Judul Buku: Jurnalisme Investigasi: Trik & Pengalaman Para Wartawan
Penulis: Dandhy Dwi Laksono
Penerbit: Kaifa, Jakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2010
Tebal: 436 halaman
LITERATUR soal jurnalisme investigasi? Olala...pada sejumlah buku, kita kerap gagal mengunyah lantaran sejumlah penulis kelewat terpaku pada penjelasan teoretis yang melelahkan. Penulis juga acap terpelanting untuk menyandarkan bahasannya pada pengalaman jurnalis asing, khususnya dari Amerika Serikat yang memang karib mempraktikkannya. Alhasil, saat kita ingin menyantap jurnalisme investigasi, kita seperti dijauhkan dari halaman rumah sendiri. Jadinya, kita semakin asing dengan sesuatu yang seyogianya kita ''gauli'' secara intens.
Padahal, begitu banyak kiprah dan sepak terjang jurnalis tanah air yang layak ''dihidangkan'' kepada khalayak. Ada banyak kisah bagaimana jurnalis Indonesia tekun menggunakan teknik investagi dalam peliputan sehingga menghasilkan laporan-laporan jurnalistik yang dalam lagi menyingkap tabir di balik gelap pembunuhan, korupsi, hingga bisnis minyak ilegal dan perampokan di sektor pajak.
Bondan Winarno pada 1997 menyentak publik Indonesia dengan hasil investigasinya yang kontras dengan berita umum bahwa Michael de Guzman tewas bunuh diri melompat dari helikopter di pedalaman Kalimantan Timur. Salah seorang eksekutif perusahaan tambang asal Kanada, Bre X, itu dilaporkan memilih loncat dari helikopter setelah aksi Bre-X Mineral Ltd berbohong soal kandungan emas di Busang diungkap rekanannya, Freeport.
Dari keganjilan-keganjilan yang ditemukan Bondan (Bre X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi, 1997) bikin simpul yang membuat orang terperangah: ''Kehidupan tampaknya terlalu manis bagi Michael de Guzman untuk diakhiri dengan terjun tanpa payung dari helikopter. Atau, barangkali dia kini tengah membaca buku ini sambil tersenyum-senyum nun di Cayman Island atau Brazil sana?''
Penulis buku ini, Dandhy Dwi Laksono, menceritakan kembali perjalanan Bondan itu. Tentu saja Dandhy tak bermaksud membuat Bondan jadi ''legenda''. Karena itu, Dandhy menghadirkan pula pengalaman jurnalis Indonesia di dunia kontemporer di sekujur buku ini. Mulai Panda Nababan, Metta Dharmasaputra, Yosep Suprayogi, Philipus Parera, Adi Prasetya, Ecep S. Yasa, hingga Muchlis Suhaeri (jurnalis Borneo Tribune yang diganjar Mochtar Lubis Award 2008 untuk investigasi media cetak bertajuk The Lost Generation).
Penulis kelahiran Lumajang itu berperan bak dalang. Dia beberkan kisah orang lain sambil tak lupa menyandingkan dengan pergulatannya di lapangan. Dandhy menukilkan sejumlah liputan investigatif besutannya saat masih bekerja di RCTI. Bekas kepala peliputan RCTI itu menguliti serangkaian liputan yang pernah dikerjakan bersama tim reporter stasiun televisi swasta tertua di tanah air itu. Nyaris seluruh ''rahasia'' meliputi trik hingga teknik investigasi yang dilakukan tim RCTI didedahkan Dandhy.
Dengan nada sedikit berseloroh, Wapemred RCTI Putra Nababan saat peluncuran buku ini di AJI Jakarta sebulan lalu bergumam, ''Apakah tidak lebih baik trik yang pernah dipraktikkan tim RCTI tak dibuka kepada umum ya.'' Kendati begitu, Dandhy memilih membukan. Meski begitu, saya yakin betul, sesungguhnya ada bagian-bagian tertentu yang tak dibuka oleh Dandhy.
Menurut saya, Dandhy hendak menyatakan satu hal kenapa dirinya membuka sejumlah cerita di balik layar ihwal liputan investigasi yang dilakukan itu. Dia tampak sekali ingin mengabarkan kepada komunitas jurnalis dan khalayak bahwa investigasi bisa dilakukan di media audio-visual (TV) jika stakeholder di news room mau melakukannya. Memang ada yang harus dibayar tatkala investigasi harus digelar, yakni biaya peliputannya yang acap kali membengkak dibandingkan liputan reguler. Di televisi biasanya satu tim terdiri atas satu reporter dan satu kamerawan. Kendatipun hanya konferensi pers, reporter dan kamerawan itulah yang dikirim.
Meski begitu, di situlah ''penyakit''-nya. Investigasi kerap menjadi barang mewah karena diidentikkan sebagai produk yang mahal. Itu berlaku pada hampir seluruh media: cetak, radio, dan televisi. Dandhy menggugah kesadaran itu, bahwa jurnalisme investigasi wajib dihidupkan di media massa untuk dua hal. Pertama, di negeri ini banyak sekali kasus yang membutuhkan investigasi untuk membuat kasus tersebut terang benderang. Semakin tinggi kepentingan publik atas sebuah kasus, investigasi adalah niscaya.
Kedua, investigasi sesungguhnya merupakan aset bagi media massa. Kian getol sebuah media mengadakan liputan investigasi dan menguak banyak tabir dalam selaksa kasus, pembaca makin terpikat untuk menikmati hasil liputan dari media bersangkutan. Dengan cara itu, kredibilitas media tersebut bakal terdongkrak di depan publik. Lebih dari itu, media bersangkutan bisa pula meraup untung secara ekonomis.
Salah satu yang orisinal dari buku ini adalah kisah Dandhy mengejar Budi Santoso hingga Pakistan. Seorang agen madya BIN yang diduga terkait dengan pembunuhan aktivis HAM Munir. Penulis menceritakannya amat detail, mulai bagaimana dirinya mendapatkan secarik foto Budi Santoso hingga mengendus sosok sang target kala bertugas sebagai sekretaris I Bidang Politik di Kedutaan Besar RI di Islamabad, Pakistan.
Dalam prosedur jurnalistik, mendapatkan wawancara dengan Budi Santoso secara door stop atau sitting down adalah niscaya. Namun, pada kasus ini, RCTI membuat terobosan dengan tetap menayangkan hasil liputan Dandhy meski tanpa konfirmasi dari Budi Santoso. Seluruh ikhtiar Dandhy -yang ditunjukkan dengan gambar- ditayangkan untuk mengganti sound bite sang narasumber yang sengaja menghindar dari jurnalis yang mengejarnya. RCTI berpendapat, kepentingan publik harus lebih diprioritaskan dalam kasus pembunuhan Munir daripada konfirmasi narasumber yang terkait dengan kasus yang tengah diselidiki.
Dandhy memaparkan preseden. Dalam kasus pembobolan BNI Cabang Kebayoran Baru Jakarta senilai Rp 1,7 triliun pada 2005, Maria Pauline Lumowa hanya memberikan wawancara kepada media-media tertentu yang justru tidak menekuni kasus itu secara investigatif. Wawancara justru diberikan Maria yang berstatus buron di lokasi-lokasi tertentu di Singapura.
Sungguhpun demikian, terobosan ala RCTI dan Dandhy bukan titik simpul untuk seluruh kasus liputan investigasi. Itu masih sesuatu yang debatable. Pasalnya, media seperti Tempo mewajibkan adanya konfirmasi dari narasumber target (terkait dengan kasus yang tengah diinvestigasi) sebelum laporannya diturunkan. Jadi, ini merupakan topik yang terbuka untuk didiskusikan dan diisi dengan sejumlah pengalaman dari berbagai jurnalis dan media massa. (*)
Moh. Samsul Arifin, anggota KITAB, Masyarakat Buku Indonesia
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 26 September 2010
No comments:
Post a Comment