Jakarta, Kompas - Di lingkup struktural pemerintahan, strategi pengelolaan kebudayaan belum menemukan format yang jelas.
Demikian terungkap antara lain dalam seminar Strategi Kebudayaan dan Pengelolaannya yang diselenggarakan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Senin (1/6). Dalam acara itu, hadir sejumlah pakar di bidang budaya, filsafat, sejarah, kesenian, arkeologi, dan antropologi.
Salah seorang pembicara, pemerhati budaya, Nunus Supardi, mengatakan, pada masa pemerintahan kolonial VOC-Hindia Belanda terdapat Bataviaach Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang bertujuan memajukan pengetahuan kebudayaan Nusantara. Adapun pada era Jepang berdiri Pusat Kebudayaan (Keimin Boenka Sidosho) yang menitikberatkan pada seni untuk mengobarkan semangat rakyat untuk kepentingan Jepang.
”Namun, perjalanan kelembagaan kebudayaan sejak 1945 hingga sekarang mencerminkan strategi pengelolaan kebudayaan belum mendapatkan perhatian. Bidang kebudayaan seperti kutu loncat yang dapat dipasangkan dengan bidang apa saja. Di daerah malah ada bidang kebudayaan yang dipasangkan dengan bidang pos, telekomunikasi, dan perhubungan,” ujar Nunus. Adapun di pemerintah pusat terjadi lima kali perubahan kelembagaan bidang kebudayaan hingga tahun 2004.
Budayawan Mudji Sutrisno mengatakan, dalam tataran praksis yang dibutuhkan ialah ketersediaan ruang budaya bagi masyarakat untuk berkembang secara dinamis. ”Dalam Kongres Kebudayaan kelima sebetulnya sudah ada kemajuan dengan adanya keinginan untuk menyuntikkan dimensi kebudayaan ke semua departemen. Ketika berbicara kementerian kebudayaan dikhawatirkan, keluhan yang muncul ialah tiadanya anggaran dan dana. Persoalan budaya lalu direduksi ke persoalan dana,” ujarnya. (INE)
Sumber: Kompas, Selasa, 2 Juni 2009
No comments:
Post a Comment