-- M. Benyamin E. Djauhar*
KEBUDAYAAN kerap dilihat sebagai akumulasi ide, wacana yang bermuara pada perilaku dan tradisi. Model pemikiran semacam inilah yang kemudian dikembangkan berbagai pemikir Amerika Latin, seperti John Galtung, Dos Santos, Andre Gundrarfrank, dan konco-konconya. Maka, petaka itu segera tiba bila kebudayaan dilihat secara klise sedemikian rupa.
Meski kita tidak memahami benar mengapa kemudian pakar kebudayaan di belahan asia lainnya, juga ikut linear dan klise dalam melihat perspektif kebudayaan. Dalam kaitan ini, penulis ingin melihat kebudayaan lebih merekat pada konvergensi yang bermuara pada ruas-ruas tradisi. Van Heusen, misalnya, dalam bukunya Strategi Kebudayaan telah mengeksplanasi suatu kegiatan kebudayaan yang berserabut dari tradisi kemanusiaan.
Van Heusen, dalam bukunya yang terkenal itu, memetakan kebudayaan di lingkar yang tak berkesudahan (baca: vicious circle) ia lebih melihat pemetaan kebudayaan dalam "lingkaran setan" yang tidak berkesudahan.
Apresiasi Van Heusen tersebut, sesungguhnya telah dipetakan dan dicari jawabnya oleh tokoh kebudayaan yang "kecipratan politik" semacam S.T. Takdir Alisyahbana, Syahrir, A.A. Maramis, dan beberapa tokoh yang tergabung dalam Manikebu dan Lekra.
Inilah yang kemudian cenderung menafikan eksistensi kebudayaan dalam konteks fakta, dalam arti konstektual. Kebudayaan pada era itu lebih dilihat sebagai perdebatan yang tak berkesudahan.
Padahal, universalisme kebudayaan, sejatinya dilihat sebagai suatu perilaku konkret dari hasil konkret ide dan wacana yang terasa oleh rakyat. Di sini penulis ingin melihat, bahwa universalisme kebudayaan lebih menyimpan banyak arti dan makna dalam realitas sosial masyarakat.
Katakanlah, suatu kebudayaan gotong-royong. Secara universal bisa dilihat sebagai unsur dasar develement of inviroment (pembangunan lingkungan). Ini artinya, kebudayaan cenderung dipersempit ukurannya, sehingga perilaku elite bisa lebih terfokus pada pendekatan kebudayaan itu sendiri.
Sosok, Nyi Eroh yang membelah gunung yang mampu memberikan irigasi adalah kebudayaan yang tidak berkukuh pada budi pekerti an-sich. Juga kita bisa melihat puisi-puisi Abdul Hadi W.M. yang memberikan panji kehidupan untuk masyarakat, kesusestraan lugas seorang Rendra atau yang lainnya, sehingga kebudayaan universal yang konstektual masih amat dirindukan.
Dalam skematis itulah, hubungan antara ide dan wacana tak lebih dan tak kurang hanya meletakkan polarisasi antara keinginan yang satu dengan keinginan yang lain. Dan, akhirnya akan bermuara pada trandisi (baca: kesenian dan berbagai pernik-perniknya). Hemat penulis, kebudayaan universal lebih terpetakan secara rasional. Ia tampil dalam bentuknya yang utuh dalam kerangka menyikapi globalisasi, neolid, dan apalah lagi namanya.
Dalam koridor ini, kebudayaan universal mampu memberikan napas dan oksigen yang segar, jika ia dikaitkan dengan fakta-fakta yang dipahami oleh para elite kita. Tentu, fakta-fakta tersebut berkait erat dengan semangat baru dari dinamika globalisasi, seperti bagaimana kita menyikapi lingkungan hidup, bagaimana kita menyikapi teknologi komunikasi, transportasi, dan berbagai aspek birokrasi yang intinya mengandung benefit untuk rakyat.
Celakanya, kalau kita bicara kebudayaan, trennya bergumul pada hal-hal klise yang tak ayal naif dan bersandar pada kesenian di suatu daerah. Dimensi kebudayaan universal, adalah dimensi pola hidup elite politik yang bersenyawaan dengan realitas rakyat kebanyakan, ini tidak bisa kita lakukan. Sebab pakem-pakem kebudayaan selalu saja dimikrokan, sebagaimana yang saya ungkap di muka. Sesungguhnya, banyak pemikir kebudayaan lebih bersandar pada "respons kebiasaan" ketimbang "respons keinginan". Ini yang langka di negara Asia, Afrika dan Amerika Latin, khususnya Indonesia.
Kebudayaan universal, beresensi pada mensenyawakan "pikiran cerdas" elite dengan "pikiran nrimo rakyat". Tugas-tugas dasar kebudayaan universal, bukan hanya membangun strategi kebudayaan, sebagaimana ditekankan Van Heusen, melainkan lebih pada upaya menularkan pemahaman terhadap fakta-fakta kemasyarakatan.
Kalau asumsi di atas benar, kebudayaan universal, setidaknya bukan hanya bersenyawa dengan stratifikasi sosial dan sifat-sifat dasar perilaku kesenian, tetapi kita lebih berharap pada memaknai cipta, rasa, dan karsa. Ketiga idiom ini, dalam kebudayaan universal dimikrokan dalam kecerdasan elite untuk melihat bahwa identifikasi kebudayaan identik dengan kemakmuran rakyat.
Bagaimana itu terjadi, karena semangat kebudayaan universal, sejatinya mentasbihkan pakem-pakem kebudayaan dalam fakta lingkungan hidup. Misalnya, tak ada limbah bila ia dipetakan dalam ruas fakta universal. Dengan kata lain, pakem-pakem kebudayaan membangun jaringan dan proses sosial pada pembuat kebudayaan dan peproses kebudayaan (baca: elite dan rakyat).
Dengan demikian, kebudayaan universal, lebih didorong untuk melihat elemen baru dalam upaya membudayakan keseriusan membangun negeri. Dan, bukan melihatnya sebagai keinginan proses mendorong rakyat merubah mental, melainkan memundurkan keinginan elite untuk berbuat. Titik berat kebudayaan universal adalah kesenyawaan energi universal antara elite dan rakyat untuk meluruskan pemaknaan terhadap membangun raga dan membangun jiwa tanpa reserve KKN.
Apabila dorongan itu menguat, niscaya embrio kebudayaan universal yang identik dengan meluruskan keinginan rakyat, bolehlah dipandang sebagai persenyawaan antara keinginan dan keluhuran budi dari ide dan wacana yang diturunkan sampai pada kenyataan-kenyataan hidup masyarakat.
Banyak tradisi dari dan kebiasaan masyarakat kita (dari Sabang sampai Merauke), membutuhkan kebudayaan universal.
Kita, misalnya, mengenal berbagai sinergi antara batik printing dan batik tulis, ketoprak dan ludruk, kemacetan lalu lintas, dan mentalitas berkendaraan tidak baik, membuang sampah sembarangan sampai pada merokok di bawah tulisan di sini dilarang merokok. Ini jelas menunjukkan, formulasi kebudayaan yang utopis selama ini, kalau ingin dikatakan demikian, sebagaimana yang kita terjemahkan ke dalam kesusasteraan dan turunannya (antropologi, psikologi, psioterapi, dan berbagai laboratorium "dakwah" lainnya).
Singkat kata, kebudayaan universal adalah kebudayaan yang mencari jawab atas problematika masyarakat, bukan apologi terhadap kesenian an-sich, tidak pula apriori terhadap politisasi massa. Tetapi, lebih pada rasionalitas melihat dan menjangkau ke depan demi perkembangan masyarakat majemuk Indonesia.
Memang, kita tidak menafikan karya-karya besar kesusasteraan yang memengaruhi masyarakat Eropa yang notabene reading mainded. Tetapi untuk Indonesia, kebudayaan universal dituntut untuk mengempaskan diri ke keranjang sampah masyarakatnya yang papa.
Masyarakat miskin kota, tentu membutuhkan ketekunan membuat MCK dan mempelajari administrasi puskesmas yang berbelit-belit. masyarakat miskin kota masih menginginkan menguatnya kepedulian dari elite politik untuk mengapresiasi mereka agar bersemangat untuk membangun kekuatan dirinya masing. Dus bukan memberi pilar rapuh atas nama BLT.
Sementara itu, ideologi universal dalam pemikiran futurulog dan teologi modern, sejatinya mempertautkan antara relung nurani para elite arogan dengan proses kerja di sektor riil. Para teologi modern, misalnya, semestinya tidak hanya menjadikan agama sebagai variabel control, dus agama merupakan prilaku hidup, yang pada gilirannya memberi angin segar agar terbuka katub kepedulian, niatan baik, hasrat luhur, dan kehidupan berkecukupan.
Konretnya, kebudayaan universal, paling kurang berstandar pada enam rujukan baku. Pertama, kebudayaan selain konstektual, juga inheren dengan postulat kenegaraan. Kedua, dalam meletakkan strateginya, setiap pelaku kebudayaan tidak menjungkirbalikan fakta hanya sekadar ingin menikmati estetika. Ketiga, paradigma kebudayaan lebih bertautan dengan pemciptaan yang mampu "berkelahi" dengan kebudayaan lain dalam proses alkuturasi budaya.
Keempat, apabila dipandang kebudayaan sebagai suatu sentesa, kebudayaan universal berada pada titik dimensi dealektika, thesa, sinthesa dan antithesa. Kelima, ruang lingkup universalisme kebudayaan sepatutnya terhubung dengan aspirasi kelembagaan. Artinya, kebudayaan bukan bukan instrumen dalam kerangka serimoni yang acap dilakukan para pemimpin negeri ini. Keenam, kebudayaan universal adalah mimpi kita semua untuk melakukan apa saja yang siklusnya pada kebersamaan kehendak, yakni membangun watak bangsa sesuai keinginan rakyat, dan membangun watak rakyat sesuai keinginan elite.
M. Benyamin E. Djauhar, Koordinator Divisi Lingkungan Hidup LSM Ababil Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 Juni 2009
No comments:
Post a Comment