-- Benny Yohanes*
DEMOKRASI telah membawa tubuh ke wilayah persaingan di ruang publik. Mereka yang hendak meraih kekuasaan, harus memunculkan realitas fisikalnya menjadi bentuk representasi identitas. Identitas yang diwakilkan pada bentuk tampilan luar itu, telah menjadi alat ukur publik untuk menjatuhkan pilihan. Di ruang publik, foto-foto wajah beragam ukuran, dengan variasi jumlah dan kekerapan pemunculan, memberi indikasi lain tentang agresivitas persuasi sang calon. Faktor kuantitatif penampilan citra tubuh, telah membawa promosi demokrasi di Indonesia lebih memberat ke wilayah visual daripada penguatan sisi epistemiknya. Demokrasi menjadi ajang kontestasi gambar, bukan kompetensi nalar.
Politik pencitraan menjadi babak baru persaingan calon presiden 2009-2014. Para capres-cawapres tampil ke ruang publik dengan menggunakan realitas fisikalnya sebagai isyarat awal untuk membentuk impresi tertentu. Impresi itu dapat menjadi relasi politik pertama antara calon pemilih dengan para figur calon penguasa tersebut. Dalam relasi politik itu, yang paling pertama dibangkitkan adalah sisi kepercayaan emosional calon pemilih terhadap figur.
Tiga pasangan capres/cawapres memasuki ruang publik lewat berbagai strategi; melalui tatap muka langsung dengan rakyat; interaksi dengan masyarakat profesional dalam forum diskusi terbatas; dan yang lebih kerap dilakukan lewat instrumen iklan di media massa dan elektronik. Dalam realitas iklan, sosok diubah dan dimapankan sebagai citra. Memasuki ruang publik adalah memasuki wilayah political fashion. Oleh karena itu, ada kepentingan yang relatif disadari para figur capres/cawapres untuk dapat menyodorkan versi identitas yang paling acceptable. Di ranah publik, bekerja hukum persuasi yang paling sederhana: keunggulan dan kualitas anda akan dibandingkan langsung dengan kompetitor anda. Jika pembandingan itu menghasilkan kontras positif, anda akan menjadi pribadi yang lebih persuasif.
Menyodorkan versi identitas yang paling acceptable menjadi strategi politik citra. Ruang publik dinilai sebagai panggung, dimana aspek physical appearance menjadi daya tarik untuk mendapatkan surplus impresi. Tubuh dan penampilan justru menjadi modal politik yang lebih magnetis. Mendongkrak akseptabilitas publik dengan cara menampilkan potret pribadi yang lebih persuasif, dilakukan para capres/cawapres dengan membakukan sejumlah pencirian personal. Aspek-aspek pencirian personal dilakukan dengan teknik mimik, gestik, efek gestur dan postur, teknik voicing dan performative act serta penanaman elemen karisma dalam sebuah tindakan komunikasi. Bahasa tubuh lalu menjadi bahasa politik juga.
**
DILIHAT dari segi physical appearance, figur SBY adalah sosok yang paling terkontrol dalam menjaga penampilan. Dia sadar pada posisinya sebagai leading role dalam momen politik, dimana dirinya selalu menjadi pusat perhatian publik. SBY menggunakan hampir semua ketrampilan teknis aktor: teknik mimik, gestik, efek gestur dan postur, teknik voicing dan performative act serta penanaman elemen karisma. SBY menggunakan keunggulan sosok fisiknya yang tinggi besar, dibalut teknik kostum yang formal, rapi, dan berkesan elegan, untuk meneguhkan versi identitas yang hendak diproduksinya untuk memperoleh impresi publik. Semua sinyal tersebut digunakan secara berkelanjutan untuk mengirimkan pesan politisnya: Saya pemimpin yang melindungi; bapak yang berkarisma; dan sosok ing ngarso sing tulodo.
JK menampilkan kontras radikal yang dipertahankan SBY. JK barangkali menyadari bahwa kekuatannya tidak terletak pada physical appearance. JK juga menyadari posisi politisnya, terutama dari aspek personal popularity dan political authority, bahwa dirinya berada dalam kategori second line actor. Oleh karena itu, JK menampilkan versi identitas yang berkesan lebih spontan; menyederhanakan vokabuler pilihan kata agar tetap sesuai dengan common-sense; memproduksi sense of humor, dan kecerdikannya untuk menggunakan teknik aside, yaitu bicara langsung kepada subjek yang paling dekat dengan eye-contact yang lebih presisi. Semua presentasi itu dapat mendongkrak versi identitas JK dalam ruang publik, untuk memperoleh impresi sebagai pribadi yang lebih hangat, informal, unik.
Megawati adalah tipe tubuh yang berkesan lebih defensif. Pilihannya untuk membalut tubuh dengan warna gelap, gaya bicaranya yang lebih datar, pilihan kata dan argumen yang lebih normatif, menjelaskan versi identitas yang tidak begitu dinamis. Keunggulan Megawati sebagai sosok politikus adalah posisi otherness-nya sebagai perempuan capres, serta posisi historisnya sebagai puteri proklamator. Jadi, modal politik Megawati adalah tubuh fisikalnya bisa menjadi realitas the other sekaligus menjadi tubuh simbolis Sukarnoisme. Sungguh pun aspek nostalgik dan romantisasi revolusi tidak lagi efektif pada situasi politik Indonesia yang sudah lebih pragmatis dan kehilangan semangat visionernya itu, namun tubuh defensif Megawati masih mampu menjadi penampung bagi resistensi wong cilik. Retorika politiknya, meski tanpa didukung kefasihan seorang orator, dapat memiliki kekuatan sebuah oracle.
SBY, JK, Megawati, bersanding dengan pasangan yang punya sisi konstruktif maupun kontraproduktif. Boediono tampak tidak nyaman di ruang publik. Bahasa tubuhnya tidak cukup menampilkan persuasi maupun otoritas. Boediono mungkin lebih berkarakter sebagai desainer buku program pertunjukan yang teliti, bukan sebagai stage manager yang direktif. Wiranto belum mudah menyamankan dirinya dalam sosok sipil. Pengalaman leadership-nya dalam karier kemiliteran yang syarat pengalaman, selalu membayang dalam setiap argumennya yang dibikin tanpa teatrikalitas gestur, sehingga Wiranto tampak sebagai karakter yang lebih arif. Tetapi, itu semua tidak cukup menjelaskan mengapa dirinya kalah populer dengan SBY, yang dulu pernah berada di bawah hierarkinya. Prabowo dapat dibandingkan dengan tipe aktor debutan yang penuh passion, namun kurang intensif berlatih. Pidatonya di ruang publik nampak penuh gelora, eksplosif; seperti sosok yang hendak meruntuhkan kemapanan. Namun, kefasihan sebagai orator belum cukup dimiliki. Seruannya tampak jadi simplistik, dan dengan teknik voicing dan tone emotion yang tinggi, dia tampak sebagai komandan yang kurang sabar menunggu klimaks.
Demokrasi juga membutuhkan stage, sebagai bagian dari strategi untuk mendapatkan tingkat kohesi publik yang lebih nyata. Dalam konteks ini, setiap pasangan capres/cawapres menentukan model pencitraan misi dan estetika politik yang berbeda, yaitu dengan memperlihatkan daya persuasifnya dalam sebuah realitas spatial. Pada tahap deklarasi ini, wacana dan estetika dibuat dalam bentuk dramatisasi pemanggungan yang terintegrasi.
**
Pasangan SBY dan Boediono mendeklarasikan pencapresannya dalam indoor stage yang dibuat megah di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) Bandung. Dramatisasi dibuat dengan atmosfer yang lebih khidmat. Warna kostum yang bernuansa merah secara sadar digunakan pasangan SBY-Boediono, sebagai elemen estetik untuk memperkuat aksentuasi kehadirannya sebagai pusat dari seluruh drama. SBY menjadi pusat normatif dan idealisasi politik, dan kata-kata yang disampaikannya dengan gaya grand style itu, terangkat menjadi sebuah sakralitas tertentu. Seluruh hadirin dikondisikan untuk mengalami kepuasan optis, dan itu merupakan jalan untuk sampai pada political chatarsis. Deklarasi SBY-Boediono merevitalisasi peristiwa politik pada teater Yunani antik, yaitu peristiwa kolosal di sebuah amphitheater untuk menegaskan potensi omnipower-nya.
JK-WIN memilih tugu proklamasi sebagai panggung dekralasi pasangan ini. Ini adalah sebuah outdoor stage dalam format nonkolosal, tapi memiliki potensi semiotik yang khas. Dengan memilih tugu proklamasi, JK-WIN hendak melibatkan karakter politiknya dengan simbolisasi proklamasi. Pidato dekralasi JK bahkan mengadopsi gaya dan frasa proklamasi Soekarno-Hatta, tapi yang dinyatakan dengan nuansa yang lebih santai dan tanpa kepalan tangan. Inilah model pemanggungan politik dengan scenery historis, dengan menggunakan estetika silhouette. JK menggunakan teknik pembayangan proklamasi untuk menegaskan bahwa slogan politiknya: "Lebih Cepat, Lebih Baik" merupakan penjelmaan baru dari elan proklamasi itu. JK memang tidak cukup memikat sebagai passionate orator, namun dalam medan interaksi face to face, JK adalah tipe stage persuader yang paling unggul. Deklarasi di Tugu Proklamasi itu memang tidak jadi sebuah monumentalitas politik, meski berada dalam latar yang penuh dengan makna historis yang monumental.
Megawati-Prabowo melaksanakan deklarasi dalam sebuah crowd stage di Bantargebang. Sebuah usaha untuk mengidentifikasi realitas wong cilik dan simbolisasi keprihatinan. Pasangan ini hendak menonjolkan kontras drama dengan model pemanggungan yang dinilai elitis dan eksklusif. Bantargebang adalah korpus pembuangan, disejajarkan dengan nasib rakyat yang terbuang dari dominasi neolib. Rakyat yang terasosiasikan sebagai sampah politik ini, hendak digalang dan diangkat menjadi aktor pembangunan yang sesungguhnya. Tapi di Bantargebang jugalah paradoks rakyat tak terpungkiri: rakyat bisa menjadi kekuatan yang eksplosif, namun ekses masifnya adalah chaos dan gampang cair. Deklarasi Megawati-Prabowo memperlihatkan ironi tersebut. Crowd stage menjadi konsentrasi keriuhan, tanpa intensifikasi untuk menjadi energi kolektif. Panggung utama tidak jadi pusat makna, karena massa terfragmentasi perhatiannya. Kehadiran Rendra dengan sajak "Krawang-Bekasi" Chairil, justru menjadi canggung dan tidak berhasil memompa tangga dramatik. Panggung Bantargebang tak terubah statusnya: massa ingin cepat menjauh dari sengatan terik dan sampah itu.
Para kandidat capres/cawapres bisa dipastikan bukanlah pemerhati aktif teater. Meminta mereka untuk ke sana, juga bukan permintaan yang proporsional. Tetapi sejumlah aspek dari seni teater telah ikut diaplikasikan dalam strategi pencitraan dan modus sosialisasi politik mereka. Atau ini lebih tepat : sudut pandang teater bisa ikut memprediksikan bentuk aktualisasi kepemimpinan para calon penerima mandat rakyat ini.
SBY adalah tipe man of speech. Keahliannya unggul dalam eskplanasi teoritik; canggih dalam penguasaan vokabuler; sistematik dalam bertutur dan mengurai, dan aspek body language-nya mampu memberikan penguatan pada potensi otoritasnya, untuk menjadi rujukan dan magnet simbolis bagi pemujanya. Penampilan fisiknya yang sehat dan tegap, membangkitkan sensasi afektif; personifikasi yang tepat sebagai "pelindung" dan protagonis pertunjukan. Korpusnya selalu efektif menjadi faktor pembeda di antara yang lain, memungkinkan sosok ini jadi aktor sentral. Implikasi dari aktor sentral ini adalah: sosok ini akan menjadi figur yang untouchable dan jadi model yang lebih mulus untuk pengkultusan. SBY sendiri tampak mengadopsi kecenderungan menjadi "the ruler father", yang dulu pernah menjadi trademark yang efektif dalam masa kepemimpinan Soeharto. Bedanya adalah, bagi Soeharto, strategi bicara menjadi magi politik, pada SBY kefasihan bicara menjadi eksibisi politik. Teater SBY adalah tipe teater didaktis.
Megawati adalah kendaraan sekaligus jalan untuk romantisasi nasionalisme Indonesia, yang sedang longsor. Retorika politiknya tidak pernah jauh beranjak dari perkara kedaulatan dan perjuangan rakyat. Tapi figur Megawati sendiri tidak menjelmakan suatu dinamisme wacana atau mengakselerasi politik revolusioner. Mega hanya memenuhi kebutuhan emotional rapportment bagi wong cilik. Pencapresannya untuk kali kedua, memberi isyarat untuk menandingi totalisasi hak laki-laki dalam ranah kekuasaan. Ibu Mega serupa posisi tokoh NINI dalam drama `Ozone` ciptaan Arifin C.Noer. Tokoh NINI berkata begini, "Perempuan adalah Ibu kebudayaan, sungguh-sungguh ibu dan sungguh-sungguh Empu. Perempuan adalah lambang konstruksi, lambang pembangunan, sementara laki-laki lambang destruksi". Dalam kontestasi capres, follow spot mungkin tidak akan terarah pada Megawati. Tapi kehadirannya di sekitar panggung politik makro Indonesia memberi pesan fundamental: harmoni adalah eksistensi.
JK adalah elemen non-Jawa dalam mitologi kekuasaan Indonesia. JK sering diasosiasikan sebagai cermin dari coastal culture: pembawa misi budaya pantai; lebih spontan, tidak hierarkis, fleksibel, bertindak cepat sesuai peluang dan karena disemai oleh pengalaman berdagang, katanya berani juga ambil risiko. JK adalah tipe man of action. Gaya bicara JK tidak canggih, tapi lugas. Tidak protokoler, tapi kuriositasnya tinggi. Tidak sistematis, tapi bisa meringkas wacana menjadi premis yang cerdas. Dalam drama yang plotnya tersendat, JK bisa memainkan karakter ganda: sebagai antagonis sekaligus hero. Dari sisi penampilan fisiknya yang terhitung average, JK memang tak bisa menjulang sendirian sebagai figur tunggal. Dia lebih manageable sebagai sosok aktor di lini tengah, menyerukan kemandirian dan langsung mencobakan aksinya. Mengakselerasi rencana dan mengaplikasikannya dalam program cepat. Kadang tidak mulus, karena infrastruktur birokrasi dan finansial tidak memihaknya. JK adalah sosok ing madya mangun karso. JK yang asli Bugis, tidak dibebani kesantunan khas priyayi Jawa. Dia bicara terbuka di wilayah front stage: melontar kritik, jenaka pun bisa. Teater JK adalah teater eskpresionis.
Pemimpin bukan barang jadi. Tak ada sekolah atau gelar yang cukup untuk seorang pemimpin. Pemimpin menjadi bagian proses, tapi dialah yang selalu terlibat, mempercepat proses itu untuk menampakkan bentuk definitifnya. Fase kontestasi kekuasaan di Indonesia memasuki wilayah kompetisi yang makin terbuka. Panggung besarnya lebih menyerupai bentuk teater arena. Eksklusivitas dan hierarki bukan lagi kata kunci untuk memperoleh simpati dan kohesi. Daya tarik teater arena lebih pada aktualisasi dan aksi, untuk membangun interaksi. Apresiasi penonton akan diberikan bagi setiap jengkal aktualisasi yang tepat sasaran. Bukan retorika canggih atau atraksi individu yang menjelmakan aktualisasi itu. Inti dari teater adalah penemuan bersama. Pemimpin membuka stimuli dan rakyat menguji. Pada rentang antara stimuli dan verifikasi itulah, pemimpin hadir; kadang sebagai jembatan kadang sebagai komandan.
Citra hanya kemasan salon. Masih laku dijual, tapi mustahil jadi sejarah. Pemimpin yang bertahan pada citra hanya akan sampai pada klimaks yang prematur. Dan klimaks yang prematur adalah antiklimaks yang sesungguhnya. Selamat menyaksikan teater capres.***
* Benny Yohanes, aktor dan sutradara teater, penulis teks drama
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 14 Juni 2009
No comments:
Post a Comment