-- JJ Rizal
BILA karya Robert van Niel, ”The Emergence of the Modern Indonesian Elite”, adalah studi langka yang membahas elite Indonesia, bagaimanakah membaca buku ini di tengah hiruk pikuk Indonesia mencari pemimpin?
Santer suara di Indonesia kini yang kelihatan cuma penguasa dan pembesar. Tiada pemimpin. Yang ada akrobat penguasa yang sibuk mengumbar syahwat politik untuk bisa tidur di ranjang kekuasaan bersama.
Di bawah, suara rindu pemimpin justru menguat. Ada kesadaran ingin menemukan pemimpin sebagai kekuatan inspiratif dan pencerah di masa yang gawat.
Akan tetapi, siapakah pemimpin itu? Di sinilah pentingnya karya Van Niel. Van Niel menyediakan pengukur sejati, bukan artifisial berdasar popularitas. Ia memberi kacamata ideologis dan kultural historis ihwal pemimpin karena suara ingin pemimpin itu berakar dari ingatan kolektif terkait identitas pemimpin atau elite yang membanggakan dalam sejarah.
Sejarah munculnya elite baru dan pemimpin nasionalis Indonesia mengakar dari zaman gelap. Menjelang wafat pada 1873, RNg Ronggowarsito menulis Serat Kala Tida (Syair Zaman Kegelapan). Kemiskinan dan kemandekan memang citra Hindia saat itu. Seperempat abad kemudian, saat kolonialisme bertemu perubahan besar akibat semangat aufklarung atau pencerahan Eropa, biang keladinya, politik kolonial abad ke-19, dikritik. Bahkan, ethicus CT van Deventer pada 1899 mengingatkan Eereschuld (utang budi) dan perlunya ”orang kulit putih menerangi kegelapan pribumi jajahan”.
Arsitek kolonialisme, Snouck Hurgronje, mengusulkan perluaslah sekolah untuk menanamkan ”jiwa Eropa” sehingga anak jajahan menumbuhkan diri sendiri, bermanfaat dan setia kepada Belanda. Maka, sejak 1900 ide ethicus diterima. Hoofden School, sekolah guru dan dokter Jawa, diperluas. Anak priayi rendah pun bisa sekolah. Bergeraklah mesin cetak orang Hindia ”berjiwa Eropa” yang dikiaskan Frant Fanon peau noire, masques blancs alias ”kulit hitam, topeng putih”.
Ternyata hasil cetakan tak seragam. Politik etis, kata Van Niel, memang berhasil mencetak ”elite fungsional”, yaitu jelmaan yang siap meniru dan mengabdi demi menegakkan pikiran selamanya Belanda pengasuh Hindia. Namun, muncul juga ”elite politik” atau figur politik modern yang tampak ngotot melawan wacana kolonial secara tertutup atau terbuka, yang mampu memberi sumbangan dalam pergulatan hidup jutaan manusia yang mendambakan cahaya kebenaran.
Frasa cahaya
Sebagaimana pengkaji Indonesia awal abad ke-20, Van Niel pun memakai frase cahaya sebab itu mendominasi pikiran elite awal kebangkitan nasional. Lagi pula pada tahun1900-1925, para tokoh utama dan banyak pers yang tumbuh mengiringi politik modern elite baru menggambarkan pemikiran dengan kias bersifat terang, mencomot kata matahari, surya, bintang, fajar, nyala, suluh, sinar, cahaya, dan api. Semuanya tanda lebih luas kebangkitan kembali dan regenerasi.
Kias bersifat terang bukan saja simbol untuk menguatkan citra diri, tetapi juga dikotomi yang lebih bersifat moral, politik dan perbedaan generasi. Wajar jika publikasi elite awal kebangkitan diwarnai teriak lantang paradoks kata: muda/tua, maju/kolot dan sadar/masih bodoh. Dalam perspektif itu, para elite sampai pada kesadaran fundamental akan perubahan. Alhasil 20 tahun awal abad ke-20 pergerakan Indonesia begitu dinamis, kaya ide diliputi sifat muda, maju, dan sadar.
Muda tak hanya usia biologis, tetapi juga pemikiran dan kejiwaan untuk merombak struktur lama dan menciptakan masyarakat baru yang bebas dari stigma kultural yang menghambat. Ini tecermin dalam polemik tahun 1914 antara pendiri Indische Partij (IP) dengan Noto Soeroto, motor ide Hindia terus di bawah Belanda. Juga polemik tahun 1918 antara Tjipto Mangoenkoesoemo sebagai pimpinan terkemuka ”nasionalisme Hindia” dan Soetatmo Soerjokoesoemo, Ketua Komite Nasionalisme Jawa.
Bayangan masyarakat baru memacu elite bersikap maju, menemukan kembali harkat diri. Tak ayal, demokrasi pun dirasakan jadi bagian esensial hasrat maju. Sebab itu, pada tahun 1912 mencuat Sarekat Islam, ”gerakan nationalistisch-demokratisch-ekonomisch” ala ratu adil antipenindasan dan antikeangkuhan rasial. Pada 1918, meluas moto Mas Marco ”sama rata sama rasa”. Berbareng hadir gerakan Djawa Dipa melawan keharusan tradisional yang hierarkis.
Akhirnya semua mesti dilakukan dengan sadar yang pada awal abad ke-20 meluas artinya. Dalam otobiografi Soetomo, sadar punya pengertian yang berkaitan. Pertama ”daya” yang oleh Goenawan Mangoenkoesoemo diartikan ”menjadi motor pendorong”. Saat elite jadi motor pendorong perubahan, harus dijalani dengan ngurban. Kata ini bermuatan moral dan emosional dalam, yaitu ”bertindak tanpa pamrih”. Akhirnya sadar itu ”perubahan perangai” yang dirumuskan dalam suasana terus ”memperlombakan diri berjaga dengan moril”.
Bukan kepentingan
Van Niel menyimpulkan sukses elite modern pertama itu terletak pada political will mereka melembagakan nilai dan meraih kemanusiaan yang modern, maju, dan progresif. Ada subyektivitas di sini, tetapi lahir dari panggilan yang universal. Dalam konteks itu, ada keberanian moral untuk menunda datangnya imbalan dari jerih payah belajar dan menempuh jalan panjang penuh rintangan serta kesulitan.
Siswa Stovia, contohnya. Stovia didirikan guna menciptakan ”hamba sahaya” bagi tuan putih. Tetapi, ”hamba sahaya” itu menolak buaian keterpencilan kultural yang diciptakan untuk menetralisasi kenyataan kebangkrutan politik- ekonomi tanah jajahan dan rakyatnya. Pengetahuan ”keterbelakangan rakyat” pun jadi dorongan memasuki ”dunia maju”. Maka, lahirlah pemikiran ihwal ”bangsa”.
Demi ”bangsa” yang dibayangkan, elite sebagai komunitas politik minoritas yang kreatif, dituntut menjadi ujung tombak gerakan. Otomatis mesti berperan antagonistis terhadap kolonialisme-feodalisme. ”Jangan takut,” kata HM Misbach. ”Rawe-rawe rantas malang-malang putung (hancurkan semua penghalang)” semboyan IP. Para elite itu pun terlihat liar dan memberontak sebab mereka sadar setiap ide atau ideologi besar mesti diawali oleh gerakan sosial sebagai cara utama membongkar struktur lama dan membangun yang baru.
Kaum protagonis memiliki komitmen moral melakukan ide itu. Sebab itu, mereka datang dengan kekuatan keyakinan, bukan hitungan. Bertindak sebagai benteng moral ketimbang pemburu kekuasaan. Alhasil politik adalah perjuangan, bukan kepentingan. Dan cuma sebagai true believer sajalah, nilai dan kewajiban itu dapat dijalani bila perlu dengan mengorbankan diri. Di sinilah terletak nilai elite yang historis.
Ironi besar nilai-nilai itu kini tinggal keping kenangan. Keping kenangan karatan dan rusak oleh iklim politik zaman gelap Soeharto yang masih berlanjut dan menyediakan hawa bagus bagi elite kekuasaan dekaden berbudaya kroni, bapakisme dengan kolusi, korupsi, nepotisme, karbitan tanpa pengetahuan, wawasan luas, dan moral.
* JJ Rizal, Peneliti Sejarah di Komunitas Bambu
Sumber: Kompas, Minggu, 21 Juni 2009
No comments:
Post a Comment