Saturday, June 13, 2009

Teroka: Mendidik Masyarakat Sadar Plagiarisme

-- Tatum Syarifah Adiningrum

KENCANGNYA arus informasi di media elektronik membawa perubahan wacana plagiarisme. Plagiarisme yang tadinya merupakan wacana pesohor dan akademisi kini sudah menyentuh kalangan awam.

Tak lagi sekadar bidang yang populer dan ilmiah seperti musik, film, karya sastra, karya ilmiah, dan sinetron yang bergelut dengan plagiarisme, tetapi juga blog pribadi. Kini banyak kita jumpai blog yang memasang rambu-rambu ”dilarang mengutip tanpa seizin pemiliknya” sekalipun itu hanya berisi resep masakan.

Namun sebelum masyarakat saling tuding dan tuduh, ada beberapa hal yang kiranya perlu diperjelas. Apakah konsep plagiarisme, misalnya, sudah dipahami secara seragam di masyarakat, ataukah hanya di awang- awang dan dipahami kaum akademisi? Apakah plagiarisme secara seragam sudah diakui sebagai ”dosa”? Yang lebih penting, apakah dunia pendidikan Indonesia sudah memberikan pengertian yang cukup mengenai plagiarisme dan upaya-upaya menghindarinya?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, kita perlu tahu seberapa jauh plagiarisme itu merupakan konsep yang berakar dari kehidupan masyarakat Indonesia. Beberapa akademisi Barat, seperti Pennycook dan C Jan Swearingen, ternyata berpendapat, plagiarisme merupakan suatu konsep yang spesifik berasal dari budaya Barat.

Plagiarisme Indonesia



Yang juga perlu dicermati, di Barat pun usia plagiarisme masih muda, sekitar 300 tahun, dan bukan isu moral ataupun kriminal. Malahan, menurut Chris Park, sebelum abad pencerahan plagiarisme merupakan sesuatu yang biasa dilakukan, karena ”immitation is the highest form of flattery” (Park, 2003).

Karena itu, komponen dari plagiarisme adalah ide, keaslian dan penghargaan. Bila suatu ide adalah orisinal dari seorang individu atau kelompok, berikanlah penghargaan atas buah pikir itu. Penghargaan bisa dalam berbagai bentuk, dari uang sampai, yang terendah, pemberian acknowledgment atau kutipan.

Masyarakat Indonesia juga masih asing dengan konsep plagiarisme. Kenyataan di masyarakat menunjukkan, ilmu tradisional kebanyakan diturunkan secara turun-temurun. Contohnya ilmu perdukunan, resep jamu, motif batik, motif ukir, dan lagu-lagu daerah. Saling tiru dan jiplak, tak ada masalah.

Peran dunia pendidikan

Bagaimana dengan plagiarisme di dunia pendidikan? Untuk masalah itu, saya meneliti dengan metode focus group yang melibatkan 38 mahasiswa pascasarjana yang juga merupakan staf pengajar di perguruan tinggi di berbagai penjuru Indonesia. Umumnya mereka menyatakan, institusi pendidikan di mana mereka bekerja tak memiliki kebijakan yang baku ataupun konsisten dalam soal plagiarisme.

Lalu bagaimana mendeteksi plagiarisme? Hampir semua staf pengajar mengaku cara untuk mengetahui plagiasi mahasiswa sebatas melalui kualitas tulisan versus prestasi akademik sehari-hari.

Di sinilah persoalan utama kita dapatkan. Bila di pendidikan tinggi yang merupakan tempat dihasilkannya ide dan pengembangan ilmu, plagiarisme tak diperkenalkan secara serius, bisakah kita menuntut agar masyarakat umum kenal dan menghindarinya?

Karena itu, sudah saatnya institusi pendidikan tinggi untuk lebih peduli dengan isu plagiarisme ini. Apalagi, kini, dengan tuntutan internasionalisasi dan ranking universitas dunia, dan banyaknya kesempatan untuk para dosen untuk menempuh pendidikan di luar negeri, akan memalukan bila dunia perguruan tinggi tidak fasih bicara plagiarisme standar internasional.

* Tatum S Adiningrum, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Flinders, Australia Selatan

Sumber: Kompas, Sabtu, 13 Juni 2009

No comments: