Judul Buku : My God My Love
Penulis : Ilung S. Enha
Penerbit : Hikmah, Jakarta
Cetakan : Pertama, Maret 2009
Tebal : 214 halaman
SEBAB untuk membaca peta langit, seseorang harus terlebih dulu menyeka airmata bumi.
Begitulah, seperca sajak Keranda Cahaya yang diteluhkan Ilung S. Enha di ufuk senjakala untuk mengawal karib spiritualnya, Zainal Arifin Thoha, menanggalkan kesementaraan bumi menuju langit keabadian pada 14 Maret 2007 silam.
Selajur Keranda Cahaya itu merupakan jelma pemberontakan Ilung terhadap arus utama spiritualitas. Selama ini ruang-ruang spiritualitas disesaki dengan doktrin purba sufistik yang cenderung elitis-egosentris. Disebut demikian karena spiritualitas diasumsikan berada di menara gading di mana proses lelaku di dalamnya berkelok-liku penuh rambu-rambu.
Proses lelaku spiritualitas itu tak jarang dilakoni dengan menihilkan interaksi humanis dalam konteks sosial-kemasyarakatan. Maka, di sinilah ditemu jawaban kenapa para pelaku spiritualitas (salik) acapkali acuh dengan dinamika lingkungan sekitar (baca: jazab) disebabkan oleh ekstase dalam kerinduan personal dengan Tuhan.
Padahal, senyatanya tidaklah begitu. Posisi manusia sebagai hamba Tuhan (abdullah) dan representasi fungsi ketuhanan di muka bumi (khalifatullah) mesti berjalan seirama. Segendang sepenarian. Masing-masing tak boleh saling menegasikan. Interaksi vertikal dan horizontal lantas menjumbuhkan misi agung yang berdenyar saban waktu di atas altar kemanusiaan. Inilah substansi spiritualitas yang membumi: spiritualitas keseharian.
Dan, Ilung melalui buku bertudung My God My Love ini telah mengekalkan proposisi itu. Ia memantik suluh penerang untuk menyibak spiritualitas yang remang-remang. Tentu, ia tak hanya melempar wacana. Gagasan spiritualitas keseharian yang diusung buku ini ia rajut dari serpih-serpih kontemplasi dan pengalaman rohani serta dibalurkan dengan kelenturan pergaulan sosial.
Pergaulan yang luas menjadikannya sosok solider, bisa diterima di seluruh lapisan sosial masyarakat, mulai kaum pinggir terminalan hingga elite perkotaan. Dalam pergaulan itulah ia mengejawantahkan secara reflektif olah batin dan daya karsa spiritualitas yang disadap dari nira ayat-ayat ketuhanan. Sosoknya yang nyentrik melampaui sekat-sekat spiritualitas yang selama ini riuh dengan beragam atribut religiusitas simbolistis.
Secara tersirat, hal itu mendedahkan makna bahwa menyusuri lorong-lorong spiritualitas tak harus dipadu dengan simbol-simbol verbalistik semisal tazakur masal dengan berkopyah dan berkalung sorban. Muara spiritualitas adalah kejernihan hati, sehingga dengan demikian sinyal-sinyal kearifan yang terpancar dari wahyu yang kudus dapat disebarluaskan secara merata dalam jejaring kemanusiaan horizontal.
Dengan trengginas Ilung membuka cara pandang baru bagi para penempuh spiritualitas pemula untuk menihilkan kisah-kisah besar tokoh spiritualitas. Sebab, kisah-kisah itu tanpa disadari akan menjadi standar perbandingan dan ukuran keberhasilan menempuh spiritualitas. Kisah-kisah itu meruang-waktu, sehingga dibutuhkan kearifan untuk menimbang ulang. Dengan cara ini, penempuh spiritualitas pemula bisa memulai lelaku dengan lebih lempang (hlm. 10).
Untuk memasuki lorong spiritualitas, mainstream yang berkembang mengharuskan proses tahapan hirarkis: syariat-tarekat-hakikat-makrifat. Diyakini sebagian tokoh spiritualitas bahwa tahapan tersebut adalah jenjang bertingkat yang berakibat bisa menafikan segala taklif religiusitas di bawahnya.
Bagi Ilung, konsepsi demikian patut dirombak. Tahapan tersebut tidak bersifat hirarkis, melainkan sebuah proses satu lingkar perjalanan memutar, sehingga tahapan satu tidak melingkupi yang lain akan tetapi saling melengkapi. Dengan begitu, interaksi vertikal (habl minallah) dan horizontal (habl minannas) bisa tergali lebih optimal (hlm. 31-52).
Interaksi vertikal-horizontal ini pula yang harus dikemas sesuai dengan konteks kekinian. Seturut Ilung, dogma zuhud yang mengental dalam ranah doktrinal spiritualitas telah melahirkan konsepsi bahwa penempuh spiritualitas mesti beruzlah, menyepi dari karut-marut duniawi. Tentu, di era modernitas paradigma uzlah sepatutnya digeser dari uzlah fisik ke arah uzlah hati.
Kehadiran buku ini melengkapi sketsa pemikiran Ilung yang terhampar dalam buku sebelumnya, Diary untuk Tuhan. Dalam buku itu, ia memaparkan pergulatan panjang keresahan sekaligus kerinduan dan kecintaan kepada Tuhan. Dengan rasa bahasa yang masih kental dengan nuansa sastra, di buku ini ia mengurai kembali rindu dan cinta itu dalam bingkai spiritualitas kontekstual.
Berbeda dengan buku-buku spiritualitas lain yang kebanyakan bertutur tentang spiritualitas secara teoritis, buku ini beranjak lebih jauh. Wacana spiritualitas tidak sekadar dihamparkan, akan tetapi dikaji dengan kritis untuk direkonstruksi, sehingga kesan menempuh spiritualitas yang rumit dan berbelit-belit segera runtuh. Inilah kontribusi Ilung yang laik diapresiasi. Karena itu, sangat masuk akal jika tak lama lagi narasi adiluhung buku ini segera tayang di layar kaca.
Lebih dari itu, buku ini pun layak dikategorikan sebagai buku panduan reflektif bagi para penempuh spiritualitas pemula. Di tangan Ilung, spiritualitas yang dianggap sebagian orang sebagai sesuatu yang berat menjadi ringan dan begitu santai.
Ibarat cangkrukan di warung kopi, Ilung membabarkan rute spiritualitas yang guyup. Para penempuh spiritualitas pemula bisa berangkat dari titik eksistensi masing-masing tanpa perlu sama sekali membawa atribut yang melekat pada dirinya. Di sanalah mereka berjumpa, saling menimba pengetahuan dan pengalaman spiritual. Sungguh, wisata rohani yang menenteramkan hati: berspiritualitas ala warung kopi. (*)
Saiful Amin Ghofur, Kolator www.cintaibuku.co.cc
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 21 Juni 2009
No comments:
Post a Comment