Judul Buku : Ilusi Negara Islam (Ekspansi Gerakan Islam Transnasionalis di Indonesia)
Editor : Abdurrahman Wahid
Penerbit : The Wahid Institute, Bhinneka Tunggal Ika & Maarif Institute
Cetakan : Pertama, April 2009
Tebal : 322 Halaman
IMAJINASI, hasrat, aspirasi, dan lalu menggumpal menjadi aksi untuk mendirikan negara Islam bukanlah hal baru dalam relasi agama dan negara di Indonesia. Pemberontakan DI/TII yang dipimpin RM Kartosuwiryo, PRRI dan Permesta pada 1950-an adalah bukti bahwa negara Islam menjadi cita-cita sebagian umat Islam.
Menurut Abu A'la Al-Maududi, negara Islam diletakkan pada prinsip utama pada pengakuan kedaulatan Tuhan sebagai segala sumber hukum. Bahwa tak seorang pun yang dapat menetapkan hukum, kecuali Allah SWT sebagai pemilik kedaulatan tunggal. Dalam pengertian ini, negara Islam memiliki tiga pilar, yakni masyarakat muslim, hukum Islam atau syariat Islam, dan khilafah (Islam Radikal, 2002).
Namun, tak ada pendapat tunggal ihwal negara Islam. Pemikir Mesir Ali Abd ar-Raziq dalam kitab Al Islam wa Usul al Ahkam, Bahsfi al-Khilafah wa al-Hukumah fi al Islam, yang kurang lebih diterjemahkan menjadi ''Islam dan Dasar-dasar Pemerintahan, Kajian tentang Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam'' menyebut tidak ada negara Islam. Kata Abd ar-Raziq, Islam adalah agama moral merujuk hadis Nabi: ''Aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak mulia.''
Hingga akhir hayatnya, Nabi tidak pernah menyatakan tentang bentuk pemerintahan serta sistem apa yang mesti diterapkan untuk membangun komunitas muslim. Maka, ar-Raziq berujar, sistem khilafah bukanlah keharusan bagi kaum muslim untuk mendirikannya, karena bukan bagiandari Islam.
Lebih jauh, khilafah disebutnya sebagai lembaga yang bersifat politik yang diproyeksikan untuk menopang kepentingan-kepentingan politik. Kepentingan politik adalah persoalan duniawi yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan Islam sebagai agama. Akibat pendapatnya itu, ar-Raziq disamakan dengan Mustafa Kemal Attaturk, pemimpin Turki yang mengumumkan penghapusan lembaga khilafah dan menyatakan pemisahan urusan agama dari negara pada 1924 (Islam dan Dasar-dasar Pemerintahan, Kajian Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, 2002).
Meski kitab itu lalu direvisi, pendapat ar-Raziq selalu disitir dalam perdebatan soal negara Islam. Dan, buku Ilusi Negara Islam ini membenarkan tesis bahwa aspirasi untuk mendirikan negara Islam di Nusantara tak pernah surut. Keinginan itu tumbuh lewat derasnya pengaruh gerakan Islam transnasionalis yang direpresentasikan pada Wahabi, Ihkwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir.
Dari penelitian di 24 kota/daerah yang tersebar di 17 provinsi dan berlangsung tak kurang dua tahun, diperoleh fakta bahwa ajaran dan pandangan gerakan Islam transnasionalis telah menyebar dalam sejumlah ormas dan bahkan parpol di tanah air. Penelitian ini menyebut mereka sebagai Islam garis keras, baik di tataran individu maupun kelompok (organisasi) dengan ciri menganut pemutlakan pemahaman agama, bersikap tidak toleran terhadap keyakinan dan pandangan berbeda, hingga menginginkan adanya dasar dan bentuk Negara Islam atau Khilafah Islamiyah.
Yang mengejutkan, penelitian ini mendapati bahwa mereka telah ''berkebun di pekarangan orang'', yakni mengajarkan pahamnya ke organisasi atau individu yang berafiliasi dengan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, lembaga pendidikan hingga instansi pemerintahan dan swasta. Disebutkan, Partai Keadilan Sejahtera dengan dalih dakwah seperti pengajian dan pembinaan keumatan telah menggunakan Muhammadiyah untuk kepentingan politik. Bahkan, PKS disebut telah melakukan infiltrasi pada Muktamar Muhammadiyah di Malang tahun 2005. Inilah yang membuat Muhammadiyah mengeluarkan surat keputusan pimpinan pusat (SKPP) nomor 149/2006.
Salah satu butir SKPP menyasar PKS dan ke dalam ia mengimbau warga Muhammadiyah untuk membebaskan diri dari kepentingan, kegiatan, dan tujuan partai politik. Muhammadiyah merasa terganggu karena ia berpandangan moderat, sedangkan PKS mengembangkan konsep tarbiyah yang dipengaruhi Ikhwanul Muslimin (hlm. 179-189). NU pun terusik, karena gerakan garis keras telah menyusup lewat masjid-masjid, majelis-majelis taklim, dan pondok-pondok pesantren yang menjadi basis warga Nahdliyin.
Meski begitu, buku ini kurang memberi ruang pada mereka yang menjadi objek kritik. Sama sekali tak ada pembelaan dari organisasi yang disebut garis keras tersebut. Ali Said Damanik dalam buku Fenomena Partai Keadilan misalnya malah mendapati PK (sekarang PKS) berkarakter moderat tak seperti hasil penelitian ini. Dalam Sidang Tahunan MPR 2000, partai ini tidak mendukung langkah partai Islam lain --PPP, PBB dan Masyumi-- untuk memperjuangkan amandemen UUD 1945 dengan Piagam Jakarta.
Mutammimul Ula, salah seorang kader PK di DPR saat itu berujar ''yang diutamakan adalah substansinya, yaitu bagaimana negara dan masyarakat ini memiliki komitmen kuat pada nilai-nilai syariat Islam secara keseluruhan. Maka, persoalannya bukan persoalan redaksi Piagam Jakarta an sich (semata)''. Pendapat ini masih longgar, karena komitmen negara dan masyarakat bisa berujung pada formalisasi negara Islam.
Kedua, bahasa yang digunakan pun cenderung agresif, seperti menyusup atau infiltrasi. Ada aroma kemarahan di sana sehingga kurang smart dalam memilih kata dan menyusun kalimat. Apabila diandaikan umat Islam sebagai satu tubuh, maka tidak tepat benar menggunakan kata menyusup atau infiltrasi. Ia harus dipandang sebagai dinamika dalam dunia Islam. Daripada sekadar merisaukan pihak lain, lebih baik jika Muhammadiyah dan NU melakukan introspeksi diri.
Saya mendengar bahasa yang jauh lebih bijak dari KH A. Mustofa Bisri saat peluncuran buku ini di Jakarta, pertengahan Mei lalu. Menurutnya, Muhammadiyah dan NU terlalu mapan sehingga lupa diri untuk mengantisipasi bentuk keberagamaan yang kian mengeras dan kurang toleran di tanah air. Gus Mus dalam epilog buku ini mengajak umat Islam untuk terus belajar. ''Andai masing-masing terus belajar, saling mendengarkan, tentu pemahaman mereka akan lebih baik dan lengkap.
Karena sebenarnya kebenaran kita berkemungkinan salah, dan kesalahan orang lain berkemungkinan benar.'' Ketiga, penerbit dan pihak terkait terutama LibforAll Foundation harus selekas mungkin menjawab protes dari sejumlah penelitinya, antara lain Zuly Qodir, Abdur Rozaki, Laode Arham, dan Nur Khalik Ridwan. Kata Zuly Qodir, isi buku ini menyimpang dari apa yang mereka teliti. Selain itu, pihaknya juga tidak dilibatkan dalam proses penerbitan (Republika Online, 25/5).
Klarifikasi ini penting untuk menjawab bahwa penelitian itu bias dan tendensius karena bertepatan dengan momen politik (Pemilu 2009). Kredibilitas buku ini sebagai produk ilmiah harus sanggup menjawab segenap aduan dan kritik agar tidak terjatuh pada sensasionalitas. Akhirnya, saya berharap umat Islam dewasa dalam menyikapi kontroversi yang merebak atas buku ini. Polemik akademis harus dibalas dengan jawaban akademis pula. (*)
Moh Samsul Arifin , pernah menyantri di Ponpes Miftahul Ulum, Kaliwates, Jember
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 14 Juni 2009
No comments:
Post a Comment