Sunday, June 14, 2009

Buku: Karya Abadi Plato: Untuk Abadinya Persahabatan

-- Franz Magnis-Suseno SJ

SALAH satu keanehan filsafat adalah dia tak pernah selesai dengan pertanyaan. Dalam ilmu-ilmu empiris—kimia, ilmu hayat, ilmu fisika—sekali sebuah masalah dipecahkan, masalah itu dapat dilupakan.

Sesudah diketahui bakteri apa yang menyebabkan penyakit tuberkulosis, terkaan para peneliti sebelumnya akan dilupakan dan para dokter mendasarkan diri pada penemuan itu. Para ahli akan maju ke masalah baru.

Namun, pertanyaan filosofis, misalnya tentang apa dan siapa manusia, apa yang membuatnya bahagia, atau apa arti persahabatan, tak pernah selesai. Untuk menjawabnya, filsafat selalu kembali ke akar-akarnya.

Pemikiran dari ribuan tahun lalu tetap, tidak hanya menarik, tetapi dapat membantu mengolah pertanyaan hakiki pada abad ke-21 pun. Karena itu pemikir-pemikir yang sudah ratusan tahun lalu meninggal—yang hidup dalam dunia sedemikian berbeda dari dunia kita sekarang—tetap dipelajari siapa pun yang butuh jawaban mendasar bagi kehidupan ini.

Kebutuhan demikian lebih lagi berlaku pada pemikiran dua raksasa filsafat Yunani kuno, Plato dan Aristoteles. Baik mengenai filsafat manusia, etika, filsafat politik, filsafat ketuhanan, maupun filsafat ilmu atau epistemologi, semua aktivitas berfilsafat kita sekarang selalu masih kembali kepada mereka.

Oleh karena itu, penerbitan buku ini, terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dari karya Plato, merupakan peristiwa menggembirakan. Oleh banyak filosof, Plato dianggap filosof Yunani kuno paling besar dan salah satu dari lima filosof paling penting segala zaman. Kedalaman refleksinya yang jernih, keluasan cakupan masalah kemanusiaan yang diangkat, ketajaman argumentasi, dan, ini pun khas bagi Plato, humornya membuat pembacaan atas tulisannya menjadi pengalaman mengasyikkan.

Dialog sejati

Teks yang diterjemahkan ini, Lysis, diperkirakan ditulis Plato waktu ia masih muda. Lysis adalah dialog, seperti hampir semua tulisan Plato. Sokrates, yang selalu menjadi corong Plato dalam dialog-dialognya, sedang berjalan di taman Akademia—sekolah di mana Plato mengajar. Di situ ia bertemu dengan beberapa pemuda dan mulai berdiskusi dengan mereka. Masalah yang mereka persoalkan adalah persahabatan. Dan berkembanglah pembicaraan.

Persahabatan, dekat sekali dengan cinta, merupakan salah satu dimensi paling penting kemanusiaan. Dalam persahabatan, tak kurang dari ciri sosial hakikat manusia menemukan puncaknya. Persahabatan berarti begitu banyak, kegagalannya begitu memukul, dan kasihan orang yang tidak punya sahabat!

Segi lain pentingnya buku Lysis ini adalah sebagai ”demonstrasi” sebuah dialog hakiki. Lysis adalah dialog sejati, bukan traktat yang demi main-main diberi bentuk dialog. Meskipun Sokrates dengan segala kepintarannya mengemudikan arah dialog itu, dialog itu kelihatan tidak mempunyai arah yang jelas. Tetap bebas. Lain dari, misalnya, uraian Aristoteles tentang persahabatan dalam buku 8 dan 9 Etika Nikomacheia, dialog Lysis tidak maju secara sistematik, tetapi berliku-liku, ada pendapat silang, loncatan dalam argumentasi, dan kesimpulan yang sepertinya tidak dapat disimpulkan. Jadi, bukan hasil kesimpulan dari dialog Lysis itulah yang terpenting, melainkan dialognya sendiri. Kita jadi berpikir terus, seakan-akan terus ingin nyeletuk, ”Kok begitu!”, ”Kok jawabannya seperti itu!”, ”Apa tidak kacau argumentasinya?”

Seperti ditekankan Setyo Wibowo, sang penerjemah, tulisan ini justru bukan tulisan maieutik. Gaya maieutik adalah gaya Sokrates berdialog, yang bagaikan ”bidan” mengantar lawan bicara untuk dengan sendirinya menemukan jawaban atas pertanyaannya. Dialog Lysis seperti debat tendang bola pendapat dan tanpa jawaban terang benderang. Justru itulah Plato. Selesai kita membaca teksnya, kita tetap belum selesai berpikir-pikir bagaimana sebenarnya ”persahabatan” itu.

Buku ini dipersiapkan dengan teliti oleh salah seorang ahli Plato terbagus di Indonesia berdasarkan pada teks asli dalam bahasa Yunani. Terjemahan ini betul-betul dapat dipertanggungjawabkan. Pengantar oleh penerbit dan penerjemah membantu pembaca menemukan bagaimana ia sebaiknya mendekati dialog Plato yang padahal tidak mudah. Yang amat membantu dan berguna adalah 53 halaman catatan akhir Setyo Wibowo yang menjelaskan baik istilah maupun konteks dan logika argumentasi, di mana itu terasa perlu. Dengan demikian, pembaca yang belum akrab dengan Plato dapat memahami sindiran Plato.

Pendek kata, buku ini perlu disambut gembira di kalangan para filosof Indonesia dan oleh semua yang tertarik pada filsafat. Buku ini betul-betul memperkaya pustaka filsafat klasik dalam bahasa Indonesia. Bagi siapa pun yang suka untuk sekali-sekali merefleksikan pengalaman-pengalaman ”biasa” kehidupannya, dalam hal ini mengenai persahabatan, buku ini merupakan bacaan yang pasti menarik. Dan yang terutama: pasti penting bagi kehidupan.

* Franz Magnis-Suseno SJ, Guru Besar STF Driyarkara, Jakarta

Sumber: Kompas, Minggu, 14 Juni 2009

1 comment:

sirpetermarx.blogspot.com said...

Kebudayaan, filsafat dan sebagainya merupakan apresiasi dari setiap pemikiran manusia yang tidak pernah habis dan selalu ada setiap waktu. Hal ini dihadapkan pada dua arah menuju kedepan atau melihat kebelakang. Intinya adalah Kebudayaan merupakan simbol dan wujud apresiasi yang unik dimasa lampau yang dibuat oleh manusia demi mewujudkan sesuatu hal mengenai sesuatu hal. Permasalahannya adalah apakah kebudayaan lama dapat dipertahankan dengan semakin masuknya kebudayaan baru sebagai wujud suatu kelahiran akan manusia dan pemikiran baru.