-- Sunaryono Basuki Ks*
SAAT saya menulis resensi kumpulan puisi Kolam karya Sapardi Djoko Damono, komputer saya mengoreksi kata soneta yang saya ketik menjadi sonata. Di komputer saya dipasang perangkat ejaan bahasa Inggris. Kata sonata ada di dalam bahasa tersebut, tetapi kata soneta tak ada. Sapardi sendiri memilih kata sonet untuk memberi judul sebagian puisi di dalam kumpulan tersebut: ”Sonet 1”, ”Sonet 2”, misalnya. Cara ini juga dipakai William Shakespeare dalam memberi judul sonet-sonetnya: Sonnet I, Sonnet II, dan seterusnya.
Lantaran Kamus Istilah Sastra susunan Abdul Rozak Zaidan dkk terbitan Depdikbud (1991) menyebut bentuk puisi itu dengan soneta, maka saya pun menyebutnya soneta. Apalagi, Kamus Besar Bahasa Indonesia juga menyebut bentuk puisi yang terdiri dari 14 larik itu dengan soneta.
Dalam hal menulis kata sonet, saya setuju dengan Sapardi, yang tetap mempertahankan bunyi asli kata itu dari bahasa Inggris: sonnet. Rendra yang menulis Balada Orang-orang Tercinta mungkin punya alasan puitis (asonansi –da dan –ta) dan ini mungkin masuk ke wilayah kebebasan pengarang. KBBI juga menyebut kata balada untuk ballad, talenta untuk talent. Tentu hal itu sah-sah saja, apalagi kalau bahasa kita ajek mengikuti aturan seperti itu. Namun, masalahnya menjadi membingungkan ketika kita menemukan kata-kata pinjaman lain yang bentuknya serupa, tetapi mendapat perlakuan yang berbeda.
Coba kita periksa kata inden, paten, laten, konkret, kombat, kabaret, sekadar mengambil contoh. Kata-kata tersebut tidak serta-merta menjadi patenta, latenta, konkreta, kombata, kabareta, bila kita mengikuti kecenderungan balada, soneta, dan talenta. Inden dijelaskan sebagai ’pembelian barang dengan cara memesan dan membayar lebih dahulu’. Model mobil tebaru harus dipesan dengan cara inden kalau kita ingin memperolehnya. Itu pun harus menunggu beberapa bulan bahkan tahun. Paten dijelaskan sebagai ’hak yang diberikan pemerintah kepada seseorang atas suatu penemuan dan digunakan sendiri’.
Kata laten yang pernah populer di masa Orde Baru ternyata masuk ke dalam KBBI dengan contoh yang khas Orde Baru. Kata tersebut dijelaskan sebagai ’tersembunyi, terpendam, tidak kelihatan’. Sebagai contoh ditulis: ”Kita harus waspada terhadap bahaya laten komunis.” Yang aneh justru kata kombat dan kabaret yang masuk ke dalam KBBI, padahal kita punya padanannya yang pasti tak membingungkan pembaca.
Mengapa terjadi pengecualian? Apakah kata balada, soneta, dan talenta terdengar lebih ”manis” dari kata-kata yang meniru kata aslinya yang berakhir dengan bunyi konsonan, sedangkan padanannya berakhir dengan bunyi vokal?
Sudah sifat bunyi konsonan yang muncul pada akhir kata bersifat ”kasar, kaku, keras”. Namun, apa boleh buat, memang demikianlah sifat bunyi itu dan kita juga ingat bahwa semua bunyi vokal tak berarti apa-apa tanpa kehadiran bunyi konsonan. Bunyi konsonan masih dapat ”bertahan” tanpa kehadiran bunyi vokal. Lihat saja pada sistem tulisan bahasa Arab yang pada pokoknya hanya menulis konsonannya saja, dan untuk menyatakan bunyi vokal tertentu tinggal menambahkan tanda tertentu, di bawah atau di atas konsonan yang ditulis.
Meski demikian, di dalam sistem penulisan bahasa kita terdapat kesejajaran derajat vokal dan konsonan sehingga keduanya harus dituliskan sama tinggi, bagaikan apa yang berlaku di dalam demokrasi kita yang dikiaskan di dalam peribahasa kita : ”Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.”
* Sunaryono Basuki Ks, Sastrawan, Tinggal di Singaraja
Sumber: Kompas, Jumat, 26 Juni 2009
No comments:
Post a Comment