Saturday, September 04, 2010

Gamelan: Eksotik, Mistik, dan Politik

-- Bandung Mawardi

GAMELAN Jawa telah memberi inspirasi dalam penciptaan musik klasik di Eropa. Inspirasi itu didapatkan komponis Claude Debussy ketika menikmati alunan gamelan dalam acara Eksposition Universelle di Paris (1889). Acara ini diselenggarakan dalam rangka peringatan seabad Revolusi Prancis dan peresmian Menara Eiffel.

Gamelan dihadirkan di kaki Menara Eiffel sebagai perwakilan anjungan Hindia Belanda dengan kepentingan "pameran" politik kebudayaan kolonial di negeri Eropa. Gamelan telah menciptakan sihir imajinasi untuk orang Eropa memikirkan eksotisme Jawa dan Nusantara. Debussy mengabadikan inspirasi itu dengan menggubah komposisi musik klasik sebagai jenis estetika musik kelas tinggi di Eropa.

Eksotik

Debussy dengan terang mengakui pesona gamelan untuk publik Eropa: "Jika Anda mendengar alunan gending Jawa dengan telinga Eropa yang normal, Anda harus mengakui bahwa musik kita tak lebih daripada sekadar bunyi-bunyi dasar sirkus keliling." Debussy dengan puitik menyebutkan bahwa gemelan adalah "getaran keindahan suara itu sendiri" Ketakjuban itu memberi inspirasi pada Debussy untuk menggubah Pagodes, d'Estampes, La fille aux cheveux de lin, Feuillis morets, dan Canope (Dorleans, 2006: 519-521).

Lombard (2006) melacak hubungan gamelan dan Debussy itu dengan acuan pada buku Debussy, His Life and Mind garapan Ed. Lockspeiser (1966) dan artikel Debussy en de Musiek van de Mangkunegaran (1969) karangan G.J. Resink. Gamelan jenis slendro di Paris itu ternyata dikirimkan oleh Mangkunegara V untuk melengkapi pelbagai penampilan seni tradisional Jawa. Kisah ini mungkin bagi publik tertentu menimbulkan kebanggaan karena gamelan telah diapresiasi tinggi oleh kalangan Eropa. Kebanggaan itu bisa runtuh ketika menyadari bahwa ada proyek kolonialisme di balik penghadiran seni Jawa di Eropa. Gamelan ada dalam desain penciptaan eksotisme oleh Belanda dengan misi kolonialisme dan kapitalisme.

Penjelasan kritis mengenai makna kehadiran gamelan dan seni Jawa dalam agenda pameran kolonial di Eropa didedahkan oleh Frances Gauda dalam Dutch Culture Overseas (2007). Gauda dengan memakai kasus Pameran Kolonial se-Dunia di Paris 1931 mengungkapkan bahwa pameran itu mengandung tujuan: "untuk mengungkapkan dan merayakan kekuatan politik dan kebudayaan Eropa yang mungkin telah menyentuh hingga ke sudut tergelap dan paling terbelakang di bumi ini."

Gamelan juga dihadirkan dalam pameran itu sebagai "komoditi musik etnis". Pemaknaan di Eropa telah mengubah sakralitas gamelan bagi masyarakat Jawa menjadi eksotik.

Mistik

Estetika gamelan untuk masyarakat Jawa adalah representasi dari harmonisasi dan pencapaian ekstase untuk sadar kosmis. Gamelan tidak sekadar perkara musik tapi menjadi pertaruhan orang Jawa mengolah rasa dan mengabdikan diri untuk sensibiltas kosmis (alam, manusia, dan Tuhan). Hakikat gamelan adalah hakikat kehidupan manusia lahir dan batin. Kesadaran atas gamelan bagi masyarakat Jawa ini mengarah pada kecenderungan mistik atau sakralisasi.

Pelbagai tafsir atas gamelan diajukan para ahli dalam beda perspektif. Judith Baker (1979) menilai melodi gamelan memiliki kaitan erat dengan sistem kepercayaan asta wara (siklus kalender dalam pengetahuan Jawa). Kuntowijoyo (1985) mengimbuhi bahwa gamelan tidak sekadar urusan melodi, harmoni, dan dinamik. Keharmonisan dan keteraturan dalam gamelan merupakan representasi dari perjalanan suci menuju Tuhan. Ketukan gong bisa diartikan simbol pencapaian tingkat (maqam) tertentu setelah orang beralih dari suasana dzikir dan sunyi secara bergantian.

Tafsiran ini kental dengan simbolisasi atas alam kerohanian Jawa. Sakralisasi terjadi dengan kesadaran batin dan laku (Fananie, 1994). Pandangan mistik terhadap gamelan itu diterjemahkan oleh penguasa dan ahli agama dalam pelbagai ritus di keraton. Gamelan menjadi perangkat musik dengan nafas tradisi dan keagamaan. Ritus gamelan menjadi ritus dengan permainan jagad simbol dan anutan kepercayaan terhadap nilai-nilai kejawaan dan religiositas. Pandangan ini kontras dengan sejarah kehadiran gamelan di dunia Eropa dalam konstruksi eksotik. Kolonial memang telah mengenalkan gamelan untuk publik Eropa tapi mengalami pencerabutan dari akar kultural Jawa. Konsekuensi dari tindakan kolonial adalah kerancuan dalam pemaknaan gamelan dari perspektif estetik dan mistik.

Politik

Pergeseran atau perubahan makna juga ditambahi dengan tafsir politik terhadap gamelan. Peran gamelan ternyata memiliki kaitan erat dengan rezim kekuasaan dan penerapan politik kebudayaan untuk menjaga stabilitas antara penguasa dengan rakyat. Gamelan dalam tafsir politik mengacu pada kebijakan penguasa ketika menjadikan gamelan dalam rangkaian ritus tradisi dan agama. Kebijakan pemberian nama, perawatan secara fisik dan mistik, penentuan waktu untuk dibunyikan, atau tempat penyimpanan membuktikan ada kepentingan penguasa untuk penguatan simbol dan ekspresi kekuasaan dalam anutan "wahyu kedaton." Gamelan adalah representasi politik Jawa?

Tafsir kritis terhadap makna gamelan diajukan oleh John Pamberton dalam Musical Politic in Central Java (1987). Pamberton mengajukan gagasan bahwa fungsi gamelan di masyarakat masa kini bukanlah untuk "didengarkan" dan diresapi keindahannya tapi untuk "menciptakan" masyarakat pasif dan terkendali (Stange, 2009: 332). Tafsir ini kentara meletakkan gamelan dalam konteks kekuasaan Orde Baru dalam bayang-bayang penerapan kekuasaan Jawa. Gamelan menjadi simbol dari agenda politik untuk menghapuskan atau menundukkan potensi oposisi dan resistensi terhadap rezim. Penerjemahan agenda politik melalui jalur seni-kultural Jawa memungkinkan ada konstruksi mistifikasi atau sakralisasi sehingga masyarakat Jawa percaya dan tunduk. Hal ini menjadi tipologi ampuh dari politik kebudayaan rezim Orde Baru.

Gamelan dalam sejarah dan perkembangan ternyata menjadi representasi kepentingan dalam perspektif eksotik, mistik, dan politik. Pelbagai tafsiran ini membuktikan bahwa gamelan bisa digunakan sebagai pintu masuk untuk memahami Jawa. Kesadaran terhadap peran dan potensi gamelan mungkin bisa menjadi argumentasi untuk memikirkan-memeriksa ulang perhatian negara dan publik Jawa terhadap warisan-warisan tradisi. Gamelan adalah contoh dari kesanggupan manusia untuk merangkum pengetahuan dari musik sampai politik dengan acuan sejarah dan situasi mutakhir. Begitu. ***

* Bandung Mawardi, pengelola Jagat Abjad Solo

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 4 September 2010

1 comment:

Mercilles Evolution said...

mantabbbbbb bang. thx