-- Korano Nicolash LMS
SATU lagi biografi olahragawan ternama Indonesia hadir dalam khasanah buku nasional. Kali ini biografi salah satu pemain bulu tangkis ternama Indonesia yang memiliki nama lengkap Liem Swie King, anak ketujuh dari seorang pedagang di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Menelusuri lembar demi lembar buku setebal 456 halaman yang ditulis Robert Adhi Ksp, mulai dari mentas-nya King di dunia bulu tangkis dari kota kelahirannya hingga bergelimang gelar di berbagai turnamen bulu tangkis dunia, tampaknya akan sangat berguna bagi adik-adik kita yang bakal mendedikasikan hidupnya di dunia olahraga. Bukan hanya di cabang bulu tangkis.
Konflik batin Liem Swie King kecil, yang harus menyelesaikan SMA, bahkan hingga ia harus meneruskan ke bangku kuliah, atau tetap memilih dunia bulu tangkis sebagai karier masa depannya, diungkapkan dengan detail dalam buku ini.
Terbukti kemudian King tetap memilih olahraga sebagai modal kehidupan masa depannya. Beruntung memang pada masanya secara tidak langsung, mulai dari pemerintah daerah tingkat kota hingga negara, memberikan perhatian besar kepada olahragawan berprestasi internasional, seperti King tentunya.
Hal tersebut terlihat ketika King mendapat hadiah motor dari pejabat pemerintah daerah yang sekalipun tidak digunakan dirinya sendiri, berguna bagi keluarganya walaupun kemudian motor tersebut raib. King juga mendapat hadiah berupa sertifikat tanah di Jawa Tengah.
Begitu juga dengan hadiah-hadiah berupa uang dan hasil kontrak sponsor yang kemudian dijadikan investasi oleh King untuk kehidupan masa depannya bersama sang istri, Licia Sumiati Alamsah, yang dinikahinya pada April 1982 dan kemudian dikarunia tiga anak (Alexander, Stephanie, dan Michelle King).
Panggil Aku King, sesuai judul buku, juga mengungkapkan dengan detail perjalanan karier King di dunia bulu tangkis mondial, seperti kekalahannya yang menyakitkan dari Han Jian di kejuaraan dwi lomba Indonesia-China yang berlangsung di Singapura, Februari 1980. Kekalahan dari Han Jian yang kemudian menjadi musuh bebuyutan di pentas bulu tangkis dunia itu membuat King mengalami pukulan mental yang berkepanjangan.
Tentu hal tersebut dapat menjadi pelajaran bagi olahragawan lainnya. Bahwa menerima tanggung jawab yang diberikan pelatih ataupun manajer harus dibarengi dengan disiplin kesiapan diri sendiri, tidak hanya fisik, tetapi juga kesiapan mental atlet bersangkutan.
King sendiri mengakui bahwa persiapannya terjun di turnamen tersebut sangat kurang mengusul skorsing tiga bulan yang diberikan Pengurus Besar Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PB PBSI) karena King terlambat datang ke tempat pertandingan saat harus membela Merah Putih di SEA Games X 1979 di Jakarta.
Dan dalam mengisi masa skorsing itulah King mencoba dunia baru untuk mendalami akting dengan menjadi bintang film, Sakura Dalam Pelukan. Akibatnya, jadwal latihan pun tertinggalkan.
Satu hal yang masih tetap menjadi misteri adalah kekalahan Liem Swie King dari Rudy Hartono pada babak final All England 1976 di Empire Pool, Wembley, London. Kekalahan King 7-15 dan 6-15 tersebut menjadikan Rudy Hartono merupakan satu-satunya pebulu tangkis yang mampu menjuarai All England sebanyak delapan kali.
Kekalahan tersebut menuai kemarahan dari orangtuanya dan Robert Budi Hartono, pemilik PB Djarum, tempat Liem Swie King bernaung.
Seperti terungkap dari biografi petinggi PB PBSI, Suharso Suhandinata, dan pengakuan Sudirman, Ketua Umum PB PBSI saat itu, keduanya secara tegas menyatakan bahwa kemenangan Rudy kedelapan kalinya di All England bukan atas dasar prestasi Rudy Hartono semata. Namun, juga atas perjuangan PB PBSI yang dirintis jauh hari sebelumnya.
Rudy, yang banyak disebut, tanpa ragu mengakui, ”Sebenarnya perkara ’memberi’ itu urusan pribadi. Kalau memang diberi, ya terima kasih.”
Buku Panggil Aku King juga dilengkapi dengan tulisan para pihak yang pernah bersentuhan dengan King, di antaranya para wartawan, pengurus PBSI, sesama pemain bulu tangkis, dan lain-lain.
Menurut Sekjen KONI 1971-1986, MF Siregar: ”Semangat bertandingnya sangat bagus dan tipe permainannya seperti smesnya sangat powerful.” (hal 413). Smes King memiliki kekhasan tersendiri dan tak dipunyai pemain lain.
King memutuskan gantung raket pada usia 32 tahun. Usianya kini 53 tahun.
Sumber: Kompas, Jumat, 19 Juni 2009
No comments:
Post a Comment