Sunday, June 28, 2009

Buku: Peran Hegemonik Sains atas Agama

-- Wa Ode Zainab Zilullah Toresano

SEBAGIAN kalangan mengklaim, eksistensi agama telah terancam, keberadaannya terisolasi seiring dengan perambahan peran hegemonik sains yang dibarengi sekularisasi.

Sekularisme berdampak penempatan agama yang terlihat berbeda dari sains. Relasi keduanya seolah mustahil bisa dirujukkan.

Pandangan sekularistik itu bertentangan dengan sains dalam perspektif Islam yang meyakini penciptaan alam bukan tanpa tujuan dan perencanaan organisasional. Sains dan agama tidak dapat dipisahkan, apalagi dipertentangkan. Keduanya berasal dari sumber sama, yaitu ”Allah Robbul ’Alamin”.

Sains bisa berfungsi sebagai pintu gerbang memahami agama, sebaliknya relung sains hanya bisa didalami utuh dan bermartabat lewat pintu agama. Bahkan, optimalisasi keduanya mengantarkan ke peneguhan tauhid.

Deretan ilmuwan modern berhasil meneguk kejernihan air persenyawaan sains dan spiritualitas (agama). Tengoklah misalnya Fritjof Capra dan Garv Zukav melalui karya prestisiusnya, The Tao of Physics dan The Dancing Wuli Masters.

Sejumlah ilmuwan Muslim berhasil menjembatani perselingkuhan sains dan agama melalui konsep relasi Tuhan dan alam semesta seraya memadukan obyektivitas dengan subyektivitas. Relasi keduanya mungkin dalam diskursus sains Islam karena sains Islam memberi penekanan pada aspek metafisis. Alam semesta bisa menghamparkan sekian banyak probabilitas yang menuntun menuju Tuhan.

Namun, ada kesan dari ilmuwan Barat sains kurang mampu berfungsi sebagai sarana memahami jalan pikiran Tuhan. Fisika kuantum, misalnya, melalui pendekatan probabilitas peristiwa yang dianutnya, tidak mampu optimal mengungkap makna ”kebenaran”, padahal semua itu ada dan nyata.

Relasi sains-tauhid

Dr Osman Bakar, ilmuwan Muslim Malaysia, melalui karyanya Tauhid dan Sains ingin menggambarkan relasi sains dan agama dengan mempromosikan relasi sains dan tauhid yang kemudian mengabsahkan istilah sains Islam. Dia berfokus pada kajian Islam non-orientalis yang berperspektif fundamentalis.

Penemuan paling penting tentang sains Islam sebagaimana diuraikan dalam karya Profesor Hussein Nasr, menjadi rujukan utama. Melalui karya Nasr, Osman Bakar menyimpulkan, tidak ada satu metode pun dalam sains yang mengesampingkan metode lain. Terbukti, deretan ilmuwan profesional Barat sekelas R Oppenheimer, E Schrodinger, dan Fritjof Capra berpaling pada doktrin Timur dengan harapan menemukan solusi masalah di ujung perbatasan fisika modern (hal 85-86).

Meskipun demikian, tidak berarti perbedaan fundamental antara konsepsi Islam dan konsepsi modern tentang metodologi sains lenyap. Ini terutama disebabkan metode ilmiah dalam sains modern (Barat) memiliki perbedaan epistemologi mendasar dari metode ilmiah dalam sains Islam, demikian pula proses kreatif masing-masing.

Metode ilmiah dalam sains Barat menafsirkan pluralitas metodologi sebagai sejenis anarkisme intelektual meski ia memiliki nilai sendiri dalam lingkup skema epistemologis dan dalam kemajuan perkembangan ilmiah.

Persoalan metodologi dalam sains Islam secara konseptual tidak dapat dipisahkan dari tujuan akhir kognisi manusia yang berkaitan dengan persoalan tujuan rohaniah manusia. Itu berarti harus ada pendasaran pada gagasan keesaan (tauhid) yang berasal dari pandangan Al-Quran tentang realitas dan kedudukan dalam realitas itu (hal 88).

Karena itu, dalam sains Islam metode yang beraneka ragam dianggap sebagai jalan sah mengetahui alam dalam bidang penerapan masing-masing dan saling melengkapi untuk mewujudkan tujuan akhir sains Islam, yakni ”Kesatuan Alam”, yang tujuannya berasal dari dua sumber: wahyu dan intuisi intelektual.

Bakar menuturkan, dalam perspektif sains Islam, berbicara tentang metodologi berarti memahami manusia yang merupakan kutub subyektif pengetahuan (subyek yang mengetahui). Karena manusia memiliki berbagai tingkat kesadaran, maka kutub subyektif itu bersifat hierarkis. Sementara alam semesta yang merupakan kutub obyektif pengetahuan (obyek yang dapat diketahui) juga bersifat hierarkis karena memiliki beberapa tingkat wujud (hal 91-92).

Atas dasar itu, sains Islam menganggap ”kosmos” menjadi perhatian sehingga memiliki kekayaan kualitatif dan realitas jauh lebih besar dari sains modern, meski sains modern dengan sombong mengklaim sebagai semesta tidak berbatas. Padahal, satu-satunya realitas yang diperhatikan dalam sains modern hanya realitas Cartesian yang direduksi menjadi pikiran dan materi serta dipandang sebagai dua substansi berbeda dan terpisah (hal 93).

Sains Islam memandang realitas tidak terbatas pada fisik yang dapat diobservasi. Seluruh kosmos memperlihatkan kekayaan kualitatif dan realitas yang memiliki satu substansi, yakni ”Tuhan”. Dunia empiris dan non-empiris menyatu lewat jembatan kosmologi yang dikendalikan Sang Maha Agung. Kosmos membentuk kesatuan karena harus memanifestasikan Tuhan, kemudian menjustifikasi keesaan Tuhan. Konsekuensinya, harus ada pengukuhan kebenaran sentral yang menerima realitas obyektif kesatuan alam semesta (Wahdatul Wujud).

”Kosmologi” juga dapat berfungsi sebagai sarana memahami kosmos tradisional atau seluruh tatanan ciptaan Tuhan yang terdiri dari tiga keadaan fundamental: material, psikis (animistik), dan spiritual (malakuti).

Catatan kritis

Kendati demikian, bagi saya, bila penulis mempromosikan pentingnya menempatkan kos- mologi untuk menjembatani dua alam, seharusnya diikuti contoh aplikasi ilmu praktis cabang kosmologi, sebagaimana tradisi Islam yang mengajarkan ilmu esoterik melalui numerology dan supranatural.

Dengan menjadikan karya Profesor Hussein Nasr sumber utama rujukan tulisannya, Bakar mestinya bisa dengan mudah menemukan aneka cabang kosmo- logi. Bakar juga terlihat terlalu gegabah dan terkesan mencampuradukkan pemahaman sains Kristen dan sains modern (Barat). Padahal, inkuisisi terhadap kebebasan berpikir pernah terjadi masif dan massal di Barat, pelakunya ilmuwan agamis.

Secara umum gagasan yang dipopulerkan Bakar patut diapresiasi karena secara cerdas berhasil mengulas kosmologi berspektrum mistik ilmiah. Selain itu, ia juga bisa membantu memahami proses tajalli (manifestasi) melalui ciptaan Tuhan. Dengan menganalogikan ”berlangsungnya evolusi dinamis” yang mentransformasikan input-data dari alam malakuti menjadi output-data di dunia nyata dengan harapan akan mengenal aspek kerangkapan metodologi sains Islam yang sekaligus memperlihatkan kekeliruan metodologi sains modern.

* Wa Ode Zainab Zilullah Toresano, Mahasiswi ICAS Jakarta, Cabang London

Sumber: Kompas, Minggu, 28 Juni 2009

No comments: