Sunday, June 07, 2009

Naskah Kuno: Problematik Pelestarian dan Pengamanannya

-- Alan Feinstein dkk*

PADA bulan Mei muncul beberapa artikel di pers Indonesia, termasuk Kompas, yang menyangkut nama Nancy Florida (profesor kajian Indonesia dan Jawa, Universitas Michigan, AS) serta tim proyek pelestarian naskah-naskah kuno Jawa yang dipimpinnya di Solo tahun 1980-an di Museum Radya Pustaka (MRP). Pada peliputan dalam harian pusat maupun daerah juga gencar diberitakan raibnya sejumlah naskah kuno di MRP belakangan ini. Hubungan antara keduanya adalah proyek pelestarian yang bernama ”Surakarta Manuscript Project (SMP)” itu dan kasus raibnya naskah-naskah kuno di MRP kurang jelas dalam artikel-artikel tersebut. Maka kami tergugah untuk menerangkan situasi yang sebenarnya. (NB, kami bertiga ikut dalam SMP tahun 1980-an itu)

Pertama, apa yang dimaksud dengan proyek pelestarian dan pemikrofilman naskah-naskah kuno, dan kedua, apa hubungannya dengan kasus kehilangan naskah di MRP?

Proyek SMP adalah kerja sama pada tahun 1980-1985 antara Universitas Cornell dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan dan Arsip Nasional RI. Proyek awalnya didanai sebuah lembaga Pemerintah AS, National Endowment for the Humanities. Hasil proyek adalah pelestarian semua naskah kuno yang tersimpan di perpustakaan Istana Mangkunagaran, Keraton Surakarta, dan MRP dalam bentuk mikrofilm. Salinan negatif (yang masih bisa dibuat salinan lagi, jadi sebuah ”babon”) dari mikrofilm asli itu dibuat dua, satu untuk Arsip Nasional RI dan satu untuk perpustakaan Cornell. Salinan positif (yang biasanya dibaca dengan menggunakan alat microreader) dibuat untuk ketiga perpustakaan di Solo dan juga untuk Cornell. Perpustakaan-perpustakaan di Solo itu juga disumbangkan alat microreader. Beberapa tahun kemudian, salinan telah dibuat untuk sejumlah perpustakaan universitas yang memiliki bagian kajian Indonesia, yaitu Universitas Leiden di Belanda, Universitas Michigan dan Universitas Washington di AS, dan Australian National University di Australia. Pembuatan salinan selalu dengan izin dari perpustakaan di Solo yang menyimpan koleksi aslinya, dan juga sepengetahuan Arsip Nasional RI.

Pembuatan mikrofilm adalah cara yang tepat untuk melestarikan isi naskah kuno yang terancam punah. Pemotretan tidak memerlukan naskah dibawa dari tempatnya, dan tidak merusak naskah aslinya oleh karena dipotret dari atas dengan kamera khusus, tidak seperti pemakaian mesin fotokopi ataupun scanner yang memotret dari bawah dan dapat merusak jilidan. Mikrofilm juga dapat tahan lama asal disimpan dan dirawat dengan baik.

Selain ratusan rol mikrofilm dari ribuan naskah kuno, proyek SMP juga menghasilkan katalog kartu dalam bahasa Indonesia yang mencakup semua naskah yang telah dimikrofilm. Belakangan, katalog yang disusun Nancy Florida itu diterbitkan sebagai buku berjudul Javanese Literature in Surakarta Manuscripts yang terdiri dari tiga jilid: Vol I: Introduction and Manuscripts of the Karaton Surakarta (terbit tahun 1993); Vol II: Manuscripts of the Mangkunagaran Palace (terbit tahun 2000); dan Vol III: Manuscripts of the Radyapustaka Museum (sedang disusun). Buku tersebut diterbitkan oleh Program Studi Asia Tenggara, Universitas Cornell.

Selain pembuatan mikrofilm dan katalog kartu serta penerbitan buku katalog, SMP juga telah mengerjakan proyek fumigasi dan perbaikan naskah di ketiga perpustakaan di Solo, dan pelatihan tenaga setempat. Subproyek itu didanai Ford Foundation. Subproyek tadi menghasilkan transliterasi ketikan dari beberapa teks penting, terutama dari Keraton Surakarta, dari huruf Jawa ke huruf Latin.

Proyek SMP telah mengilhami dan membuka jalan bagi proyek-proyek pelestarian naskah-naskah kuno dengan penginventarisasian, pemikrofilman, dan penerbitan katalog di koleksi-koleksi lain di Indonesia: misalnya di Keraton Yogyakarta, Museum Sonobudoyo, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Perpustakaan Nasional, berbagai koleksi naskah berbahasa Sunda di Jawa Barat, dan berbagai koleksi naskah berbahasa Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan. Semua hasil mikrofilm dari proyek-proyek tersebut disimpan di koleksi setempat (bersama microreader) dan di Arsip Nasional RI. Maka, kalaupun ada naskah yang rusak, rapuh, kena rayap atau gangguan manusia, ataupun raib dari koleksi, kita dapat bersyukur bahwa semua isi naskah itu telah dilestarikan dalam bentuk mikrofilm yang masih dapat dibaca dan diambil faedahnya oleh generasi mendatang. Harap maklum juga bahwa penginventarisasian dan pembuatan mikrofilm merupakan catatan keutuhan koleksi naskah pada saat dibuatkan, dan kelak dapat dimanfaatkan untuk menjaga penyelamatan koleksi tersebut.

Meluruskan

Maka di situ terletak hubungan antara proyek pelestarian naskah tahun 1980-an dan kasus raibnya naskah di MRP tahun 2009, yaitu penemuan bahwa ada naskah-naskah hilang dari koleksi. Tanpa adanya penginventarisasian naskah-naskah oleh SMP, mungkin hilangnya naskah-naskah dari MRP tidak akan terungkap. Ceritanya sebagai berikut. Nancy Florida pada bulan Februari 2009, waktu kembali ke Indonesia, mengambil kesempatan itu untuk membaca di perpustakaan MRP guna mencocokkan dan memperbaiki catatan yang dibuatnya 25 tahun yang lalu. Pada saat itu baru diketahui bahwa 61 naskah kuno yang telah dia baca dulu sudah tidak dapat ditemukan lagi, entah ”ketelisut” atau hilang. Sepulang ke Amerika dia mengirim daftar ke-61 naskah itu kepada petugas MRP, lengkap dengan catatan tentang judulnya, pengarangnya, tahun dibuatnya, ukurannya, dan nomor halamannya, dengan harapan bahwa daftar itu dapat membantu pelacakan naskah yang hilang itu. Ternyata di antara naskah yang hilang tersebut ada karya-karya agung yang tak terhingga nilainya, misalnya naskah tulisan tangan pujangga karaton R Ng Ranggawarsita; sebuah versi Kekawin Bratayuda yang dibuat tahun 1783 untuk Pakubuwana IV waktu beliau masih anak, dengan gambar-gambar dan iluminasi prada emas; Serat Yusup, yang dibuat pada tahun 1729 untuk Pakubuwana II di Kartasura atas perintah neneknya, Ratu Pakubuwana, yang juga penuh gambar-gambar, dan lain sebagainya.

Setiap naskah adalah unik karena ditulis tangan oleh seorang manusia; lain halnya dengan terbitan yang ada banyak eksemplarnya yang persis sama. Naskah sebagai artefak—dengan segala catatan di dalamnya, cara menulisnya yang berbeda-beda, bermacam-macam tinta atau kertas yang dipakai, beragam cara penjilidan—juga ”bertutur” kepada kita yang sempat melihatnya. Semua detail fisik itu merupakan bukti tentang asalnya, konteksnya, pemakaiannya, dan artinya. Maka, kehilangan naskah-naskah kuno seperti dalam kasus MSB membuat kita semua prihatin.

Keterbatasan ruang di surat kabar ini tidak memungkinkan kami membicarakan semua faktor yang memengaruhi situasi pernaskahan di Indonesia sekarang ini—misalnya, kurangnya infrastruktur atau sumber daya manusia di perpustakaan. Tentu saja korupsi dan kekurangan sekuriti di lembaga umum yang menyimpan koleksi barang budaya merupakan salah satu faktor juga (yang menimpa kota Solo dan MRP baru-baru ini dengan penjualan arca kuno); maka juga menyangkut hal kekuasaan dan pemerintahan. Berarti, masalahnya memang sangat kompleks. Kami menganggap upaya pendidikan dan peningkatan kesadaran masyarakat sangat berperan di sini. Dalam upaya itu peranan universitas dan pers sangat penting. Jurusan-jurusan sastra Nusantara dapat mendorong mahasiswanya agar membaca, meneliti, dan mengungkapkan isi naskah-naskah kuno. Adanya salinan mikrofilm tersedia di berbagai institusi mestinya memudahkan hal itu. Pers dapat ikut menyadarkan masyarakat tentang kekayaan peninggalan budaya yang disimpan dalam perpustakaan atau museum, dan kendala-kendala yang dihadapi institusi itu dalam merawatnya dengan baik. Pers juga berkewajiban menginvestigasi hal-hal yang bersangkutan dengan korupsi atau kekurangan sebuah lembaga dalam mengemban tugasnya sebagai institusi milik umum. Justru berita-berita sensasional dan kurang berdasarkan investigasi dan fakta di harian-harian mengenai situasi perpustakaan di Solo belakangan ini yang kami sayangkan dan mendorong kami untuk menerangkan dan meluruskan berbagai kesan yang salah di dalamnya.

* Prof Nancy Florida, Dosen Kajian Indonesia, University of Michigan, Ann Arbor, AS
* Endang Tri Winarni, Dosen Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo
* Alan Feinstein, Peneliti Independen, Bangkok, Thailand

Sumber: Kompas, Minggu, 7 Juni 2009

No comments: