Thursday, June 11, 2009

Penghargaan Rancage: Pentingnya Bahasa Daerah

[JAKARTA] Enam sastrawan yang berasal dari Bali, Jawa, dan Sunda kembali mendapat penghargaan Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage. Pemberian penghargaan berlangsung di Auditorium Erasmus Huis Kedutaan Belanda, pada Rabu (10/6). Penghargaan Rancage diberikan atas dasar kepedulian para sastrawan melestarikan bahasa ibu (daerah) dalam bidang seni dan pendidikan.

Enam sastrawan yang menerima penghargaan, yakni Etty RS (Sunda) lewat buku kumpulan sajak berjudul Serat Panineungan, Nano S (Sunda) seniman karawitan, Atas S Danusubroto (Jawa) lewat buku roman berjudul Trah, Sunarko Budiman (Jawa) sebagai Guru Bahasa Teladan, I Nyoman Tusthi Eddy (Bali) lewat buku kumpulan sajak berjudul Somah, dan I Nengah Tinggen (Bali) yang berjasa sebagai guru bahasa dan sastra di Bali.

Kepedulian enam sastrawan terhadap bahasa ibu, dikatakan Ajip Rosidi selaku pendiri Yayasan Rancage, patut diacungi jempol. Kala semua orang berbondong-bondong mempelajari bahasa asing, enam anak bangsa ini tetap konsisten mengembangkan bahasa daerah.

"Karya-karya mereka seharusnya menjadi "tamparan" bagi anak bangsa yang tidak mengerti bahasa daerah mereka. Terlebih lagi, sekarang banyak sekolah yang justru memberikan pelajaran bahasa asing, bukan bahasa daerah," ujar Ajip saat ditemui SP seusai memberi penghargaan kepada para sastrawan daerah

Pemberian penghargaan Rancage kepada sastrawan daerah telah berlangsung selama 21 tahun, sejak tahun 1989. Mula-mula, penghargaan hanya diberikan kepada sastrawan bahasa Sunda. Namun sejak 1994, pemberian Rancage ditambahkan untuk sastrawan Jawa. Tidak hanya sastrawan Sunda dan Jawa, sastrawan Bali pun akhirnya ikut menerima penghargaan pada 1998. Sayangnya, sejak tahun 1998, tidak ada lagi tambahan sastrawan dari daerah lainnya. Hingga kini, hanya sastrawan di tiga daerah itulah yang masih bersedia membuat buku-buku dalam bahasa daerah.

"Mau tidak mau harus dimaklumi bila penulis terkenal enggan membuat buku berbahasa daerah. Selain tidak menjual, buku berbahasa daerah, pun sulit diterima kalangan penerbit," tambah Ajip.

Untuk itu, cara yang tepat untuk melestarikan bahasa daerah yakni dengan menumbuhkan rasa percaya diri terhadap budaya Indonesia. Lewat rasa percaya diri itu, otomatis menimbulkan perasaan bangga terhadap bahasa daerah. [EAS/N-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 11 Juni 2009

No comments: