-- Agus Noor*
TRADISI pemilihan cerpen terbaik Kompas yang sudah berlangsung sejak 1992 telah menghasilkan 15 cerpen terbaik, mulai dari Kado Istimewa (Jujur Prananto) hingga Cinta di Atas Perahu Cadik (Seno Gumira Ajidarma). Hingga tahun 2004, pemilihan cerpen terbaik itu dilakukan oleh ”orang dalam Kompas”, yakni para redaktur yang dianggap punya kompetensi dengan dunia sastra. Mulai 2005, Kompas mencoba mengubah dengan memberikan otoritas pemilihan itu kepada ”orang luar”, yakni mereka yang dianggap memiliki kredibilitas dalam sastra sebagai juri untuk melakukan pemilihan cerpen terbaik itu.
Membaca cerpen-cerpen terbaik itu, kita bisa menemukan ”benang merah” yang seolah menandai orientasi estetis dari cerpen-cerpen pilihan Kompas. Ada kecenderungan pada pilihan realisme sebagai gaya bercerita. Bahkan, cerpen Derabat dan Mata yang Indah (keduanya karya Budi Darma) yang terpilh sebagai cerpen terbaik Kompas 1999 dan 2001, yang memiliki kecenderungan sebagai cerita yang surealis pun dituturkan dengan teknik penceritaan yang realis bila ditilik dari penggunaan dan pengolahan gaya bahasanya. Begitu pula Jejak Tanah (Danarto), cerpen terbaik 2002, memakai pola penceritaan realis meski kisah yang diusungnya adalah kisah yang berbau magis.
Sementara cerpen yang lebih psikologis, semacam Waktu Nayla (Djenar Mahesa Ayu), cerpen terbaik 2003, mencoba memakai teknik stream of consciousness, untuk mencapai alusi sebagaimana banyak dipakai pada cerita surealis, tetapi masih bisa dikenali sebagai cerita yang realis. Upaya untuk keluar dari stereotip penceritaan realis coba dilakukan Radhar Panca Dahana dalam Sepi Pun Menari di Tepi Hari, cerpen terbaik 2004. Teknik realisme itu terasa lebih subtil dalam cerpen terbaik 2006, Ripin (Ugoran Prasad), terlebih pada caranya menyelesaikan cerita yang mendekati surealis. Selebihnya, cerpen-cerpen terbaik itu adalah cerpen realis secara teknis, bentuk, dan pengolahan bahasanya.
Perlu dicatat, realisme dalam cerpen-cerpen terbaik itu bukanlah ”realisme yang tunggal”, melainkan realisme dengan banyak gaya sebagaimana kita banyak menemukan gaya dan bentuk realisme pada cerpen-cerpen Cekov, Kawabata, Maxim Gorky, Guy de Maupassant, O Henry, atau Ignasio Silone. Hal itu setidaknya memperlihatkan: meskipun realisme masih terasa dominan dan kuat dalam cerpen-cerpen kita, pada sisi lain tampak upaya untuk menemukan gaya-gaya penceritaan realisme yang beragam.
Maka, kita akan segera menemukan betapa realisme yang dikembangkan Kuntowijoyo dalam Anjing-anjing Menyerbu Kuburan, cerpen terbaik 1997, misalnya, sangat berbeda dengan gaya realisme linear yang dipakai Jujur Prananto dalam Kado Istimewa. Realisme Kuntowijoyo bukanlah realisme yang semata-mata berupaya mengisahkan ”realitas” secara langsung, tetapi juga memasukkan unsur-unsur kepercayaan magis sebagai bagian dari gaya realisme berceritanya. Dengan begitu, realisme bukanlah semata-mata sebuah upaya untuk melihat realitas secara kritis, tetapi juga sebuah cara untuk menceburkan diri dalam realitas. Dengan begitu, kisah tidak terasa disusun dengan satu kesadaran kerangka ploting tertentu, tetapi membiarkannya mengalir untuk menemukan puncak kejutannnya sendiri. Meski, pada tingkat tertentu, realisme Kuntowijoyo juga masih berpretensi untuk menjelaskan realitas (di luar teks) ke dalam konflik dan alur (realitas di dalam teks). Itulah yang membuat realisme Kuntowijoyo terasa kuat dengan tendensi sosiologis dan antropologis. Begitu pun kita bisa merasakan gaya realisme yang berbeda pada Pelajaran Mengarang (Seno Gumira Ajidarma), cerpen terbaik 1992, dengan realisme yang dikembangkan Kuntowijoyo. Pada Pelajaran Mengarang, Seno menempatkan realisme sebagai konkretisasi realitas (suasana bisa terasa dan teraba dalam cerita) melalui pendeskripsian yang detail dan intens, hingga realitas bisa lebih tampak keras dan kuat dalam teks, seolah yang realisme berubah menjadi semacam hiper realisme. Dengan kata lain, realisme bukanlah semata memerikan apa yang nyata, tetapi untuk lebih mempertegas dan mempertajam apa yang ingin kita kenali sebagai yang nyata itu.
Pada akhirnya, dalam cerpen-cerpen terbaik Kompas itu, kita merasakan betapa realisme adalah sebuah upaya untuk menemukan pencapaian ”estetis penceritaan” dengan mencoba memformulasikan apa yang disebut kenyataan sosiologis ke dalam kenyataan literer. Pada tingkat ini, sebuah cerita yang baik bukanlah semata-mata bertumpu pada isu atau tema yang diangkatnya, tetapi lebih bagaimana cara seorang pengarang menemukan gaya dan bahasa penceritaannya. Maka, meski memakai jalan realisme sebagai gaya berceritanya, tetap saja sebuah cerita bisa menjadi unggul ketika berhasil menghadirkan dalam dirinya sesuatu yang khas. Kekhasan itu tampak dalam narasi penceritaan
Ada satu kekhasan lain yang menjadi kekuatan cerpen-cerpen terbaik Kompas itu, yakni ending ceritanya. Sejak dari Kado Istimewa, kita sudah menemukan bahwa ending menjadi sesuatu yang penting. Kado yang disiapkan Bu Kustiyah untuk perkawinan anak Pak Gi, orang penting yang dikenalnya semasa zaman gerilya, adalah sesuatu yang menautkan hubungan batin Bu Kustiyah dengan pejabat itu. Bagi Bu Kustiyah, kado itu adalah sesuatu yang sangat istimewa, sesuatu yang menyimpan kenangan dan kehangatan persaudaraan. Tetapi, kado berupa tiwul yang disiapkan dengan sepenuh hati oleh Bu Kustiyah itu akhirnya dibuang begitu saja. Kado itu tak sepadan dengan kado lainnya yang berupa cek dan kunci mobil. Ending yang sesungguhnya sudah bisa ditebak sejak pertengahan cerita tetap terasa menampilkan ironi karena kita merasakan bagaimana semua kenangan masa lalu semasa perjuangan tak ada harganya apa pun sekaligus dipersandingkan dengan kontras nilai dan ukuran yang lebih material
Pada Pelajaran Mengarang, ending itu terasa lebih kuat menyentak, juga karena ada kontras yang dilukiskan dengan keras. Kita tahu nasib Sandra memang buruk. Kita sudah tahu, macam apa ibu Sandra. Tetapi, kesimpulan Ibu Guru Tati bahwa semua muridnya mengalami masa kanak-kanak yang baik itulah yang menjadi kontras yang kuat dengan kalimat yang ditulis Sandra dalam karangannnya: Ibuku seorang pelacur…. Dalam Lampor (Joni Ariadinata), cerpen terbaik 1994, kontras itu muncul dalam pelukisan watak Tito yang tampak santun seolah ia adalah harapan di tengah karut-marut lingkungan dan keluarga yang brengsek yang hidup di kekumuhan Kali Code. Seperti ada yang diam-diam disembunyikan dalam kesantunan Tito itu, si anak paling baik, yang siap meledak di akhir kisah. Ketika malam-malam yang sumpek oleh birahi, Tito beringsut menghampiri adiknya Rahanah, kita pun ngeri membayangan apa yang terjadi. Dengan open ending, apa yang terjadi itu dibiarkan terhampar dalam imajinasi pembaca.
Dalam cerita yang sangat topikal dan kuat dengan isu aktual (yang membuat sebuah cerita bisa terjatuh dalam risalah sosial), seperti Dua Tengkorak Kepala (Motinggo Busye), cerpen terbaik 2000, ending jugalah yang ”menyelamatkan” cerpen ini. Setelah semua informasi soal kekejaman selama Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, tentang sosok Ali yang pergi hingga Libya dan menyebut dirinya sebagai ”putra Kadhafi”, juga sejarah kakek tokoh aku yang mati tertembak tentara Jepang, kontras pada ending-lah yang memunculkan ambiguitas. Apakah tokoh aku memang perlu menuntut gelar pahlawan bagi kakeknya, yang ditembak Jepang? Dan bagaimana dengan Ali yang ditembak tentara sendiri? Pertanyaan itu membawa pada permenungan dan di sanalah ambigutas muncul. Pada Dua Tengkorak Kepala inilah, kita sangat disadarkan, bagaimana pentingnya sebuah ending. Bila saja ending cerpen ini ”gagal”, maka cerpen ini akan terikat pada aktualitas yang temporal dan bisa kehilangan daya gugah setelah semua aktualitas itu lewat.
Ambiguitas kepahlawan juga menjadi kekuatan ending pada Anjing-anjing Menyerbu Kuburan. Seorang maling yang mencari kesaktian membongkar kuburan mesti bergelut dengan anjing-anjing yang juga menginginkan bangkai mayat itu. Ketika ia ditemukan terkapar, sebagian penduduk menganggapnya pencuri dan sebagian lagi menganggapnya pahlawan karena telah berhasil mengusir anjing-anjing. Dalam ambiguitas, kita selalu menemukan dua kemungkinan (atau lebih) dalam memandang sebuah persoalan. Dan ending semacam itulah yang banyak dipakai Kuntowijoyo, seperti tampak dalam tiga cerpen lainnnya, Laki-laki yang Kawin dengan Peri (cerpen terbaik 1995), Pistol Perdamaian (1996), Jl Asmaradana (2005) Dengan ending yang ambigu, sebuah cerita sesungguhnya tengah memulai awal penilaian dan penafsiran dalam diri pembaca. Ending semacam itu membuat cerita menjadi sebuah kontradiksi yang tak selesai.
Waktu Nayla Djenar Mahesa Ayu dan Ripin Ugoran Prasad menutup cerita dengan lebih surealis, semacam upaya untuk mengambangkan kisah agar ia tetap di ”dunia antara”, di ambang yang realis dan surealis, suatu upaya menciptakan ambiguitas makna pula.
Apakah dua hal itu mengupayakan penceritaan yang beragam (meski itu masih berada dalam formulasi realisme) dan ending yang kuat dengan ambiguitas, yang akan membuat sebuah cerpen yang muncul di Kompas menjadi cerpen yang terbaik? Kita tunggu sebentar lagi....
* Agus Noor, Prosais
Sumber: Kompas, Minggu, 28 Juni 2009
No comments:
Post a Comment