan seharusnya dapat mengambil posisi juga untuk berperan meluaskan pemahaman manusia karena dalam hal-hal tertentu ia juga menyimpan ”kebenaran” dalam isi dan bentuknya; sebagai penyeimbang, sebagai alternatif acuan-acuan kebudayaan (modern)—Kebenaran dan Dusta Dalam Sastra, Penerbit Indonesia Tera, 2001.
Aguk Irawan MN, Penerjemah dan Penulis Buku, Tinggal di Yogyakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 25 September 2010
No comments:
Post a Comment