Tuesday, June 02, 2009

Pustakaloka: Mencipta Ruang-ruang Kebudayaan

-- BI Purwantari

APA kaitan meugang di Aceh dengan upaya meningkatkan minat baca kaum muda Aceh? Meugang adalah tradisi ”membawa daging ke rumah” pada satu-dua hari sebelum Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha yang harus dilakukan oleh para suami, ayah, atau kepala keluarga di Aceh. Tradisi yang telah berlangsung sejak lama ini menilai, laki-laki yang pulang ke rumah dengan tangan kosong sebagai kurang berharga.

Gerobak pertunjukan televisi Eng Ong sebagai sarana pertunjukan sekaligus pendidikan sastra bagi kalangan akar rumput di seputar Banda Aceh. (ANUNG WENDYARTAKA)

Di dalam buku Santeut, Kumpulan Khotbah Jender Pelajar Aceh yang diterbitkan oleh Aneuk Mulieng Publishing, Banda Aceh, 2007, diungkapkan bahwa tradisi meugang diartikan sebagai ungkapan penghargaan dan kasih sayang seorang laki-laki kepada istri, anak, orangtua, dan keluarganya.

Ungkapan penghargaan itu lazim diukur dari apa yang dibawanya pulang, yang biasanya terdiri dari barang-barang yang dianggap mewah saat itu. Dalam konteks Aceh masa kini, ungkapan yang umum adalah membawa pulang daging sapi. Karena itu, menjadi hal memalukan bila sang kepala keluarga tak membawa pulang daging sapi yang dinantikan tersebut. Tak mengherankan pula bila pada saat-saat itu, harga daging sapi di Aceh melonjak tinggi, jauh melampaui wilayah lain.

Lantas, bagaimana tradisi meugang bisa membangkitkan minat baca? Jawaban bisa kita temukan setelah membaca buku di atas. Artikel-artikel di dalam buku itu ditulis oleh 16 pelajar SMU dan MAN (madrasah aliyah negeri) di Banda Aceh yang mengikuti Sekolah Menulis Do Karim, sebuah institusi pendidikan alternatif yang digagas para pekerja kebudayaan Komunitas Tikar Pandan.

Di situ para pelajar dilatih bukan saja tentang teknik menulis yang baik. Lebih dari itu, mereka diajak menelaah masalah-masalah sosial yang terjadi di sekitar mereka, menggali data dari masyarakat maupun literatur yang ada, mendiskusikan bahan-bahan tersebut, dan menyajikannya dalam bentuk tulisan yang kritis. Mereka diberikan pengetahuan tentang analisis sosial, filsafat umum, sejarah kritis, studi kebudayaan, serta metodologi riset yang menolak eksploitasi atas subyek penelitian.

Penulis artikel tentang meugang itu pun membongkar dan membaca beragam tulisan tentang tradisi tersebut, sekaligus mengamati implikasinya terhadap kehidupan sosial masyarakat Aceh. Berbekal pelatihan, diskusi, membaca berbagai bahan selama enam bulan, si penulis menelusuri asal muasal tradisi khas Aceh tersebut dan beragam akibat yang harus ditanggung oleh kelompok masyarakat tertentu.

Tak heran jika si penulis yang masih duduk di bangku SMA ini piawai menghubungkan meugang dengan persoalan ketimpangan jender dan kemiskinan di Aceh. Tulisan-tulisan lain di dalam buku itu juga memiliki perspektif sama, yaitu menggugat diskriminasi jender yang ditemukan dalam praktik kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh.

Gerakan kebudayaan

Sekolah Menulis Do Karim adalah satu dari beberapa institusi yang berupaya menciptakan ruang-ruang kebudayaan di Aceh pascakonflik dan bencana tsunami. Beberapa institusi kebudayaan lain, baik yang dikembangkan oleh Tikar Pandan maupun lembaga lain, marak di Tanah Rencong yang dikenal luas dengan berbagai syair dan hikayatnya. Dengan ragam perspektif dan metode, mereka mengisi ruang-ruang pemajuan peradaban yang lama direnggut oleh senjata dan tsunami.

Di sana-sini diselenggarakan diskusi kebudayaan, penerbitan buku-buku sastra, pembacaan puisi dan syair, pelatihan menulis bagi anak muda, pendirian berbagai perpustakaan kampung maupun pustaka keliling yang disertai metode belajar menarik untuk anak-anak, serta pentas TV Eng Ong yang interaktif.

Liga Kebudayaan Komunitas Tikar Pandan didirikan tahun 2003 saat Aceh masih dikelilingi kaum bersenjata dan ketakutan disebar ke segala penjuru. Anggota Tikar Pandan merupakan anak-anak muda yang menolak bahasa kekerasan. Mereka terus berusaha menutup mulut senapan dengan goresan puisi, syair, esai. Untuk membuka ruang kebebasan berpikir dan berpendapat, yang ketika itu nyaris ada di titik nol karena kebijakan Darurat Militer, berbagai forum diskusi digelar, ragam puisi dan esai ditulis, jurnal kebudayaan disebarkan, dan hasil karya tulis peserta sekolah menulis Do Karim dicetak.

Tak kurang dari 10 judul buku telah terbit dari Tikar Pandan, seperti Antitokoh, Geulanggang Radio, Kitab Mimpi, Aku Agam dengan 99 Nama, yang semuanya ditulis oleh pelajar dan mahasiswa Aceh. Buku berjudul Meusyen misalnya. Kata Meusyen, yang berarti perasaan rindu mendalam, menyiratkan ekspresi 30 anak muda usia 14-25 tahun yang merindukan perdamaian di tanah kelahiran mereka melalui cerpen. Seperti ujaran sang editor buku, ”kami telah rindu memberi kesempatan anak muda Aceh menulis cerita mereka sendiri. Sebab telah lama cerita tentang diri kami ditulis orang lain sehingga Aceh tak pernah bisa dipahami.”

Di salah satu cerita di buku itu terkuak rasa rindu seorang pelajar untuk sekadar duduk tenang di Pantai Lhok Nga sambil melihat matahari terbenam. Dia tak bisa melakukannya karena desingan peluru selalu menghantui kehidupan di kampungnya. Atau cerita lain mengungkap rasa rindu seorang anak keluarga tentara dari Jawa yang ayahnya mati tertembak saat diperintahkan ”membersihkan” sebuah kampung dari para pengacau. Ia pulang ke Jawa membawa serta kerinduan terhadap sosok ayah.

Nama Do Karim sendiri diambil dari nama penyair Aceh, ”pehikayat keliling”, pewarta cerita-cerita sederhana tentang manusia di zaman kemelut perang Aceh melawan kaum kolonial Belanda. Nama ini dipakai untuk mengingatkan satu momen perjuangan menyelamatkan kebudayaan Aceh yang sedang dihancurkan kekuatan kolonial. Karena itu, seluruh ruang budaya yang diciptakan Tikar Pandan saat ini dihidupi oleh semangat membangkitkan kembali gagasan kritis terhadap kebudayaan Aceh.

Program TV Eng Ong misalnya. ”Bentuknya seperti televisi, kotak kayu sederhana di mana siapa saja bisa menjadi pengisi acara dan penonton. Kami mengundang pehikayat atau pencerita yang populer di Aceh seperti Agus PM TOH untuk tampil di situ, namun penonton bisa mengambil alih tempatnya untuk menyampaikan hal yang menurut mereka penting,” jelas Reza Idria dari Tikar Pandan.

Suatu ketika ada seorang kepala kampung yang tidak didengar lagi suaranya oleh masyarakat. Ketika wajahnya nongol di kotak TV Eng Ong, penonton menyimak baik-baik. Lantas program itu menjadi forum debat langsung antara kepala pemerintahan tingkat kampung dan rakyatnya yang belum pernah terjadi sebelumnya. ”Cara ini dipakai agar hal penting bisa disampaikan dengan suasana fun,” papar Reza lagi.

Ruang santri dan anak

Dari sebuah bangunan ruko dua lantai di daerah Lamnyong, Banda Aceh, atmosfer menulis tentang Aceh dihidupkan oleh Lapena, sebuah lembaga kebudayaan yang beranggotakan penyair, akademisi, dan wartawan. Dengan metode dan isi yang berbeda, Lapena menerbitkan berbagai buku maupun mengisi kolom-kolom budaya di media cetak lokal. Sejak tahun 2005 hingga kini misalnya, telah terbit 24 judul buku, baik kumpulan puisi, cerpen, maupun esai berlatar belakang konflik maupun tentang tsunami.

Beberapa buku terbitan Lapena bahkan diluncurkan pertama kali di Malaysia, seperti buku kumpulan puisi karya Kemalawati berjudul Surat dari Negeri Tak Bertuan yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Letter From A No Man’s Land, dan antologi puisi tsunami penyair Aceh maupun non-Aceh, Ziarah Ombak. Di buku ini dicantumkan juga puisi karya tiga penyair Aceh yang tersapu gelombang. Atau buku kumpulan cerpen karya Sulaiman Tripa, Menunggu Pagi Datang, telah dicetak dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Aceh.

Di luar itu, Lapena giat mengembangkan kemampuan menulis para santri, baik yang berasal dari dayah terpadu maupun salafi (pesantren terpadu dan tradisional). ”Mereka difasilitasi melalui workshop menulis tentang kehidupan pesantren maupun hukum Islam,” jelas Helmi Haas, Direktur Eksekutif Lapena. Hasilnya, telah terbit buku seperti Menuju Syariat Islam Kaffah, Masa Depan Remaja Islam: Kumpulan Tulisan Santri Dayah Terpadu.

Sementara itu, di satu sudut jalan T Iskandar daerah Lambhuk, Ulee Kareng, anak usia SD ke bawah bisa menikmati berbagai buku dengan ilustrasi indah, film-film menarik, membedah isi sebuah buku cerita anak, ataupun berlatih tari. Fasilitas itu disediakan oleh Sefa (Save Emergency for Aceh), sebuah lembaga nirlaba yang digagas oleh beberapa mahasiswa saat konflik bersenjata dan kini fokus kepada pendidikan anak di luar sekolah. Perpustakaan kampung didirikan Sefa di 10 tempat, lima di Aceh Barat dan lima di Aceh Besar, untuk menciptakan ruang kebudayaan, tak hanya bagi anak, tetapi juga warga kampung lokal. Di situ orang tua dan warga lainnya diajak aktif mengelola perpustakaan dan mengisinya dengan ragam aktivitas belajar bersama.

”Lewat pustaka gampong yang disebut Balai Anak ini kami ingin menyebarkan nilai kesetiakawanan, solidaritas, dan keinginan mengenal desanya, orang-orang di sekitarnya, dan tentunya mengenal Aceh,” papar Yuli Zuardi Aziz, Direktur Sefa. Untuk melaksanakan aktivitas tersebut, Sefa merekrut warga lokal dan menyusun bersama kurikulum sesuai kondisi lokal. Maka bentuk dan isi aktivitas di tiap wilayah bisa berbeda-beda. Sefa menargetkan, dalam beberapa tahun ke depan balai ini harus dikelola sendiri oleh warga. ”Makanya, sejak sekarang Sefa melibatkan aparat desa sekaligus melatih beberapa warga untuk bisa bernegosiasi dengan perangkat desa agar melanjutkan aktivitas ini,” jelas Yuli Zuardi lebih lanjut.

Aceh pascakonflik dan tsunami memang telah berubah secara fisik. Di sana-sini terlihat pembangunan rumah, sekolah, fasilitas jalan, serta pusat-pusat bisnis. Untuk urusan perut saja tak sulit mencari restoran cepat saji di Banda Aceh dengan nama-nama transnasional seperti Pizza Hut, Papa Ron’s, KFC, CFC, A&W, atau kedai kopi dan nasi rasa Turki. Namun, di sisi lain ada ruang-ruang kebudayaan yang diciptakan dan dalam beberapa hal berupaya direbut. Seluruhnya adalah upaya mengonstruksi Aceh dari sudut pandang warga Aceh sendiri. Barangkali, penggalan frasa yang dikutip dari jurnal Gelombang Baru milik Tikar Pandan ini tepat menggambarkan hal tersebut, ”ini zaman buruk bagi pikiran dan imajinasi, maka kami membangun cerita sendiri.”

(BI Purwantari/Litbang Kompas)

Sumber: Kompas, Senin, 1 Juni 2009

No comments: