-- Khrisna Pabichara
SEBERAPA tegar seorang lelaki memasuki dunia sunyinya, dunia masa tua, dunia yang dipenuhi kenangan “kegemilangan” masa lalu? Apa akibatnya bila manusia mengabaikan dimensi abadi hidupnya? Bagaimana caranya membunuh sunyi, dengan sebentuk keraguan-raguan eksistensial, yang terbukti tidak menjanjikan apa-apa selain kepalsuan? Dan, keputusasaan. Lalu, dengan apa semestinya jejak eksistensi diri itu bisa ditandai?
Mencapai dan memasuki kehidupan otentik, yang diidamkan, memang tidaklah mudah. Setiap orang memiliki pandangan hidup, yakni cara melihat dan bertindak dalam dunia, yang berbeda dalam konsep dan terapan. Cara pandang ini memuat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti apa yang paling didambakan di dunia, apa yang paling bernilai, apa yang sebenarnya dikejar, bagaimana mewujudkan tujuan, dan sebagainya. Jawabannya pastilah beragam. Berbeda-beda. Tergantung pada siapa yang memberikan jawaban. Boleh jadi, hal yang paling diburu di dunia adalah kekayaan. Atau kebahagiaan. Tapi, tidak menutup kemungkinan, ada yang memilih kehormatan, cinta kasih, atau kedamaian hari tua sebagai jawabannya.
Celakanya, kita kerap mencampuradukkan atau menyamaratakan antara keinginan dengan tujuan hidup. Akibatnya, tujuan hidup pun tak lebih dari bertumpuk keinginan untuk mencari kekayaan sebanyak mungkin, atau tersohor, dan bahkan menjadi seorang yang “dihormati”. Maka, seorang politikus akan berusaha memenangkan pemilu atau mendapatkan jabatan dengan “penghalalan” segala cara. Seorang sastrawan atau ilmuwan berkeras menerbitkan buku dan melahirkan masterpiece sebanyak mungkin biar semakin populer. Bahkan, tak jarang, ada artis mencoba merambah ranah yang sangat “jauh” dari latar keilmuannya. Padahal, segala berhala dunia itu, baik material maupun immaterial, akhirnya akan berlepasan dan bertanggalan satu demi satu seiring dengan laju pertambahan usia.
Inilah yang didedah secara cerdas oleh Esha Tegar Putra dalam kumpulan puisinya, Pinangan Orang Ladang yang berisikan 76 puisi dari tahun 2006-2008. Ia secara meyakinkan tampil sebagai sosok penyair yang lahir dari kekentalan tradisi Minang. Di satu sisi, ia menyerap estetika pantun, gurindam, dan peribahasa dalam penuangan gagasan estetiknya. Pada sisi lain, lewat beberapa puisi, ia berhasil mendedahkan kiasan perihal jurang pemisah antara “orang menang” dan “orang kalah” dalam konstelasi adat Minang masa kini. Selain itu, juga membangun pengamsalan perihal segitiga “surau-lepau-rantau” dalam riwayat hidup kekinian. Bahkan, ia menawarkan satu alternatif baru: ladang. Ladang bisa menjadi tempat para lelaki membangun rumah, bersunyi-sunyi, dan menikmati kenangan kegemilangan masa lalu dalam bangunan ingatan. Ladang, dengan segala sepinya, bisa pula menjadi tempat sembunyi dari gunjing-cela dan olok-olok orang sekampung. Orang rantau sebagai pemenang dan orang ladang sebagai orang kalah adalah dua wajah berbeda, bagai “loyang” dan “emas”. Begitulah, Esha menawarkan ladang sebagai tempat mentafakuri kekalahan. Akan tetapi, sesederhana itukah pencapaian estetis penyair kelahiran Solok ini? Tentu saja, tidak. Banyak hal baru yang bisa kita temukan.
Di sinilah pentingnya lelaku kepenyairan membutuhkan berbagai penggalian dan pencarian, baik kelaziman bentuk maupun kedalaman estetika, bahkan pemberontakan pada tradisi kepenyairan. Maka, semakin berlama-lama kita mengupas setiap demi setiap sajak dalam antologi ini, semakin bertemu keindahan bunyi, kelezatan puitik, dan keragaman diksi yang dikemas dengan telaten untuk menunjukkan eksistensi sosok seorang penyair yang baru “sering” berpuisi pada akhir 2005. Berpuisi, bagi Esha, adalah laku ketelatenan, keseriusan, dan kesungguhan.
Garapan gagasan, sebagaimana diungkap Damhuri Muhammad ketika membedah antologi ini (Wapres Jakarta, 27/5), adalah wilayah unik bagi penyair seusia Esha. Ada asketisme orang kalah. Pesimisme “orang rantau” yang kembali ke kampung halaman sebagai “orang kalah”. Keputusasaan karena kekalahan itu tidak bisa sepanjang hari dieramkan di surau, apalagi di rumah yang setiap kamarnya sudah dikuasai oleh kaum perempuan. Sementara, lepau hanya bisa menyuguhkan rasa nyaman pada malam hari: ratap mana yang kau timpakan, ini sakit menjadi berlapis-lapis/ di ceruk malam aku menjadi sesuatu yang lain/ seuatu yang asing (Putus:71). Dan, siang merupakan siksaan bagi “orang kalah” itu. Maka jadilah ladang sebagai tempat persembunyian: di ladang kita berpandang, bersahutan suara, saling berebut tali puisi (Garis Ladang:50).
Apa yang tersisa dari orang yang “sudah mengaku kalah” dan memilih ladang untuk bersunyi-sunyi diri? Yang ada adalah kepuasan dan ketidakpuasan, rasa terpenuhi dan frustasi, juga sisa semangat dan keputusasaan: lelaki yang tersudut di ujung pisau pancung/ menasbihkan rindu pulang/ berkali-kali (Kuala Lengang:53). Namun, tidak berarti tak ada lagi “harapan hidup”, bahkan masih tersisa keinginan menyunting gadis impian: bukan meminangmu kungerikan/ tapi sepulau cinta yang bakal karam/ sebab jalan hilang pijakan (Pinangan:59). Bagi lelaki Minang, yang pulang dari rantau dan dipaksa keadaan memilih ladang sebagai persinggahan akhir, maka ketakutan dan keputusasaan menghadapi ketidakpastian masa depan, justru lebih mengerikan daripada sekadar penolakan atas pinangan yang diajukan.
Tampaknya Esha sedang dijangkiti kegelisahan lantaran sekian banyak lelaku kepenyairan mutakhir ternyata gagal mengantarkannya pada kenikmatan berpuisi. Itu sebabnya ia meneruka jalan baru, yang meski terpaksa banyak menggunakan kata-kata janggal, tapi pasti menghulu ke kedalaman estetika. Diam-diam Esha meramu sajak-sajaknya menjadi sebentuk “kamus baru” guna menggiring pembaca mencari sendiri makna kata yang berasa asing dan janggal itu. Berulang kali diri membilang bunyi piring diketuk kulit damar/ saluang ditiup pula oleh para penghela dendang. Di mana rahasia/ kejadian lama disurukkan? Di salempang induk beras, di kopiah/ tuan kopi atau di saku baju para penggetah burung rimba? (Penari Piring:88). Saluang-disurukkan-salempang-kopiah-penggetah: kata-kata yang tidak akrab dan tidak lazim digunakan dalam bahasa percakapan sehari-hari, bahkan dalam puisi.
Akhirnya, jika sang penyair tidak berhati-hati, kedalaman makna yang diharapkan menjadi inti, menjadi substansi, bisa jadi terposisikan hanya sebagai sisipan, suplemen, atau pelengkap belaka. Akibatnya, kedalaman yang dijanjikannya, sebagaimana lazimnya banyak puisi, sukar untuk diselami. Apa yang dilakukan Esha patut mendapat apresiasi, dan semoga bisa membangun ruang baru bagi “jalan kepenyairan”. Bukankah puisi tidak semata keindahan bahasa?
Khrisna Pabichara, penyair dan motivator pembelajaran, tinggal di pinggiran Jakarta. Selain menyunting buku, juga menulis buku motivasi, sajak, esai sastra, dan resensi buku. Saat ini berkhidmat di Komunitas Sastra Jakarta (Kosakata). Kumpulan sajaknya, Mozaik Berahi, sedang dalam proses terbit.
Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 21 Juni 2009
No comments:
Post a Comment