-- Sudhamek AWS
BERDAASARKAN genealogi ”universitas” sebagai kumpulan guru dan siswa ilmuwan, sejak universitas pertama di China dan di Nalanda, India, abad ke-5, diikuti universitas modern di Bologna, Italia, abad ke-11, diperkirakan situs purbakala Muaro Jambi di Sumatera, paling tidak pada awal abad ke-7, juga sudah merupakan kompleks pusat pembelajaran yang ternama. Baru disusul beberapa abad kemudian di Indonesia dengan berdirinya Universitas Gadjah Mada dan universitas lainnya.
Di kompleks yang jaraknya sekitar 40 kilometer dari luar Kota Jambi, di pinggiran Sungai Batanghari, yang terserak dalam 80 manapo (reruntuhan), telah berkembang tradisi sebuah universitas. Berdasarkan catatan dan peninggalan yang ada, diperkirakan Muaro Jambi merupakan pusat pembelajaran sejak abad ke-7 hingga abad ke-11. Dengan demikian, praksis pendidikan di sana bisa dikatakan sebagai universitas tertua di Indonesia.
Situs Muaro Jambi ditemukan pertama kali pada 1820 oleh perwira tentara Inggris, Letnan SC Crooke, diawali laporan MG Coedes pada 1918 dan diikuti oleh Prof Krom, WF Stutterheim, JG de Casparis, dan sederet nama arkeolog besar Belanda lainnya. Sementara nama-nama besar arkeolog Indonesia, seperti Prof Dr Satyawati Sulaiman, Prof Dr Slamet Muljana, Prof Dr R Soekmono, dan Prof Dr RP Soejono, berikut arkeolog-arkeolog muda Indonesia kemudian, memberikan kepastian tentang berkembangnya sebuah tradisi hidup bersama pada masa lalu dengan berbahan batu merah yang dipisahkan satu sama lain oleh kanal-kanal.
Dari bukti tulisan-tulisan dan peninggalan arkeologi yang ada, tampak jelas adanya pengaruh institusi yang serupa, terutama Sanghrama Nalanda, terhadap perkembangan Muaro Jambi sebagai kompleks pusat pembelajaran atau universitas. Kedekatan hubungan antara Sriwijaya dan Nalanda, antara lain, tercatat dalam ”Nalanda Copperplate” (860) yang menyebutkan bahwa Raja Balaputradewa dari Sriwijaya membangun wihara di Nalanda serta diberi oleh penguasa di sana lima desa. Hasil dari ke-5 desa tersebut digunakan untuk pemeliharaan wihara dan membiayai para siswa di sana.
Dimulai dari kedatangan I-Tsing yang pertama pada abad ke-7, proses pembelajaran di sana diperkirakan berlangsung paling tidak selama 400 tahun lebih dengan pulangnya seorang terpelajar dari India, Dipamkara Srijnana, pada tahun 1025 setelah selama 12 tahun belajar di Muaro Jambi.
Menurut temuan tim SUDIMUJA, Sanghrama (Universitas) Mahawihara Nalanda berkembang dari fokus ”belajar untuk bhakti” menjadi ”belajar untuk pengetahuan”. Raja-raja dinasti Gupta yang membangun Nalanda bukanlah buddhis, melainkan penganut Hindu Brahma sehingga sanghrama dikembangkan bukan dari sudut keagamaan, melainkan demi mendorong dan mendukung sistem pembelajaran, pendidikan, dan kebudayaan bagi kepentingan masyarakat.
Hal yang sama diberlakukan dalam praksis pendidikan di Muaro Jambi. Bahasa Sanskerta menjadi bahasa pengantar, seperti ditunjukkan oleh Prasasti Talang Tuo (684) bahwa pada abad ke-7 M, Sriwijaya mengikuti cara pandang Mahayana, dan menurut I-Tsing, beliau pun belajar tata bahasa Sanskerta di Fo-shih.
Biara-biara yang sebelumnya hanya diperuntukkan bagi biarawan berkembang menjadi pusat-pusat belajar umum yang juga terbuka untuk awam.
Berpagar tembok
Seperti di Nalanda, hampir semua bangunan di Muaro Jambi dikelilingi pagar tembok dengan ketinggian 6 meter, berpetak-petak dengan luas yang berbeda-beda. Tulis I-Tsing, ”Saat itu di Sriwijaya ada ribuan biarawan yang tekun belajar dan beribadah. Mereka tinggal di kawasan yang berpagar tembok.” Hampir semua kelas dan kegiatan dijalankan dalam lingkungan berpagar tembok, di petak-petak halaman terbuka yang dilandasi dengan paving batu bata. Sampai sekarang, reruntuhan fondasi pagar, halaman-halaman, beserta pavingnya masih jelas terlihat.
Berdasarkan catatan Tim SUDIMUJA, ajaran-ajaran dari salah seorang alumnus Muaro Jambi, yang pernah menjadi dasar agama nasional di suatu kerajaan, sampai sekarang pun masih diajarkan dan dipraktikkan di sejumlah negara di dunia.
Ketika situs Muaro Jambi diperjuangkan sebagai salah satu warisan dunia, seperti yang sudah ditetapkan untuk Candi Borobudur dan Candi Prambanan, kedudukan Muaro Jambi sebagai universitas akan menjadi nilai tambah yang sangat berarti. Apalagi, selain I-Tsing, tercatat pula banyak peziarah lain, seperti Wu-Hing, yang pernah belajar beberapa lama di Sriwijaya (Muaro Jambi) sebagai persiapan belajar di Nalanda. Sebaliknya juga banyak biarawan India yang belajar beberapa tahun di Muaro Jambi, kemudian kembali ke India untuk mengajar, seperti Dipamkara Srijnana, Sakyakirti, Vajrabodhi, dan Amogavajra. Sebaliknya, banyak guru dan siswa Muaro Jambi juga belajar di Nalanda.
Dari serangkaian bukunya, antara lain I-Tsing menulis tentang apa yang ia temukan di Fo-shih. ”Saat itu ada ribuan biarawan yang tekun belajar dan beribadah. Mereka tinggal di kawasan yang bertembok... Mereka mempelajari semua mata kuliah seperti yang diajarkan di India... Mereka mempelajari pancavidya: logika, tata bahasa dan kesusastraan, ilmu pengobatan, kesenian, serta metafisika dan filsafat. Tata cara dan upacara pun tidak berbeda... Jika biarawan dari China berkehendak untuk belajar di India, sebaiknya dia tinggal di Sriwijaya selama satu atau dua tahun untuk mempersiapkan dan melatih dirinya tentang cara-cara yang benar.” Tempat yang dimaksud oleh I-Tsing diperkirakan adalah Muaro Jambi.
Situs Muaro Jambi, salah satu situs peninggalan Kerajaan Sriwijaya, selain sudah dikenal sebagai tempat ibadah, juga diprediksi sebagai pusat belajar. Hipotesis ini niscaya menarik bagi para arkeolog, ahli sejarah, dan para ahli dari disiplin ilmu lain karena selain terus digali kekayaan arkeologisnya, juga kemungkinannya sebagai universitas tertua di Indonesia.
Langkah-langkah yang sudah ditempuh, selain pengembangan sarana wisata, penyelenggaraan Waisak tahun 2007 sebagai peringatan pertama Waisak di luar kompleks Candi Borobudur, perlu dilanjutkan. Semakin banyak data yang memperkuat situs Muaro Jambi sebagai universitas, setelah sebagai situs candi terluas di Indonesia, bukankah menantang dibuktikan kebenaran hipotesis tersebut. Mengapa tidak?
* Sudhamek AWS, Pembimbing SUDIMUJA dan Ketua Umum Majelis Buddhayana Indonesia
Sumber: Kompas, Selasa, 7 September 2010
No comments:
Post a Comment