-- Ridwan Kamil
DI suatu pagi yang cerah di kota Damaskus, Suriah, ketika sedang berjalan menuju Pasar Madhat Basha, penulis dikejutkan oleh papan reklame raksasa yang mengiklankan Indomie. Ternyata rasa Indomie ini berhasil memikat dan memenetrasi selera global. Sebuah fakta yang cukup positif di tengah-tengah pencitraan tentang Indonesia yang umumnya negatif.
Berita-berita di luar negeri tentang Indonesia biasanya jika tidak tentang runtutan musibah bencana alam pasti tentang ekstremisme Muslim, kerusuhan sosial, tragedi TKW, atau jawara peringkat hal negatif, seperti indeks korupsi atau kualitas hidup. Teori jurnalistik tentang bad news is good news ini sungguh menghasilkan sebuah pencitraan kolektif yang merisaukan.
Karena itu, hadirnya poster Indomie di kota-kota dunia, terutama di Timur Tengah, tertulisnya menu ”Indonesian nasi goreng” di banyak restoran hotel berbintang di mancanegara atau perbincangan tentang surgawinya Pulau Bali cukup melegakan hati.
Banyak sekali sebenarnya hal baik atau prestasi-prestasi mendunia karya anak bangsa yang membanggakan, seperti halnya keberhasilan juara-juara olimpiade fisika atau penghargaan UNESCO untuk inovasi batik Fraktal asal Bandung. Namun, entah mengapa gaungnya tidak banyak terekam dengan optimal. Gaungnya belum mampu melawan balik pencitraan negatif yang lebih sering muncul.
Permasalahan di atas persis seperti yang diteorikan tokoh marketing dunia, Peter Drucker, bahwa dalam filosofi bisnis hanya terkandung dua nilai utama: inovasi dan pemasaran. Kita kalah bersaing karena sering kali produk kita kurang inovatif untuk kompetisi global atau kalaupun produk-produknya inovatif, sering kali dikalahkan oleh kurang canggihnya strategi pemasaran yang jitu dan tepat sasaran. Indonesia sering kali kalah langkah dengan cara kreatif negara-negara tetangga kita Malaysia, Thailand, ataupun Singapura dalam hal memasarkan citra positif negaranya melalui iklan-iklan pariwisata yang hadir membombardir beragam media di mancanegara.
Kreativitas
Kata kunci isu di atas adalah kreativitas. Kreativitas yang mampu menghasilkan hal-hal baru yang didapat dari hasil berpikir di luar kelaziman. Derajat tertinggi kreativitas adalah aspek inovatif karena tidak semua output kreativitas selalu bersifat inovatif. Inovasi mengedepankan orisinalitas yang tidak pernah ada sebelumnya. Kita tahu faktor orisinalitaslah yang membuat produk kursi Accupunto karya Leo Theosabarata ataupun Magno radio kayu karya Singgih Kartono mendapatkan penghargaan kelas dunia. Di situs Google banyak sekali publikasi untuk kedua karya anak bangsa ini.
Faktor kreativitas kelas dunia adalah resep utama yang membuat kekayaan budaya dan alam kita bisa dikenal di mancanegara. Kreativitas dalam mengemas pertunjukan teater I La Galigo, misalnya, ternyata bisa menghadirkan legenda kitab Sureq Galigo ini secara mengagumkan di seluruh dunia, termasuk di pentas Broadway, New York. Sentuhan kreativitas kelas dunia karya sutradara Robert Wilson ini mampu menyihir para penontonnya untuk larut terkesima dalam cerita epik suku Bugis abad ke-14 ini. Mampukah kita mengemas puluhan legenda budaya kita untuk dihadirkan ke pentas dunia sefenomenal sentuhan Wilson?
Kreativitas dalam mengemas dan memasarkan pulalah yang berhasil mengangkat produk alam Indonesia, yaitu kopi Toraja, menjadi salah satu kopi termahal oleh jaringan Starbucks. Edisi terbatas kopi-kopi termahal ini diberi label Black Apron yang oleh Dub Hay, kurator utama Starbucks, pilihan kopi Toraja ini diberi nama komersial ”Kopi Kampung”. Satu kilonya bisa dijual sekitar Rp 500.000. Luar biasa. Mampukah kita mengemas dan memasarkan puluhan, bahkan ratusan, kekayaan alam agraris kita untuk menjadi produk unggulan berkelas dunia? Jawabannya harusnya bisa.
Salah satu produk kreatif yang paling fenomenal adalah industri clothing berbasis gaya hidup anak muda yang dipelopori di Bandung. Penetrasi pasar dengan konsep Distro (distribution outlet) independen ini sudah mewa- bah ke seratusan lebih kota-kota lain di Indonesia. Jika tahun 1998 hanya kurang dari selusinan merek, sekarang melonjak melebihi 1.000 merek di seluruh Indonesia dengan omzet ratusan miliar per tahun. Kunci keberhasilannya adalah kekuatan kreativitas desain yang selalu membedakan karakter satu merek dengan merek lainnya dengan edisi terbatas. Dengan dukungan kekuatan industri rumahan sebagai pilar produksinya, beragam distro Bandung mulai dilirik untuk dijual di kota-kota besar di Asia, seperti Singapura, Kuala Lumpur, Cebu, dan Saigon. Berkat industri ini, di Bandung mudah sekali menemukan miliarder dengan usia di bawah 30 tahun.
Masa depan dunia
Contoh-contoh di atas secara inspiratif bercerita bahwa sebenarnya kita memiliki potensi sumber daya manusia, alam, dan budaya yang luar biasa kaya. Kekayaan yang bisa menjadi produk berkelas dunia asal dua syarat ala Peter Drucker, yaitu inovasi dan kreativitas pemasaran kelas dunia, bisa kita hasilkan. Masa depan dunia akan dikuasai oleh talenta-talenta berbasis kreativitas ini dan berada di pundak orang-orang kreatif yang mampu menyulap pengetahuan dan kreativitas menjadi inovasi yang melahirkan mesin ekonomi yang luar biasa seperti sempat diwacanakan oleh ekonom John How- kins, The Creative Economy: How People Make Money from Ideas (2001) dan Richard Florida, The Rise of Creative Class (2002).
Penulis pun makin percaya bahwa masa depan Indonesia akan banyak diselamatkan oleh ekonomi yang memberikan nilai tambah paling besar, yaitu ekonomi berbasis ide atau lazim disebut ekonomi kreatif tadi. Menariknya, produk ekonomi gelombang ke-4 ini bisa berbentuk produk kreatif seperti clothing distro ala Bandung atau radio kayu Magno yang dijual sampai harga tiga jutaan di luar negeri, bisa juga berupa produk nonkreatif seperti kopi Toraja, tetapi diberi sentuhan pengemasan dan pemasaran yang kreatif sehingga bisa bernilai tambah puluhan kali lipat dan menjadi salah satu yang termahal di dunia.
Daniel Pink dalam bukunya, A Whole New Mind: Why Right-brainers Will Rule the Future, memprediksi masa depan dunia akan dikuasai oleh manusia-manusia dengan kekuatan ide-ide kreatif dan inovatif yang berbasis kekuatan otak kanan. Karena itu, menjadi tugas besar kita untuk terus menghasilkan generasi baru yang kreatif, produk-produk inovatif, dan prestasi-prestasi kelas dunia lainnya yang secara kolektif bisa mengangkat pencitraan Indonesia sebagai negara yang kompetitif dan mampu bersaing global.
Melihat produk-produk unggulan Indonesia di papan-papan reklame di mancanegara ala reklame Indomie di Damaskus seharusnya bukan hanya impian.
* Ridwan Kamil, Arsitek/Dosen ITB; Ketua Bandung Creative City Forum
Sumber: Kompas, Selasa, 23 Juni 2009
1 comment:
Badai ini pasti akan berlalu jika orang Indonesia merasa senasib dan kreatif.
Post a Comment