-- Taufik Wijaya
SAYA sepakat dengan pendapat budayawan Sapardi Djoko Damono yang mengatakan persoalan bangsa ini bukan semata politik dan ekonomi. Persoalan bangsa ini merupakan persoalan kebudayaan, yang artinya mencakup seluruh elemen kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Demikian disampaikan Sapardi Djoko Damono saat dialog capres di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Pasar Baru, Jakarta, Minggu (24-5).
Namun saya ingin bertanya, apakah betul negara Indonesia ini dibentuk sebuah konsensus kebudayaan di Nusantara? Semua orang mungkin menjawabnya ya, dengan asumsi Sumpah Pemuda 1928 merupakan sebuah konsensus kebudayaan Nusantara, bukan konsensus politik dari segelintir intelektual muda yang terdidik dalam pola pikir asing, baik Eropa maupun Timur Tengah.
Namun, kenapa setelah pernyataan kemerdekaan Indonesia didengungkan pada 17 Agustus 1945, bangsa ini menghadapi berbagai persoalan yang tak kunjung selesai? Kebesaran peradaban yang ada di tanah Melayu, seperti di Palembang, Aceh, Maluku, Kalimantan, Sulawesi, serta sebagian pesisir utara hingga barat di Jawa, menjadi hancur. Setidaknya itu terlihat dari kondisi masyarakatnya yang kian hari kian miskin dan terbelakang. Ironinya lagi, kekayaan alam mereka juga turut terkuras.
Jadi, saya mencurigai negara Indonesia ini memang dibangun tanpa didasari sebuah konsensus kebudayaan. Negara ini dibangun keinginan politik kelas menengah di Indonesia di masa kolonial Belanda.
Lebih jauhnya, latar belakang budaya yang memengaruhi para aktor politik itu yang turut membangun karakter bangsa ini. Akibatnya, terjadi dominasi budaya tertentu pada kebudayaan yang beragam di nusantara ini. Kesadaran menguasai atau dominan dan sikap melawan atau tidak mau tunduk menjadi fragmen-fragmen dalam perjalanan Indonesia selama 64 tahun ini.
Jika dibandingkan dengan Soekarno, sosok Soeharto merupakan tokoh yang sangat menonjol memainkan dominasi kebudayaan dalam pemerintahannya. Kebudayaan non-Jawa yang desentralisasi, yang dicontohkan Kerajaan Sriwijaya, secara perlahan dimarginalkan kebudayaan Mataram yang sangat sentralistik. Bayangkan, Palembang yang merupakan salah satu pusat peradaban di Nusantara dari rezim Soekarno, Soeharto, hingga SBY, tidak pernah didorong akan lahirnya sebuah perguruan tinggi ilmu-ilmu humaniora, seperti halnya Yogyakarta, Bandung, Padang, Sumatera Utara, Jawa Timur, Solo, dan Makassar. Ada apa?
Memang, pada akhirnya, pemikiran Nirwan Dewanto dalam Kongres Kebudayaan 1991, yang mendengungkan pluralisme dan multikulturalisme, kemudian mendorong lahirnya kebijakan politik desentralisasi di Indonesia. Namun, semangat desentralisasi itu masih terhalang oleh kesadaran sentralisasi dari aktor-aktor politik dan ekonomi yang dilahirkan dari sistem yang dibangun Soeharto selama 32 tahun itu.
Jadi, sebetulnya persoalan hari ini di Indonesia bukan terkait dengan strategi kebudayaan yang diamanatkan pada pemerintah, melainkan persoalan aktor politik yang menjadi penguasa. Yang tidak mampu membebaskan dirinya dari keinginan untuk mendominasikan kesadaran budaya yang membentuk pribadinya, pada kebhinnekaan budaya di nusantara. Watak feodalistik.
Yang lebih menakutkan, kekuatan modal besar justru mendompleng pada aktor-aktor politik dan ekonomi ini. Akibatnya teksnya Nirwan Dewanto bertarung keras dengan teks-teks pasar yang secara sistematis melakukan dominasi yang sempurna hingga ke dapur dan kamar tidur rakyat Indonesia, meskipun tanpa beragam, keberagaman yang tersentral.
Sebetulnya, lahirnya aktor-aktor muda dalam suksesi politik Indonesia pada 2009 ini merupakan salah satu jawaban atas krisis kebudayaan di Indonesia. Sayang keinginan tersebut tidak terwujud secara penuh. Gedung dewan masih dipenuhi wajah-wajah yang cukup akrab selama 30--40 tahun terakhir ini. Apalagi capres dan wapres yang muncul. Tampaknya harapan kita akhirnya ditunda hingga 2014.
Sebagai sikap kompromi, kita berharap para calon pemimpin negara ini membunuh kesadarannya. Mereka memandang kebudayaan yang membangun dirinya lebih agung atau tinggi dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang dari Sabang sampai Marauke.
Sebetulnya, kalau mereka belajar sejarah dan kebudayaan di Nusantara, mereka malu memiliki kesadaran tersebut. Semoga.
* Taufik Wijaya, Pekerja Seni
Sumber: Lampung Post, Selasa, 9 Juni 2009
No comments:
Post a Comment