Sunday, June 14, 2009

Urbanisme: Pasar "Klithikan" dan Sejarah Sosial Kota

-- Bambang K Prihandono*

KE manakah kita membuang barang-barang yang tak lagi kita perlukan? Tentu semua bergantung pada kondisi barang. Jika Anda berpikir barang tersebut masih bernilai dan berguna untuk orang lain, tak ada salahnya diberikan kepada kerabat, kenalan, atau siapa pun yang membutuhkan. Namun, jika barang itu telah rusak total, janganlah diberikan kepada orang lain, sebab bisa merusak hubungan harmonis Anda dengan sahabat.

Lalu, jika tak mau memberikan kepada orang lain dan masih menganggap berharga dan menguntungkan, ke mana mesti membawanya? Tak ada salahnya jika kita membawa barang-barang itu ke pasar barang bekas.

Pasar barang bekas, orang Jawa menyebutnya klithikan, pasar loak, atau orang Belanda menyebutnya twedehand markt, kiranya telah menjadi fenomena universal. Di berbagai belahan dunia senantiasa ditemukan pasar barang bekas.

Di Jerman, di kota Koeln yang terkenal dengan parfum bermerek Cologne dan gereja gothik raksasanya, setiap musim semi warga Nord-Rhein Westfaellen selalu menanti datangnya perayaan pasar klithikan yang memanjang berkilo-kilo meter di pinggiran Sungai Rhein. Ditopang keindahan lanskap sungai dan kapal yang lalu-lalang, tak pelak pasar klithikan menjadi wisata menyambut musim semi yang indah.

Berbeda namun semakna, kita pun menemukan pasar-pasar loak di berbagai kota di Indonesia. Di Yogyakarta, misalnya, sejak di Jalan Mangkubumi sampai Wirobrajan, setiap sore pasar loak itu dijejali oleh pedagang dan pengunjung setianya.

Di Pasar Senen, Jakarta, pengunjung bisa mengais buku-buku bekas yang menjejak gagasan masa lalu yang kiranya masih relevan. Di Solo, Pasar Notoharjo yang bekas kompleks lokalisasi pun kini menjelma menjadi pasar bekas menawan. Selanjutnya, tinggal sebut nama kota, maka kita akan menemukan pasar klithikan yang senantiasa memiliki pengunjung setia.

”Bekas” pembawa nikmat

Pasar klithikan sering kali, jika tidak mau dikatakan selalu, diidentikkan dan dinistakan sebagai pasar maling. Status komoditas sebagai barang twedehand memang rawan akan perubahan peran, dari pasar sebagai ruang tukar-menukar barang bekas menjadi tempat untuk menadah barang-barang hasil curian.

Namun, lepas dari peran negatif itu, tetaplah pasar klithikan menyembulkan rasa penasaran. Antusiasme para pengunjung mendatangi pasar klithikan dan membolak balik barang-barang twedehand, menimbang, dan memutuskan membeli adalah fenomena menarik dan penuh tanda tanya. Apakah yang dicari oleh pengunjung, harga murah? Keantikan? Ataukah ada kenikmatan lain? Bahkan, dalam konteks luas, kita bisa bertanya apa peran sosial-kultural pasar klithikan?

Pasar klithikan adalah tempat jual-beli barang dan arena bermain aneka kepentingan sosial, kultural, dan ekonomi sekaligus. Di sana berproses apa yang disebut (ir)rasionalitas sosial-ekonomi. Jangkar tindakan sosial itu terletak pada karakter barang ”bekas” dan ”orisinalitas”. Keduanya membaur membentuk harga, imaji, dan memori.

Konkretnya, penjual di pasar twedehand sedang bernegosiasi soal nilai profit dari komoditas dan dipihak pembeli sedang menawar dan mengomoditaskan imaji-memori yang ada di benaknya terhadap barang. Maka harga barang di pasar bekas pun tak perlu standar, semuanya bergantung pada proses negosiasi penjual-pembeli. Proses itulah yang membuat pasar loak berbeda dengan pasar biasa.

Unsur imaji dan memori yang kuat membangun karakter pasar, sekaligus menarik rasa penasaran orang untuk berjubel mengulik setiap sisi dari proses tukar-menukar. Pergi ke pasar loak, dengan demikian, bukan hanya menyisir untuk mendapatkan sebuah barang, melainkan bisa menjelma menjadi aktivitas ”pelesir”, menikmati barang bekas yang mungkin antik dan orisinal.

Pelesir di pasar loak adalah merayakan imaji via barang bekas, masuk dalam memori akan masa lalu yang hilang dan kini berusaha menghadirkan kembali. Mungkin barang bekas itu dulu dipunyai, diimpikan, atau mengingatkan akan kenangan indah. Dengan memilikinya sekarang, ”yang indah di masa lampau” itu tetaplah abadi. Maka, datang ke pasar klithikan adalah memasuki suasana ”liminal zone,” di mana norma dan batasan berbeda dari dunia keseharian. Situasi yang santai dan semakna dengan aktivitas wisata. Itulah kenapa pasar klithikan selalu dinanti, dirindukan, dan diziarahi terus-menerus oleh masyarakat.

Sejarah sosial kota

Jika di ranah individu barang bekas menawarkan memori tentang masa lampau, di ruang sosial barang twedehand menjadi artefak jejak-jejak peradaban masyarakat. Dalam bingkai sejarah kota, barang bekas merupakan jejak-jejak peradaban. Di sana terkandung perkembangan teknologi, situasi sosial, politik, dan kultural sebuah zaman.

Kehadiran pasar klithikan, dengan demikian, merupakan bentuk partisipasi warga untuk menjaga jejak masa lampau agar menjadi roh pembangunan kota. Ketika negara, via museum, tak mampu lagi mengarsip jejak-jejak peradaban itu, maka para pedagang dan pengunjung pasar klithikan berperan sebagai kurator. Jika suasana di museum-museum pemerintah senantiasa muram, pasar loak menawarkan kesegaran. Aktivitas jual-beli barang bekas menawarkan ketegangan luar biasa, sedangkan museum-museum kadang hanya menunjukkan informasi yang kaku, dingin, dan tidak seksi.

Peran kuratorial pasar klithikan inilah yang sering kali dilupakan sehingga keberadaannya kadang disingkirkan dari sejarah kota. Karakter pasar klithikan sering disamakan dengan pasar biasa. Padahal, peran penting pasar klithikan adalah pembentuk roh sejarah kota, bukan hanya tempat kegiatan jual-beli barang rongsok. Pada akhirnya, memang, pasar klithikan adalah ruang publik, tempat di mana orang bisa mendialogkan kepentingan untuk membangun peradaban itu sendiri.

* Bambang K Prihandono, pengajar di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Sumber: Kompas, Minggu, 14 Juni 2009

1 comment:

Anonymous said...

ayo bernostalgia di Klithikan ...